Kalah. Hanya perasaan itu yang aku rasakan. Meski isteri dan anak-anak tak pernah terlihat marah. Sikap diam dan dingin. Cukuplah menjadi hukuman terberat untukku.
"Maafkan aku ya, Mah. Sampaikan maafku juga ke anak-anak," hanya kalimat itu yang mampu meluncur dari mulutku. Isteriku hanya diam terpaku. Dingin. Isteri cantikku yang biasanya tak pernah cemberut padaku. Apalagi sampai bersikap acuh tak acuh.
-----------------
"Pulanglah, Nak!" Tiba-tiba lelaki tua itu sudah berada di sampingku.
"Pulanglah, Nak! Atau kamu akan menyesal selamanya. Seperti apa yang bapak alami ini."
Tiba-tiba lelaki tua di sampingku terdiam. Matanya nanar memandang ke depan. Seolah ada sesuatu kegamangan di depan sana. Yang aku sendiri mungkin saat ini merasakannya.
"Hampir tiga jam bapak perhatikan. Ananda duduk-duduk saja di sini. Sama seperti yang bapak lakukan," kembali lelaki itu berbisik ke arahku.
"Pernah bapak 20 tahun tak pulang. Saat terakhir pulang lebaran kemarin. Semua telah pergi. Semua telah pergi..."
Sekelebat, aku lihat wajah tulus itu. Lelaki 70-an tahun. Nampak gurat-gurat ketampanan yang masih membekas. Meski kini nampak sedikit kusam.
"Saat bapak beranikan pulang kemarin. Ternyata isteri dan anak-anak tak lagi tinggal di kampung. Tak seorangpun tetangga yang tahu pergi ke mana."Â
Nampak kemudian punggungnya terguncang keras. Sambil mengatupkan tangan ke wajah. Lelaki itu mencoba menahan tangisnya. Yang mungkin sudah pecah. Hingga refleks, tanganku mengelus punggung lelaki itu.