Sampai di rumah, dibukanya pintu, dan melihat si anak terbaring lemas di atas karpet plastik. Matanya bengkak bekas tangis. Perutnya kosong tanpa makanan, badannya dingin tanpa peluk kasih. Si ayah tak mendengar ada suara, tapi ia merasakan masih ada kehidupan di dada anak perempuannya. Dia mengendongnya dengan hati-hati, mengelus keningnya, menyapu rambut lurusnya yang menutupi mata, dan mengusap air matanya yang mengeras. Dia membisikkan, bapak sudah pulang, ke telinga mungil anaknya yang di dalam gendongan. Namun, si anak terlalu pulas atau terlalu lemas untuk terjaga, sehingga petani itu meneteskan air matanya.
Ditimang-timang anaknya sambil berjalan keluar rumah. Dengan melihat bintang, dia menyanyikan sebuah lagu penghantar tidur. Bukan hanya untuk anaknya, tapi juga untuk dia yang sedang diselimuti derita. Pikirannya berkecamuk ke beragam rupa, cangkul yang tergeletak entah, belati yang terjatuh, dan bulan sabit yang mengantarkannya menuju esok yang masih jadi misteri. Kini yang ia tahu, bahwa semua sudah begitu terlambat untuknya. Bilapun sang anak terjaga esok pagi, dia tetap gagal menjadi seorang bapak. Dia juga sudah menjadi bentuk kegagalan seorang suami. Dan mungkin esok, ia juga akan gagal menjadi manusia, selepas opsir-opsir itu mengetahui bahwa, si badan tak bernyawa adalah tentara.[]
2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H