Disaat sudah tidak mau bertanya berapa lama lagi sampai, jalanan mulai remang-remang, Ayi sudah hampir putus asa padahal 2007 pernah ke Baduy Dalam, tapi saat itu Ayi berjalan bersama orang yang dicinta, jadi beda semangatnya, sekarang jalannya sama tim rempong. Punggung Oktin mulai terasa berat menggendong ranselnya yang tidak dititipkan ke Porter, tiba-tiba ada seorang bapak dan ibu dari Baduy Dalam yang melintas dan Ayi minta digendong. Bapak itu cuma ketawa, dan ternyata bapak itu adalah Jaro Baduy Dalam, wah salah minta gendong, dan ibu itu adalah istrinya, tambah gawat, begitu menurut Mang Arji yang sempat berbincang dengan Jaro tadi. Sebenarnya tidak banyak kita berpapasan dengan orang dari luar Baduy seperti rombongan kami, hanya ketemu satu rombongan kaum adam yang katanya dari Bogor. Kalau dengan rombongan kecil Baduy Dalam baik anak-anak dan dewasa lumayan sering yang membuat panas hati mereka berjalan cepat, lincah, tanpa alas kaki.
Hari mulai gelap, beberapa kali terdengar halilintar, kalau turun hujan akan lebih sulit lagi kami berjalan, dan menurut cerita kalau ada orang baru datang berkunjung ke Baduy Dalam hujan dipastikan turun, seperti nyanyian selamat datang mungkin. Hanya bisa berdoa jangan sampai hujan turun ketika kami masih berjuang sampai ke tujuan, walaupun hujan itu adalah rejeki, kata suami saya rejeki akan lebih nomplok kalau hujannya turun saat kami semua sudah sampai di rumah Mang Aja.
Samar-samar terdengar suara peradaban ada teriakan-teriakan kegirangan, menurut Mang Arji kalau dirinya hanya butuh waktu 5 menit sampai tujuan. Kami sudah tidak tahu harus menghabiskan berapa lama disela sisa-sisa nafas, hanya tempat rebahan yang kami bayangkan dan itu adalah dorongan utama untuk segera sampai tujuan.
Dan terlihatlah beberapa orang baik perempuan maupun laki-laki yang sedang menikmati air sungai yang jernih, dipisahkan oleh jembatan gantung mana bagian mandi perempuan dan laki-laki sesuai dengan cerita yang saya baca, ternyata banyak juga yang sedang berkunjung ke Baduy Dalam ini.
Terasa ada nyawa baru kalau dalam permainan, terlihat jejeran atap rumah, yaitu kampung Cibeo dimana kami akan menghabiskan malam sebelum besok kembali berjuang menaklukan jalan menuju pulang.
 Mang Arji memandu kami menuju rumah Mang Aja, dan terlihatnya jejeran alas kaki milik rombongan terdepan, ohhh senangnya, kami ucapkan salam dan terlihatlah muka-muka lelah tapi senang tiada tara sedang rebahan diatas tikar pandan. Rombongan terakhir layaknya bintang tamu dalam satu pertunjukkan, yang duluan biasanya disebut band pembuka, itu adalah motivasi kami datang terakhir dan masuk pada bab ngeles. Rumah mang Aja yang bisa menampung kira-kira 20 orang, terlihat Kang Lukman sedang sibuk didapur bersama seorang ibu yang menggendong anak laki-laki itu adalah istri Mang Aja dan anak bungsunya. Lalu Mang Arji pun ikut sibuk meracik bumbu untuk persiapan hidangan makan malam, rombongan terakhir bukan mikir soal makan malam tapi meluruskan badan serta mengistirahatkan kaki yang sedikit dipaksa kerja keras melintasi alam yang menantang dan memberikan keindahan. Lelah itu hanya fisik kalau untuk berceloteh tidak ada kata lelah, sambil rebahan sambil sibuk bercerita tentang jalanan yang tidak wajar saking beratnya dan perjalanan yang luar biasa menantang serta patut dicatat jalanan yang akan dilalui besok akan berbeda sesuai dengan sunah nabi, pergi dan pulang dengan jalan berbeda, kalau itu untuk jalan ke Masjid. Jalan seperti apa besok? Lihat besok saja.
Kang Lukman berseru air panasnya sudah ada, mama Ade dan saya bersiap membuat minum buat suami kita masing-masing, yang lainya buat sendiri-sendiri, maaf ya. Sepertinya lelah cepat berlalu, kami sudah sibuk kembali, ada yang bersiap ke sungai untuk mandi, bersiap mandi dengan tisue, bersiap tidurpun ada, bahkan ada yang touch up takut sebentar lagi kedatangan tamu ganteng penduduk Baduy, karena menurut aturannya kami harus bersiap dikunjungi oleh penduduk setempat untuk berbagi cerita, memanjangkan umur, melancarkan rejeki dengan jalan silahturahim.
Hujan mulai menampakkan wajahnya, rintik-rintik terlihat dibatu jalanan depan rumah-rumah warga Cibeo, Tuhan mengabulkan doa kami, hujan turun saat kami sudah sampai. Terima kasih Tuhan. Menurut suami saya, yang datang bukan orang baru tapi orang Banten sendiri, jadi hujan tidak akan turun saat kami dalam perjalanan.
Pedagang souvenir Baduy mulai berdatangan didepan pintu kami, tiba-tiba ada bapak tua yang tidak membawa apa-apa menawarkan sesuatu yang berbeda yaitu memijat, saya tawarkan kedalam ternyata Ayi mau dan membuat janji, jam delapan nanti Ayi siap long beach alias dipijat, biar besok segar bugar dan berlari pulang melewati jalanan yang super duper diluar dugaan pastinya.
Rumah panggung tanpa jendela, beratapkan daun, berdinding anyaman bambu, dengan lantai juga dari bambu yang disusun tapi sudah dipecah, tanpa perabot dengan sentuhan modernisasi. Nikmatnya liburan tanpa suara denting dan dering alat komunikasi, tidak ada orang-orang yang asyik dengan mainannya masing-masing, disinilah waktu sangat berharga untuk berbagi cerita.
 Ada sosok yang membuat perbincangan ini tidak akan berakhir sampai kapanpun, bahkan sangat ditunggu dewasanya, karena sosok ini boleh keluar dari Baduy Dalam untuk berjalan ke daerah sekitar diluar Baduy bahkan sampai ke Jakarta. Sosok ini bernama Darmin, anak Mang Aja yang berumur tigabelas tahun, Darmin ikut ambil bagian dalam perjalanan yang menurut kami adalah luar biasa tapi sepertinya bagi Darmin seperti jalan ke dapur, begitu dekat dan tidak ada kata lelah. Darmin begitu sigap memandu dan menjaga tiga dara, dengan senyum yang penuh misteri kepolosan, atau mungkin kagum dengan tim kami, yang tidak ada habisnya berceloteh. Darminpun bertugas mengantar kami yang mau kebelakang. Darmin oh Darmin namamu akan selalu kami kenang.