Hari berlalu, waktupun berjalan. Saat ada keinginan kami untuk memindahkan kami di sekolah umum/ formal, kami temui kekecewaan. Bukan karena pihak ma'had yang membuat kami kecewa, tapi kinerja aparatur pemerintahan atau sistem manajemen pengelolaan pendidikan kesetaraan yang membuat demikian.
Pemberitahuan nilai UNPK telat, hampir selisih dua minggu dengan sekolah formal. Demikian juga dengan ijazah yang sampai dengan surat ini dibuat belum kami terima. Sebagaimana penuturan dari musyrif ma'had (kepala sekolah), lembar ijazahpun belum diterima oleh pihak ma'had.
Setali tiga uang, ternyata ijazah itupun belum diterima oleh rekan-rekan dari Kantor Kemenag Kabupaten Gresik. Hal ini juga telah kami crosscheck-kan dengan beberapa pihak dari kota dan propinsi lain. Jawabannya seragam: "Belum diterima." Atau,"Maaf saya tidak tahu."
Hal ini ternyata juga dialami oleh siswa yang mengikuti UNPK Paket B dan C. Kami memperkirakan hal ini sebagai efek dari carut-marutnya pengelolaan/penannggungjawab program Paket A, B dan C secara nasional. Jika memang program ini secara nasional dinilai 'gagal' karena banyaknya terjadi penyelewengan di tingkat lapangan, mengapa lembaga non-formal resmi ikut dijadikan korban?
Bapak Nuh Yang Terhormat, seharusnya Bapak yakin bahwa masih banyak orang jujur di negeri ini, meskipun tidak harus disumpah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Seharusnya Bapak lebih banyak menguji kejujuran dari aparatur Bapak sendiri. Struktur organisasi kementerian dirubah berapa puluh atau berapa ratus kalipun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, jika masih banyak 'tikus-tikus birokrat' di kementerian Bapak.
Sebagaimana jeritan rekan-rekan pengelola SKB atau pamong-pamong belajar yang mereka bahkan skeptis dengan profesi dan nasib mereka sendiri. Merasa menjadi anak tiri kebijakan yang sungguh amat tidak bijak, apalagi dengan apa yang menimpa para peserta didiknya.
Bagi peserta UNPK Paket C, seharusnya mereka dapat masuk UMPTN kenyataannya mereka tidak diakui sebagai siswa Indonesia, sebab tidak memiliki Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). Pun sama nasibnya dengan lembaganya, yang dianggap 'illegal' sebab tidak memiliki  Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN). Demikian juga bagi peserta UNPK Paket B atau Paket C, seharusnya mereka dapat masuk SMA/SMK/MA atau SMP/MTs Negeri, akhirnya pupus sebab hasil UN asli mereka telat diterima (bahkan sampai surat ini dibuat).
Padahal kami mengelola pembelajaran secara mandiri Bapak. Biaya seluruhnya kamilah orangtua dan pihak lembaga pendidikan yang menanggung. Coba bandingkan dengan sekolah formal, baik negeri maupun swasta! Begitu banyak anggaran negara yang digelontorkan untuk mereka. Begitu banyak kebijakan yang menguntungkan mereka. Berbanding lurus dengan lembaga non-formal yang putera kami belajar, Bapak.
Apakah memang seperti ini perlakuan negara kepada anak negeri yang dengan sepenuh hati dan segenap kemapuan finansial melaksanakan pendidikan mandiri, justeru dipinggirkan dan dianaktirikan. Ini bukan cerita Bapak. Inilah fakta, dan kami mengalaminya. Menjadi warga negara 'kelas dua' di negaranya sendiri yang katanya sudah merdeka.
Maaf Bapak, janganlah bicara muluk-muluk tentang Kurikulum Nasional 2013. Sebab tanpa Bapak bicarapun kami secara non-formal telah melaksanakan sejak putera kami kelas 1, di tahun 2007 yang lalu. Ketika kami putar kembali testimoni Bapak tentang latar belakang Kurnas 2013, kami tersenyum kecut. Jauh panggang dari api.
Maaf Bapak, dimana ijazah Paket A putera kami dapat kami peroleh? Apakah kami terpaksa harus beli dari calo yang menawarkan dengan harga yang cukup mencekik? Ataukah kami pasrah menunggu, yang mungkin dirjen atau direktur terkait sudah lupa bahwa UNPK Paket A, B dan C yang sudah lulus memang selayaknya mendapatkan ijazah. Ataukah kami harus membayar lagi dengan puluhan lembar uang ratusan ribu untuk selembar ijazah yang mungkin negara ini sudah tak mampu lagi untuk mencetak?