Dia duduk di kaki bukit. Di bawah pohon yang bunga-bunganya berjatuhan bagai hujan ke kepalanya, dia mencium aroma darah. Nyatanya darah itu keluar dari badannya sendiri. Di perut, ada luka tusuk. Pada tangannya, ada sebilah belati; yang juga menyimpan bercak darah yang mengering. Pada langit yang terbentang luas, ada matahari yang menyengat kulit-kulitnya. Pandangan matanya sempat menjadi hitam karenanya, sebelum akhirnya ia jatuh pingsan dan mati kehabisan darah.
Di kala matahari menjadi oranye, dan burung-burung terbang pulang ke sarangnya dengan membentuk huruf V, seorang petani melangkah tergesa-gesa selepas melihat seseorang tergeletak di bawah pohon dengan berlumuran darah pada perutnya. Ia menjatuhkan cangkulnya terlebih dulu, ditinggalkannya di belakang dan dia berlari terbirit-birit seperti orang yang kebelet berak.
Berulang kali petani itu mengucap, darah itu membuat kepalanya urak-urakan. Dan dia sedikit menangis ketika diperiksanya lubang hidung pria itu, tak ada nafas yang terhembus, dan pada jantungnya, tak ada nafas yang berdetak. Petani itu panik, dia tak pernah melihat seseorang mati dengan cara begitu. Buru-buru dia mengangkutnya ke bawah, hingga belati di tangan tak bernyawa itu terjatuh.
Ia menuruni bukit menuju kantor polisi. Awalnya sempat dia mengubah haluannya, menuju puskesmas, tapi mengingat tak ada nyawa pada badan yang diangkutnya, lebih baik ia bawa ke kantor polisi dan berharap mereka mengurus sisanya. Perjalanan yang sepi dan sunyi, sebab orang-orang sudah masuk ke dalam rumah menanti maghrib yang sebentar lagi akan tiba.Â
Nafasnya memburu, membuatnya terengah-engah, petani itu memaksakan dirinya yang sudah terlanjur lelah mengurus sawah sedari pagi tadi supaya ia lekas pulang karena anaknya sendirian ditinggal di rumah di atas bukit. Di kantor polisi, ada seorang opsir yang masih muda, baru masuk senin lalu. Baru saja si petani masuk ke pekarangan kantor polisi, opsir itu sudah lebih dulu menjemputnya dan ikut membantu. Si badan tak bernyawa direbahkan di atas sebuah matras.
"Saya menemukannya di kaki bukit."
Opsir muda itu heran, dia menggarukkan pucuk kepalanya berulang kali. Ia tak menyangka hal seperti ini akan langsung dilihatnya selepas baru beberapa hari bekerja. Setelah mereka berdua diam, si petani langsung izin pulang dengan alasan anaknya yang sendirian, tapi si opsir muda yang bingung itu menyuruhnya agar menetap.Â
Tentu sebagai petugas baru, ia belum terlalu paham prosedurnya seperti apa, dan jelas ia tak ingin ada kesalahanpun di awal-awal karirnya sebagai opsir. Maka jalan paling aman adalah menyuruh petani untuk menetap, sehingga nanti apabila ada opsir yang pangkatnya lebih tinggi, bisa menanyai keterangan lebih lanjut. Dan bukan tidak mungkin bagi si opsir muda, bahwa petani itu adalah orang yang membuat si badan tak bernyawa itu menjadi busuk rupanya.
"Tolong, pak, anak saya sendirian di rumah dari pagi tadi. Dia kesepian," melas si petani, yang tiba-tiba teringat di kepalanya, bahwa dia juga meninggalkan cangkulnya begitu saja di jalan. Dan apabila cangkul itu hilang, ia akan gagal menjadi petani. Tapi opsir muda itu dengan tegas menentangnya, "ini perkara nyawa manusia. Ini perkara serius!'
Berulang kali sudah si petani membungkukkan badannya, dan berharap opsir muda itu melepasnya pergi dengan berjanji bahwa dia akan kembali nanti pukul sembilan saat anaknya sudah terlelap pulas. Tapi, opsir muda itu meninggikan nadanya, dan menujukkan otoritasnya sebagai petugas; di satu sudut kecil hatinya, ada kebanggaan yang mewarnai ruang itu saat ia melihat petani itu menjadi lemas, dan tak berdaya, sehingga memilih untuk duduk di kursi dan melihat langit yang jatuh tenggelam dari matanya. Azan maghrib yang berkumandang, membuat hatinya kian menjadi cemas.
Setengah delapan, satu jam setengah waktu sudah berlalu. Pandangan mata si petani masih saja terang memandang pekarangan kantor polisi yang remang-remang. Badannya lelah. Pikirannya cemas. Satu jam setengah yang penuh dengan kesia-siaan untuk seorang pekerja keras sepertinya. Opsir muda itu sudah menawarinya rokok beberapa kali sembari menunggu atasannya datang, tapi si petani tak menyahut. Perutnya juga lapar, tapi nasi bungkus pemberian si opsir tidak disentuhnya. Bahkan tak sedikitpun aroma kuah nangka itu tercium ke dalam hidungnya.Â
Dia berharap opsir muda itu langsung saja menanyai keterangan tentang si jasad, tapi opsir muda bilang bahwa lebih baik menunggu atasannya datang. Si atasan sedang enak-enaknya bercumbu di ranjang bersama istrinya, picik si petani rajin itu. Tapi dia diam saja, berdoa, berharap agar waktu cepat berlalu, dan angin malam dapat menemani langkahnya pulang. Sebagai mantan anggota kelompok separatis, dia tahu betul sejarahnya jelek, dan melawan, tentu akan memperparah keadaannya. Dan bisa saja ia dipenjara seumur hidup atas kejahatan yang tidak dikotori oleh tangannya sendiri, dan itu sangat memilukan.
Tiba-tiba dari kejauhan, dia melihat sebuah lampu motor melaju menuju kantor polisi. Akhirnya, orang yang dinantinya itu pun tiba, tepat saat emosi si petani bertegak lurus dengan neraka. Tak menunggu lama, ia langsung berdiri dan bergegas agar segala prosesi ini cepat usai. Si opsir yang pangkatnya lebih tinggi itu perutnya buncit, dan mukanya sudah keriput. Dari tampang, petani itu lebih terlihat muda, tapi perkara umur adalah rahasia.
Si petani tak menerima jabatan tangan opsir itu, wajahnya sudah terlanjur cemberut. Ia diminta untuk duduk. Karena dilihat kopi di gelas sudah dingin, opsir yang pangkatnya lebih tinggi itu meminta si opsir muda membikinkan kopi lagi buat si petani. Dan di sanalah, diceritakannya semua, dan itu tidak lama. Hanya sebentar, kebanyakan pertanyaan opsir berpengalaman itu mengarah pada hal-hal personal soal si petani. Tentang kesehariannya, anaknya, tinggal di mana, dan ketika si opsir menanyakan perihal istrinya, ia melempar pandangannya keluar. Ada satu cahaya lampu di pinggir jalan yang terlihat begitu busuk.
"Meninggal," jawabnya.
"Sebab?"
Dibunuh," jawabnya.
"Oleh?"
"Tentara." Jawabnya.
"Sebab?"
"Peluru nyasar."
Opsir menganggukkan kepalanya. Dia menulis keterangan pada buku catatan: petani = tersangka. Kemudian dia menutup bukunya, dan mengucapkan terima kasih. Katanya dia akan mencari tahu identitas si tak bernyawa, dan bisa jadi mereka akan bertemu lagi di lain waktu. Tanpa dibolehkan untuk pergi, petani itu lebih dulu bangkit dari kursinya, dan pulang dengan berlari-lari kecil ke arah bukit. Demikian angin malam yang begitu menusuk sendi-sendinya yang lebih dulu basah oleh keringat itu mengantarkannya pulang menuju anaknya.
Sampai di rumah, dibukanya pintu, dan melihat si anak terbaring lemas di atas karpet plastik. Matanya bengkak bekas tangis. Perutnya kosong tanpa makanan, badannya dingin tanpa peluk kasih. Si ayah tak mendengar ada suara, tapi ia merasakan masih ada kehidupan di dada anak perempuannya. Dia mengendongnya dengan hati-hati, mengelus keningnya, menyapu rambut lurusnya yang menutupi mata, dan mengusap air matanya yang mengeras. Dia membisikkan, bapak sudah pulang, ke telinga mungil anaknya yang di dalam gendongan. Namun, si anak terlalu pulas atau terlalu lemas untuk terjaga, sehingga petani itu meneteskan air matanya.
Ditimang-timang anaknya sambil berjalan keluar rumah. Dengan melihat bintang, dia menyanyikan sebuah lagu penghantar tidur. Bukan hanya untuk anaknya, tapi juga untuk dia yang sedang diselimuti derita. Pikirannya berkecamuk ke beragam rupa, cangkul yang tergeletak entah, belati yang terjatuh, dan bulan sabit yang mengantarkannya menuju esok yang masih jadi misteri. Kini yang ia tahu, bahwa semua sudah begitu terlambat untuknya. Bilapun sang anak terjaga esok pagi, dia tetap gagal menjadi seorang bapak. Dia juga sudah menjadi bentuk kegagalan seorang suami. Dan mungkin esok, ia juga akan gagal menjadi manusia, selepas opsir-opsir itu mengetahui bahwa, si badan tak bernyawa adalah tentara.[]
2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H