Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis biasa.

hamba Alloh yang berusaha hidup untuk mendapatkan ridhoNya. . T: @nuzululpunya | IG: @nuzulularifin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Bapakku, Pahlawanku.

10 November 2013   21:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_277241" align="aligncenter" width="960" caption="10 Nopember - foto koleksi Rachmad Yuliantono"][/caption] “Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! Merdeka !” Berulang kali lelaki tua itu memutar rekaman pidato Bung Tomo. Pidato saat mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo untuk membuka pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan tentara sekutu yang diusung oleh Belanda. Sambil sesekali menyeka air mata yang bertambah deras berderai. Lalu punggungnya pun terlihat kuat berguncang. Dengan tangan erat mencengkeram lengan kursi goyangnya. Akupun biasanya ikut terbawa suasana. Seolah ikut merasakan nuansa heroik yang dia pernah rasakan. Ya, beliaulah salah satu pemeran pertempuran hebat itu. Satu pertempuran yang menjadi catatan kelam pasukan Great Britain di Indonesia. Seorang jenderal bintang satu, Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, tewas di tangan arek-arek Suroboyo. Tewasnya sang jenderal yang menjadi salah satu pemicu pertempuran hebat Suroboyo itu. Sudah menjadi kebiasaan pada setiap 10 Nopember, dia putar kembali pidato Bung Tomo sampai jelang adzan Dzuhur. Tak jemu. Tak bosan. Sementara aku yang hilir mudik sibuk dengan pekerjaan di rumah, kadang rasakan kebosanan. Bahkan dalam hati menggerutu,"Apa nggak ada pidato lainnya yang lebih heboh?' "Kamu duduk sini dulu War!" tiba-tiba suara serak dan berat itu menghujam ke telingaku. "Duduklah sini sebentar. Kamu juga harus tahu. Mengapa aku putar pidato Bung Tomo itu setengah harian. Sampai-sampai membuat kamu suntuk," demikian dia meneruskan kata-katanya. "Ya, Bah. Sebentar. Saya tutup dulu nih komputernya. Biar programnya nggak hilang," sambil aku bergegas menyimpan file program game yang baru aku buat malam kemarin. Beringsut kemudian aku duduk di sebelah lelaki tua itu. Dia adalah abahku. Sudah 85 tahun usianya. Namun tubuhnya masih terlihat kokoh. Giginya pun masih nampak utuh. Hanya beberapa gigi gerahamnya saja yang sudah tanggal. Sementara untuk makanan, abah masih makan segala jenis masakan. Meski dokter sudah melarang untuk beberapa jenis makanan. "Dokter kok mau nyuruh nentang takdir," begitu abah kalau mengomentari nasehat dari dokter langganan. "Nentag takdir gimana sih, Bah," aku tidak paham dengan kalimatnya. "Itu tuh. Kalau waktunya mati, meskipun kita sembunyi di dalam brankas, ya tetep mati saja. Lha wong sudah jatahnya," tukasnya. "Maksud dokter itu juga baik kok, Bah. Agar Abah tidak sakit," demikian aku coba untuk menjelaskan. "Tahu apa kamu tentang sakit. Kamu pernah tahu Abah sakit parah?" katanya setengah bersungut. "Tidak juga sih Bah. Paling masuk angin. Paling banter, mules," jawabku sambil garuk-garuk kepala. "Itulah War, selama kita tidak makan berlebihan, insyaalloh gak papa," gaya khas Suroboyoan begitu lekat. Meskipun abah adalah keturunan Wong Meduro. Orang Madura. "Wis, coba dengar!" kembali beliau pasang wajah serius. "Kamu tahu perang 10 Nopember itu?" "Tahu Bah." "Tahu darimana?" "Dari pelajaran sejarah dan film-film dokumenter Bah." Sejenak terlihat wajah abah sedikit murung. Ada nada kesedihan lewat sorot mata dan tarikan bibirnya. "Abah dan kawan-kawan ada di sana War. Kebetulan Abah terkonsentrasi di dekat gedung bioskop Brantas Wonokromo. Kamu tahu kan?" "Nggih, Bah. Dekat rumah lama kita di Pulo ya?" balik aku bertanya. "Rumah kita itu dulu adalah gudang kedelai Belanda, War. Banyak bedeng-bedeng yag dulu biasa dipakai para kuli untuk tempat tinggal di barat gudang itu," sambil wajahnya merenung membayangkan situasi saat itu. "Kami dari Brigade Hizbullah Paiton sudah mulai awal Oktober 1945 bergerak ke Surabaya. Di sana akhirnya kami bergabung dengan laskar lain. Dari Jombang ada. Dari Paciran. Dari Gresik bahkan dari Solo serta dari Krapyak Yogya juga ada," kembali abah menyambung ceritanya. "Berapa orang kawan Abah dari Paiton," tanyaku penasaran. "Cukup banyak War. Sekitar 5 kompi gabungan. Ada yang dari Asembagus, Bondowoso. Dari Jember juga. Ditambah sekitar 2 kompi lagi dari Bangil dan Pasuruan. Bareng rombongan Abah setelah melalui kota itu." "Cukup banyak ya Bah?" "Ya, War. Setara dengan 700-an orang." "Lalu..," bertambah penasaran aku. "Kami akhirnya bergabung dengan Laskar Hizbullloh Surabaya. Kebetulan saat itu kami bersepakat menunjuk Moestopo sebagai komandannya. Dia adalah santri Kyai Idrus dari Sidotopo." "Lho... berarti banyak kyai juga yang terlibat?" "Betul, War. Justeru karena banyaknya Laskar Hizbulloh dan Sabilillah dari banyak pondok pesantren, Bung Tomo tidak menutup pidatonya dengan pekik khas 'hidup atau mati'. Tapi dengan Allohu Akbar! Subhanalloh, War. Memang luar biasa dampak pidato itu," sampai di sini wajah abah kelihatan kembali menegang. "Akhirnya kami di bagi dalam beberapa kelompok. Ada yang menuju kota, gubernuran yang saat itu dibuat kantor tentara sekutu. Ada yang ke arah Penjara Kalisosok, dimana banyak para tentara dan pejuang kita yang dipenjara di situ. Ada yang ke arah Perak, dimana konsentrasi kapal pemasok senjata sekutu berada di situ. Ada yang ke Gubeng dan Semut, sebab gerbong lokomotif vital banyak disimpan di situ," terlihat abah menghela napas sejenak. "Abah berangkat ke Kalisosok, War. Ada sekitar 200-an laskar yang bergerak ke utara. Ditambah dengan sekitar 100 laskar dari Surabaya dan Paciran yang sudah nunggu di dekat Jembatan Merah." "Lho, Jembatan Merah kan juga salah satu tempat pertempuran sengit itu, Bah," tanyaku bingung. "Betul War. LP Kalisosok dan Jembatan Merah kan segaris. Pergerakan menuju Kalisosok itu dari utara dan timur. Ini yang jarang sekali diungkap oleh pelajaran sejarah yang ditulis di buku pelajaran sekolah," abah dengan sabar menjelaskan. "Begitulah yang terjadi. Ternyata tentara sekutu yang datang dari arah selatan, arah gubernuran cukup banyak. Hampir 300-an dengan senjata yang sangat moderen saat itu. Sementara laskar kita cuma beberapa puluh senjata laras panjang hasil pampasan perang. Bambu runci, 'ketepel' dengan mata paku, bahkan panah beracun itu menjadi senjata terbanyak kami." Kembali abah terdiam. Hening diantara kami. Mencoba menggambarkan situas itu di langit-langit ruang tamu kami. Ruangan yang sekaligus menjadi ruang kerjaku. "Tapi ada satu senjata yang mungkin tentara sekutu tidak punya War. Satu senjata yang sangat mematikan," abah memecah keheningan kami. "Apa itu, Bah," tanyaku sedikit heran. "Takbir. Allohu Akbar, itu War senjata mematikan kami," ratusan tentara sekutu juga akhirnya menyerah karena itu. Sementara ratusan yang masih nekat. Akhirnya tewas sia-sia di tangan kami." "Bagaimana Abah bisa lolos dari pertempuran itu Bah," coba beranikan aku ajukan pertanyaan nekat. "Semoga Abah tidak marah," demikian gumamku dalam hati. Abah terdiam. Menunduk dan kembali pundaknya terguncang keras. Abah menangis lirih. Aku pun kembali terdiam. "Abah diselematkan oleh seorang sahabat dari Paciran, War. Kemudian yang Abah tahu, namanya Iswari..." "Hah...?" sontak aku kaget. Isawari itu kan namaku? "Betul, War. Namamu Abah ambil dari namanya. Dialah yang menjadi tameng hidup saat abah terhantam peluru meriam tepat di depan LP Kalisosok. Beliau tewas. Sementara Abah hanya pingsan. Kemudia Abah tahu, ternyata betis Abah ini juga terkena banyak serpiha bom itu." "Lho, berarti Abah sempat dioperasi ya?" dengan heran aku bertaya. "Tidak, War. Betis Abah dirobek dengan bayonet oleh Matasim, pakdhemu yang ikut bertempur satu kompi dengan Abah." Sejenak aku jadi teringat sosok Matasim, kakak Abah yang terakhir menjadi seorang kolonel dan bertugas di Mabes AD Jakarta tahun 1974 yang lalu. "Tapi setelah situasi mereda, sekitar ba'da Maghrib tanggal itu, Abah sempat dikirim ke rumah sakit RKZ di Darmo. Sekitar 3 hari Abah dirawat di situ." "Terus perangnya gimana Bah?" menyambung rasa ingin tahuku. "Belum usai hari itu. Besoknya masih ada di beberapa tempat tentara sekutu yang melakukan perlawanan. Namun pas Abah keluar rumah sakit tanggal 13 Nopember, suasana sudah cukup terkendali oleh tentara kita yang dibantu oleh para laskar. Termasuk laskar Hizbulloh kesatuan Abah," demikian panjang lebar abah menjelaskan padaku. Demikianlah waktu bergulir dengan cepat. Pasca pertempuran 10 Nopember 1945 yang hebat dan mendunia itu, abah secara resmi bergabung dengan TNI. Setelah sebelumnya abah juga mendapatkan tawaran untuk melajutkan studinya. Abah lebih mencintai dunia yang membesarkanya. Kelaskaran, ketentaraan. Dan... saat ini, abah sudah tenang beristirahat di TMP kotaku. Mengubur jasadnya. Tapi bukan berarti mengubur kenangannya. Kenanganku juga. Bahwa kemerdekaan itu tidak dipertahankan dengan mudah. Ada perjuangan terus menerus, termasuk yang seharusnya dilakukan oleh generasi muda saat ini. Bukan malah sebaliknya. Membuat diri kita untuk merdeka untuk melakukan apa saja terhadap ini. Termasuk merusaknya dengan tindakan celaka yang menciderai kemerdekaan itu sendiri. Korupsi, kolusi, nepotisme dan penghianatan terhadap kemerdekaan adalah serangan jenis baru terhadap kemerdekaan itu sendiri. Akupun sampai saat ini tetap mencoba belajar konsistensi dari seorang abah. Kemerdekaan itu bukan berarti merdeka untuk melakukan apa saja. Kemerdekaan itu adalah dapat memberikan manfaat kepada orang lain dengan ikhlas dan kesungguhan. Sederhana banget mungkin. Tapi begitulah kesederhanaan seorang abah. Seorang pahlawan bagiku dan negaraku. Selamat jalan abah. Semoga Alloh berikan surgaNya untukmu.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

dengan judul :Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun