Dahulu saya berpikir. Betapa nyamannya hidup di desa. Hamparan sawah menghijau. Bak permadani. Saat daun padi, daun jagung, atau daun tebuh mulai tumbuh. Saat panen mulai menyambut. Permadani pun berganti warna menjadi kuning ke coklatan. MasyaAllah, begitu indahnya kehidupan.
Namun waktu terus bergulir. Kearifan budi dan pikir. Terdesak juga oleh kebutuhan hidup. Mengolah sawah ternyata butuh waktu panjang. Untuk memanennya. Terkadang bukan keuntungan yang diperoleh. Justeru kebuntungan yang dituai.
Kebutuhan pendukung pertanian semakin absurd. Petani seolah bergerak sendiri. Tak lagi seindah nostalgia waktu yang lalu. Saat petani 'dianakemaskan'. Abah kami. Keluarga kami begitu mencintai tanah. Yang selalu memberi kabar baik kepada kami.
Hingga satu masa. Saat saya 'terpaksa' harus menggelutinya. Peluh bercampur lumpur. Sarapan pagi bercampur dengan 'kuah' dari air sawah. Ahh...kehidupan harus tetap berjalan. Menuju satu titik. Meraih ridha Illahi.
Menyiapkan Sajian Berbuka Terbaik
Seperti bulan Ramadan tahun ini. Ada satu niat kuat yang berbeda. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mencoba merangkul ruang dan waktu. Untuk lebih istikomah menjaga masjid. 'Warisan' dari para bapak kami. Yang harus kami rawat. Yang harus kami hidup-hidupkan.
Merangkai berbagai ibadah agar lebih bermakna. Merayu para jamaah agar lebih mencinta. Melangitkan doa-doa. Agar Ramadan kali ini, lebih membawa keberkahan dalam hidup kami. Menghadapi masa-masa sulit. Yang mungkin akan menyongsong kami. Di waktu mendatang.
Pun terhadap satu urusan yang terlihat sepele. Menutup ritual fisik menahan lapar dan dahaga. Yang sebenarnya merupakan bagian terkecil. Dari urusan ibadah puasa wajib ini.
Bila di waktu-waktu yang lalu. Ummat disibukkan dengan cara untuk 'menyambut azan'. Memburu berbagai makanan. Terkadang sampai lupa diri. Seolah semua makanan yang kita beli. Akan kita lahap seluruhnya. Tapi kenyataan biasanya bicara beda. Hehehe...betul tidak?