Sebuah bangunan kokoh berdiri. Diresmikan di tahun 1984. Mulai digunakan tahun 1985. Telah ribuan wirausahawan dicetak. Mulai dari anak cacat, remaja putus sekolah, anak jalanan, hingga wanita tuna susila.
Loka Bina Karya. Biasa disebut dengan LBK Budi Luhur. Menempati lahan seluas kurang lebih 300 meter persegi. Terdiri dari ruang tamu, aula, kantor, 3 kamar, dan 2 kamar mandi. LBK merupakan salah Unit Pelaksan Teknis (UPT) di bawah Dinas Sosial Kab. Mojokerto. Memberikan sarana pelayanan dan rehabilitasi sosial. Bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial. Kegiatan bimbingan sosial dan keterampilan kerja diberikan. Bertujuan agar mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Untuk  terwujudnya kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam masyarakat.
Upaya pemerintah secara terpadu lintas sektoral ini cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari cerita para 'alumninya'. Saat mereka melaksanakan acara halal-bihalal. Meski tak sedikit pula yang belum berhasil.
Sayang sekali, sejak 5 tahun terakhir aktivitas pelatihan berkurang drastis. Setahun bisa terlaksana satu kali saja sudah bagus. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pelaksanaan kegiatan pelatihan bisa 2 sampai dengan 4 kali setahun.
Pengemis Jalanan
Anak jalanan dan pengemis di traffic light. Sebuah pemandangan yang jamak kita temui. Namun hal ini tak berlaku di provinsi DIY dan Kota Surabaya. Perda Provinsi DIY No. 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Perda Nomor 02 Tahun 2014 tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum di Kota Surabaya.
Bahkan di Kota Surabaya, Walikota Tri Rismaharini sangat tegas untuk menindak penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Termasuk di dalamnya adalah pengemis. Â Sebab para pengemis bandel. Utamnya yang berulangkali terjaring razia akan diproses hukum. Hasilnya memang cukup ampuh. Kini tak lagi ditemui para pengemis di lampu TL. Maupun di jalanan lain. Meski ada saja yang coba menyiasatinya.
Pendirian LBK ataupun Balai Latihan Kerja (BLK) Dinas Tenaga Kerja sebenarnya telah menjadi jembatan. Bahwa upaya pengentasan masalah sosial. Utamanya yang berhubungan dengan peningkatan keterampilan dan pembukaan lapangan kerja telah diupayakan pemerintah. Namun seringkali masyarakat tidak terlalu perduli. Sebab ada keengganan untuk mencari informasi yang berhubungan dengannya.
Masalah mindset. Mental kerja ringan hasil besar. Seolah menjadi pameo bagi mereka yang malas. Daripada kerja keras tapi hasil tak jelas. Lebih baik jadi pengemis. Cepat kaya dan praktis.
Hal inilah menjadi pendorong para pengemis untuk apatis. Dan bertindak pragmatis. Dengan berbagai upaya dramatis. Agar mereka memperoleh hasil yang fantastis.Â
Menjadi peminta-minta di lampu TL, angkutan umum, serta jalanan. Menjadi modus yang mudah dilakukan. Kemiskinan dijadikan pembenar alasan mereka untuk mengemis. Meski tubuh-tubuh mereka masih sehat dan kekar. Celakanya, terkadang bayi serta anak-anak dijadikan medianya.
Mereka diekplotasi tanpa ampun. Pagi, siang, hingga malam 'ditanam' di jalan. Sementara 'mandornya' adalah orangtua mereka sendiri. Sebagaimana beberapa kali kejadian yang saya temui di Mojokerto. Hingga pernah saya tantang sang orangtua agar anaknya kami asuh. Mereka tegas menolak. Sebab anak-anak itulah sumber penghasilan meraka. Tsumma na'uzubillah.
Stop Memberi Duit di Lampu TL!
Memberi duit pengemis di lampu TL. Ibarat menyiram bensin di api yang membara. Mengajak untuk pelit? Bukan! Namun semata-mata menyelamatkan mereka dari kebangkrutan nurani. Mengemis hanya dijadikan kedok belaka.
Ada sebuah hadis yang mengancam pengemis berkedok ini.
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Seseorang yang senantiasa meminta-minta kepada orang lain. Sehungga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya."
Sebab sebenarnya masih banyak golongan. Mereka yang benar-benar lebih membutuhkan uluran tangan kita. Mereka yang dalam keadaan benar-benar menderita. Sebab mengahadapi kesulitan untuk mencari makan sehari-hari. Mereka yang memiliki harga diri untuk tidak mengemis.
Betapa banyak kita saksikan kakek atau nenek renta. Mereka berdagang meski dengan barang dagangan yang nilainya tak seberapa. Atau para penyandang disabiltas yang tetap bekerja keras. Meski terkadang fisiknya 'tak masuk akal' untuk menopang kerjanya. Mereka yang miskin dan telah bekerja keras. Namun upah yang didapatkan amatlah kecil. Tak mampu mencukupi kebutuhan makan keluarganya.
Merekalah yang seharusnya kita beri uluran tangan. Membantu mencukupkan kebutuhan hidupnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H