Mohon tunggu...
Nuzul Mboma
Nuzul Mboma Mohon Tunggu... Peternak - Warna warni kehidupan

Peternak ayam ketawa & penikmat kopi nigeria.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakratul Maut

0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu siang yang terik, warga asrama berlari tergesa-gesa ke sebuah rumah tua tak jauh dari kanal. Kontan, warga memenuhi teras rumah. Sebagian masuk ke ruang tamu bahkan rela berdempet-dempetan hingga ke dapur. Semua ingin melihat dan mengetahui apa yang terjadi. Terlihat satu dua warga berbicara satu sama lain, "Tuhan, inikah sakratul maut" ujar salah seorang warga. Tak sedikit yang terharu, berharap-harap cemas, menatap kosong ke lantai atau bersandar gontai ke tembok berlumut rumah Pak Raja.

Terdengar suara orang-orang merapalkan doa-doa dari mulutnya. Kemarin secara tiba-tiba setelah makan malam bersama keponakannya, Pak Raja terjatuh di kamarnya yang sekaligus menjadi ruang kerjanya itu. Ia kejang-kejang, suhu badan panas dan terbaring tak berdaya diatas kasur lusuh. Para warga menduga kalau kematian akan menjemput Pak Raja secara pelan-pelan.

Cuaca mendung memayungi langit asrama tiga hari terakhir, seakan-akan menolak kehadiran matahari berpendar di horizon dan siap menyambut kedatangan malaikat pencabut nyawa melalui pintu belakang. Saat itu Aku melangkah pulang dari sekolah menyusuri jembatan besar diatas kanal. Menghindari becek agar tak mengotori sepatu Homyped baruku atau melihat ke arah permukaan kanal apa saja benda-benda yang terapung terbawa olehnya.

Samar-samar kulihat dari jauh nampak keramaian manusia berkumpul di rumah tetangga. Aku percepat langkahku, tergesa-gesa dan mencari tahu apa yang terjadi. Aku masuk ke dalam rumah Pak Raja dan secara bergantian mengintip ke dalam sebuah kamar melalui celah lubang pintu yang sengaja dikunci dari dalam. Terlihat ada Pak RT, disampingnya ada Pak Usman yang masih mengenakan pakaian dinas militer hijau kelabu, Pak Imam mesjid, Istri Pak Raja dan Anak semata wayangnya. Semua duduk melantai membentuk huruf U diantara kasur lusuh. Diatasnya terbaring lemah seorang manusia yang nafasnya tersengal-sengal dan kedua matanya jalang.

Kudengar suara Pak Imam berdesis ke telinga Pak Raja menyampaikan kalimat kebesaran sang pencipta. Disampingnya terdengar suara sedu sedan seorang perempuan dan bocah lelaki yang bergelimang air mata bercampur ingus di atas bibirnya.

 "Hei! jangan mengintip terus, gantian, Aku juga ingin melihat apa yang terjadi di dalam." desak seorang warga memegang pundakku.

 Seketika Aku melangkah mundur keluar pintu dan melihat Bahar di sudut teras rumah Pak Raja. Ia berjongkok, wajahnya menunduk sambil memegang minuman cream soda berbotol kaca di tangan kirinya dan tangan satunya mencoret-coret tanah dengan batu kerikil. Aku mendekat dan duduk di tanah samping temanku itu. Tak peduli kalau-kalau Aku akan mendapatkan dampratan dari ibu karena celana sekolah biru tua yang kukenakan menempel bekas tanah di pantatku.

Menjadi rahasia umum di lingkungan kami jika Bahar adalah keponakan sekaligus asisten Pak Raja yang membantu menjalankan profesi pamannya itu. Ia memutuskan berhenti sekolah kelas satu sma karena orang tuanya tak sanggup lagi membayar biaya sekolah dan memutuskan untuk bekerja saja di rumah pamannya sebagai pencatat angka-angka diatas tumpukan kertas putih sebesar kartu remi. Kadangkala jika menerima upah dari hasil kerjanya, separuh dimasukkan ke celengan, separuh diberikan ke ibu untuk membeli sekilo daging sapi dan seperduanya disisipkan untuk membeli wiski oplosan untuk berpesta bersama kawan sejawat di malam hari.

"Har, sakit apa Paman mu. Kenapa tak dibawa ke rumah sakit?" Tanyaku membuka percakapan.

