Mohon tunggu...
Nuzul Mboma
Nuzul Mboma Mohon Tunggu... Peternak - Warna warni kehidupan

Peternak ayam ketawa & penikmat kopi nigeria.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakratul Maut

0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ruangkita.blogspot.com

Di suatu siang yang terik, warga asrama berlari tergesa-gesa ke sebuah rumah tua tak jauh dari kanal. Kontan, warga memenuhi teras rumah. Sebagian masuk ke ruang tamu bahkan rela berdempet-dempetan hingga ke dapur. Semua ingin melihat dan mengetahui apa yang terjadi. Terlihat satu dua warga berbicara satu sama lain, "Tuhan, inikah sakratul maut" ujar salah seorang warga. Tak sedikit yang terharu, berharap-harap cemas, menatap kosong ke lantai atau bersandar gontai ke tembok berlumut rumah Pak Raja.

Terdengar suara orang-orang merapalkan doa-doa dari mulutnya. Kemarin secara tiba-tiba setelah makan malam bersama keponakannya, Pak Raja terjatuh di kamarnya yang sekaligus menjadi ruang kerjanya itu. Ia kejang-kejang, suhu badan panas dan terbaring tak berdaya diatas kasur lusuh. Para warga menduga kalau kematian akan menjemput Pak Raja secara pelan-pelan.

Cuaca mendung memayungi langit asrama tiga hari terakhir, seakan-akan menolak kehadiran matahari berpendar di horizon dan siap menyambut kedatangan malaikat pencabut nyawa melalui pintu belakang. Saat itu Aku melangkah pulang dari sekolah menyusuri jembatan besar diatas kanal. Menghindari becek agar tak mengotori sepatu Homyped baruku atau melihat ke arah permukaan kanal apa saja benda-benda yang terapung terbawa olehnya.

Samar-samar kulihat dari jauh nampak keramaian manusia berkumpul di rumah tetangga. Aku percepat langkahku, tergesa-gesa dan mencari tahu apa yang terjadi. Aku masuk ke dalam rumah Pak Raja dan secara bergantian mengintip ke dalam sebuah kamar melalui celah lubang pintu yang sengaja dikunci dari dalam. Terlihat ada Pak RT, disampingnya ada Pak Usman yang masih mengenakan pakaian dinas militer hijau kelabu, Pak Imam mesjid, Istri Pak Raja dan Anak semata wayangnya. Semua duduk melantai membentuk huruf U diantara kasur lusuh. Diatasnya terbaring lemah seorang manusia yang nafasnya tersengal-sengal dan kedua matanya jalang.

Kudengar suara Pak Imam berdesis ke telinga Pak Raja menyampaikan kalimat kebesaran sang pencipta. Disampingnya terdengar suara sedu sedan seorang perempuan dan bocah lelaki yang bergelimang air mata bercampur ingus di atas bibirnya.

 "Hei! jangan mengintip terus, gantian, Aku juga ingin melihat apa yang terjadi di dalam." desak seorang warga memegang pundakku.

 Seketika Aku melangkah mundur keluar pintu dan melihat Bahar di sudut teras rumah Pak Raja. Ia berjongkok, wajahnya menunduk sambil memegang minuman cream soda berbotol kaca di tangan kirinya dan tangan satunya mencoret-coret tanah dengan batu kerikil. Aku mendekat dan duduk di tanah samping temanku itu. Tak peduli kalau-kalau Aku akan mendapatkan dampratan dari ibu karena celana sekolah biru tua yang kukenakan menempel bekas tanah di pantatku.

Menjadi rahasia umum di lingkungan kami jika Bahar adalah keponakan sekaligus asisten Pak Raja yang membantu menjalankan profesi pamannya itu. Ia memutuskan berhenti sekolah kelas satu sma karena orang tuanya tak sanggup lagi membayar biaya sekolah dan memutuskan untuk bekerja saja di rumah pamannya sebagai pencatat angka-angka diatas tumpukan kertas putih sebesar kartu remi. Kadangkala jika menerima upah dari hasil kerjanya, separuh dimasukkan ke celengan, separuh diberikan ke ibu untuk membeli sekilo daging sapi dan seperduanya disisipkan untuk membeli wiski oplosan untuk berpesta bersama kawan sejawat di malam hari.

"Har, sakit apa Paman mu. Kenapa tak dibawa ke rumah sakit?" Tanyaku membuka percakapan.

"Tak tahulah, tadi pagi ia berkata sakit di ubun-ubun kepala dan tiba-tiba saja roboh ketika berdiri dari kursi kerjanya dan kejang-kejang diatas lantai. Aku panik dan memanggil warga meminta pertolongan. Sudah berjam-jam hingga sekarang ia tak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan malahan setelah itu mulutnya seperti terkunci tak bisa berbicara seperti tanda-tanda datangnya kema...." suara Bahar terasa berat mengucapkan sesuatu dan kulihat tanah di depannya ternoda titik-titik air mata berderai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun