Gresik, 04 Romadhon 1434H / 13 Juli 2013M
Kepada Yth.                                                                                           Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia di                                                                                                                   Jakarta
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Sebelumnya saya sampaikan permintaan maaf jika apa yang saya tulis ini nanti akan membuat justifkasi negatif tentang kebijakan yang dibuat oleh Bapak dan atau staf Bapak. Jika ada yang tersinggung atau marah, saya mohon maaf sebelumnya. Sebab saya hanyalah seorang warga negara Republik Indonesia yang ingin juga merasakan kemerdekaan sebagai warga negara yang katanya sudah hidup di zaman kemerdekaan.
Bapak Nuh, tidak tahu lagi kepada siapa saya mengadukan permasalahan yang saya dan anak saya alami. Sebab saya bertanya kepada pihak-pihak yang terkaitpun mereka menjawab: "Maaf, saya tidak tahu." Jawaban mereka sama dan seperti paduan suara yang sangat tidak nyaman untuk saya dengarkan.
Bapak Nuh Yang Terhormat, jika Bapak adalah benar-benar Menteri Pendidikan Nasional bagi negeri ini, tolong saya berikan solusi. Tolong saya berikan jawaban yang sebenarnya terhadap satu pertanyaan saya. Sudah banyak referensi saya peroleh. Sudah banyak juga kawan-kawan pengelola Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kelompok Bejar (Kejar) Paket A saya beri pertanyaan yang sama. Termasuk di dalamnya kawan adalah rekan-rekan widyaswara nasional.
Satu pertanyaan saya yang mereka tidak bisa menjawab dengan memuaskan adalah: "Mengapa ijazah hasil dari Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket A putera saya belum keluar?"
Perlu Bapak Nuh ketahui bahwa putera saya belajar/menuntut ilmu di Madrasah Salafiyyah 'Ula Tahfidhul Qur'an (MSUTQ) Al-Furqon Srowo, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Telah melaksnakan Ujian Nasional yang dilaksanakan secara bersamaan dengan sekolah sd/mi formal lainnya, yaitu pada 1-3 Juni 2013 yang lalu. UNPK dilaksanakan di pondok/ma'had sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat oleh Kemendiknas RI.
Perlu Bapak Nuh ketahui juga bahwa kami melaksanakan UNPK sepenuhnya dengan disiplin dan tanggungjawab individu yang tinggi. Bahwa ujian dilakukan untuk mengukur kemampuan sebenarnya dari anak-anak, sehingga kami tidak menerima 'intervensi dalam bentuk apapun' dari pengawas atau instansi terkait. Meskipun ada 'himbauan' agar diupayakan pihak sekolah dapat 'membantu' anak-anak.
Alhamdulillah, berkat kebijakan pimpinan ma'had tersebut, terdapat 2 (dua) orang siswa yang dinyatakan tidak lulus sebab angka rata-rata di bawah 5,5 (lima koma lima). Sehingga kedua siswa tersebut harus mengikuti ujian ulang (yang pemberitahuannya pun dilakukan secara mendadak oleh pihak Kantor Kemenag RI Kabupaten Gresik). Pihak ma'had sepenuhnya menerima dengan lapang dada dan terus memotivasi dan memberi bimbingan kepada dua anak tersebut. Semoga Alloh memberikan kelapangan hati dan pikir kepada mereka.
Sebagai orangtua santri (siswa), kami sangat mendukung kebijakan yang dibuat oleh pihak ma'had, sebab kejujuran adalah modal mereka untuk membangun negeri ini di masa yang akan datang. Kami tidak malu jika anak kami mendapatkan nilai 'jelek'. Sebab memang seperti itulah hasil sesungguhnya yang dibuat. Hal itu sekaligus akan dijadikan oleh semua pihak agar dapat memperbaiki mutu pembelajaran di tahun-tahun berikutnya.
Hari berlalu, waktupun berjalan. Saat ada keinginan kami untuk memindahkan kami di sekolah umum/ formal, kami temui kekecewaan. Bukan karena pihak ma'had yang membuat kami kecewa, tapi kinerja aparatur pemerintahan atau sistem manajemen pengelolaan pendidikan kesetaraan yang membuat demikian.
Pemberitahuan nilai UNPK telat, hampir selisih dua minggu dengan sekolah formal. Demikian juga dengan ijazah yang sampai dengan surat ini dibuat belum kami terima. Sebagaimana penuturan dari musyrif ma'had (kepala sekolah), lembar ijazahpun belum diterima oleh pihak ma'had.
Setali tiga uang, ternyata ijazah itupun belum diterima oleh rekan-rekan dari Kantor Kemenag Kabupaten Gresik. Hal ini juga telah kami crosscheck-kan dengan beberapa pihak dari kota dan propinsi lain. Jawabannya seragam: "Belum diterima." Atau,"Maaf saya tidak tahu."
Hal ini ternyata juga dialami oleh siswa yang mengikuti UNPK Paket B dan C. Kami memperkirakan hal ini sebagai efek dari carut-marutnya pengelolaan/penannggungjawab program Paket A, B dan C secara nasional. Jika memang program ini secara nasional dinilai 'gagal' karena banyaknya terjadi penyelewengan di tingkat lapangan, mengapa lembaga non-formal resmi ikut dijadikan korban?
Bapak Nuh Yang Terhormat, seharusnya Bapak yakin bahwa masih banyak orang jujur di negeri ini, meskipun tidak harus disumpah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Seharusnya Bapak lebih banyak menguji kejujuran dari aparatur Bapak sendiri. Struktur organisasi kementerian dirubah berapa puluh atau berapa ratus kalipun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, jika masih banyak 'tikus-tikus birokrat' di kementerian Bapak.
Sebagaimana jeritan rekan-rekan pengelola SKB atau pamong-pamong belajar yang mereka bahkan skeptis dengan profesi dan nasib mereka sendiri. Merasa menjadi anak tiri kebijakan yang sungguh amat tidak bijak, apalagi dengan apa yang menimpa para peserta didiknya.
Bagi peserta UNPK Paket C, seharusnya mereka dapat masuk UMPTN kenyataannya mereka tidak diakui sebagai siswa Indonesia, sebab tidak memiliki Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). Pun sama nasibnya dengan lembaganya, yang dianggap 'illegal' sebab tidak memiliki  Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN). Demikian juga bagi peserta UNPK Paket B atau Paket C, seharusnya mereka dapat masuk SMA/SMK/MA atau SMP/MTs Negeri, akhirnya pupus sebab hasil UN asli mereka telat diterima (bahkan sampai surat ini dibuat).
Padahal kami mengelola pembelajaran secara mandiri Bapak. Biaya seluruhnya kamilah orangtua dan pihak lembaga pendidikan yang menanggung. Coba bandingkan dengan sekolah formal, baik negeri maupun swasta! Begitu banyak anggaran negara yang digelontorkan untuk mereka. Begitu banyak kebijakan yang menguntungkan mereka. Berbanding lurus dengan lembaga non-formal yang putera kami belajar, Bapak.
Apakah memang seperti ini perlakuan negara kepada anak negeri yang dengan sepenuh hati dan segenap kemapuan finansial melaksanakan pendidikan mandiri, justeru dipinggirkan dan dianaktirikan. Ini bukan cerita Bapak. Inilah fakta, dan kami mengalaminya. Menjadi warga negara 'kelas dua' di negaranya sendiri yang katanya sudah merdeka.
Maaf Bapak, janganlah bicara muluk-muluk tentang Kurikulum Nasional 2013. Sebab tanpa Bapak bicarapun kami secara non-formal telah melaksanakan sejak putera kami kelas 1, di tahun 2007 yang lalu. Ketika kami putar kembali testimoni Bapak tentang latar belakang Kurnas 2013, kami tersenyum kecut. Jauh panggang dari api.
Maaf Bapak, dimana ijazah Paket A putera kami dapat kami peroleh? Apakah kami terpaksa harus beli dari calo yang menawarkan dengan harga yang cukup mencekik? Ataukah kami pasrah menunggu, yang mungkin dirjen atau direktur terkait sudah lupa bahwa UNPK Paket A, B dan C yang sudah lulus memang selayaknya mendapatkan ijazah. Ataukah kami harus membayar lagi dengan puluhan lembar uang ratusan ribu untuk selembar ijazah yang mungkin negara ini sudah tak mampu lagi untuk mencetak?
Jangan lagi bicara yang muluk-muluk tentang Kurnas 2013, sementara di sudut negeri, anak-anak Kejar Paket A, B dan C menunggu haknya. Kami tuntut hak kami, sebab kami sudah bayarkan kewajiban kami. Jika memang kurang kewajiban kami, ayolah kita bicarakan.
Demikian surat panjang ini kami tulis. Semoga di bulan Romadhon ini, kejadian ini menjadi wahana muhasabah bagi Bapak dan seluruh komponen pemerhati pendidikan di negeri yang (katanya) sudah merdeka ini. Kami tidak butuh penghargaan. Yang kami butuhkan adalah pengakuan.
Jazaakumullohu khoiron.
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Saya yang bodoh,
Mochamad Nuzulul Arifin
Catatan: Mohon rekan-rekan yang budiman dapat menshare surat ini kepada yang lain. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Semoga Alloh memberkahi. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H