"Tak tahulah, tadi pagi ia berkata sakit di ubun-ubun kepala dan tiba-tiba saja roboh ketika berdiri dari kursi kerjanya dan kejang-kejang diatas lantai. Aku panik dan memanggil warga meminta pertolongan. Sudah berjam-jam hingga sekarang ia tak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan malahan setelah itu mulutnya seperti terkunci tak bisa berbicara seperti tanda-tanda datangnya kema...." suara Bahar terasa berat mengucapkan sesuatu dan kulihat tanah di depannya ternoda titik-titik air mata berderai.

Tak ayal, Aku teringat guru agama di sekolah yang berujar perihal datangnya tanda-tanda sakratul maut. Aku fikir, mungkinkah Pak Raja yang dikenal polah baiknya ke sesama warga akan menjemput ajal secepat kilat. Kata Bahar, pamannya itu sudah berminggu-minggu selalu gundah dipenghujung malam. Mendengar suara gagak, burung hantu atau kadang ia merasakan ada seseorang di depan rumahnya memanggil-manggil namanya. Ketika di intip dibalik gorden jendela terlihat sosok lelaki kurus berjubah hitam. Wajahnya silau bercahaya berdiri mematung di sela-sela pohon pisang halaman rumah Pak Raja.

Tiba-tiba anak Pak Raja berjalan gontai ke depan pintu rumah seraya menyeka ingus yang bercampur air mata di lengan bajunya.

"Kak Har, sini masuk ke kamar. Ayah ingin bicara dan memberikan sesuatu kepadamu."

Bahar beranjak dari sampingku. Melangkah berat seraya menunduk masuk ke dalam rumah pamannya. Didalam kamar tercium aroma kematian, semua mata berkaca-kaca melihat Pak Raja yang terbaring lemah dengan mulut menganga ingin mengucapkan sesuatu tapi kata-katanya tertahan di tenggorokan.

Tiga hari sebelum ajal menjemputnya, Pak Raja menulis sebuah pesan di atas secarik kertas putih. Seakan-akan tahu kalau kematian akan datang tak lama lagi.

"Keponakanku yang kusayang....lima bulan lalu selepas kematian Ibuku, Aku merasakan beban berat karena belum menunaikan janjiku untuk membawa Ibuku naik haji. Padahal uang yang kusimpan sudah mendekati cukup untuk menunaikan rukun islam kelima itu. Aku menaruh uangku di kantong plastik merah dan kutimbun di bawah batu samping pohon pisang depan rumah karena Aku tahu jika kutitip ke istriku pasti akan tandas terbeli perhiasan.

 Ambillah uang itu Bahar dan sumbangkan ke pengurus masjid untuk membantu renovasi masjid lingkungan kita karena sebulan lalu kudengar desas-desus pembangunan masjid mandek tak cukup dana. Aku rasa hidupku di dunia ini tak akan lama lagi dan akan kutinggalkan segala-galanya kecuali amal kebaikan."

Kulihat langit hitam mendung dan gerimis landai membasahi permukaan bumi. Kutadahkan kedua tanganku yang diguyuri rintik hujan. Sedangkan di dalam rumah Pak Raja, isak tangis mulai bersahut-sahutan seirama dengan bulir air hujan yang tumpah di atas atap seng.

Semua merasa kehilangan, tak ada lagi sosok manusia teladan yang sangat dikagumi dan kontroversial di lingkunganku. Kematian Pak Raja meninggalkan sebuah pesan bermakna kalau kejahatan hanyalah penafsiran sebagian orang dan berita-berita di televisi. Setelah kematian itu, Bahar memutuskan melanjutkan profesi pamannya sebagai bandar togel sebulan sesudahnya. Memulai semuanya dari semula dengan bekal pengetahuan yang mumpuni selama menjadi asisten Pak Raja.

Di lain hari, entah mengapa Aku merasa senang dan mengiyakan permintaan Bahar karena mengangkatku sebagai asisten pencatat angka-angka. Ikut terlibat dalam profesi bandar togel di usia belia sangat menopang segi perekonomianku. Memenuhi uang jajanku sehari-hari, membayar iuran sekolah dan memenuhi lemari pakaianku dengan baju Cubitus. Semua kembali seperti sediakala. Orang-orang kembali memasang togel dengan harapan dan alasan berbeda-beda. Semenjak itu, kematian Pak Raja pelan-pelan terlupakan tapi tidak dengan kebaikan-kebaikan yang ditanamkan di lingkungan kami. ***

*Asrama ialah bangunan tempat tinggal yang dihuni oleh prajurit/purnawirawan beserta keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun