Beberapa hari ini, saya sedang senang-senangnya mendengarkan lagu-lagu Efek Rumah Kaca, band alternatif-rock asal Jakarta. Namun, perhatian saya jatuh pada dua album pertama mereka, "Efek Rumah Kaca" yang dirilis tahun 2007 dan setahun kemudian keluarnya "Kamar Gelap".Â
Secara keseluruhan, kedua album sama-sama terdengar asyik di telinga dan sukses mengantarkan Efek Rumah Kaca memenangkan beberapa penghargaan.
Lantas rasa penasaran saya muncul tatkala habis mendengar kedua album tersebut secara maraton, dan menemukan sekilas bahwa kedua album terdengar sama saja. Seakan-akan keduanya adalah album yang sama, tanpa ada pembaharuan.Â
Atau bisa jadi "Kamar Gelap" adalah lanjutan suara mereka yang terputus?
Maka saya menanyakan pada diri saya sendiri, mana yang bagi saya adalah album yang lebih baik di antara keduanya? Sehingga ini memengaruhi pandangan saya terkait perkembangan Efek Rumah Kaca secara musikal; yang mana jelas sekali bahwa album "Sinestesia" (2015) dan "Rimpang" (2023) jauh lebih signifikan perbedaannya dibandingkan dengan album lainnya.
Harus saya katakan bahwa perbandingan antara album "Efek Rumah Kaca" dan "Kamar Gelap" adalah "pertandingan" yang menarik, karena keduanya merupakan karya yang kuat sebagai pondasi suara dari Efek Rumah Kaca, serta memiliki "suara" sosial yang cukup berpengaruh bagi masyarakat.Â
Meskipun keduanya memiliki gaya musik yang serupa, tapi tak sama. Nyatanya setelah mendengarkan secara berulang-ulang, saya menemukan perbedaan yang cukup signifikan dalam nuansa dan pendekatan keseluruhan.
Meskipun sudah dirilis lebih dari satu dekade lalu, kedua album ini masih "nyambung" untuk didengarkan di masa sekarang, sebut saja "Kenakalan Remaja di Era Informatika" dan lagu "Efek Rumah Kaca" yang sanga dekat dengan suasana sekarang ini.Â
Tak ada kata terlambat untuk kembali mengulik album-album lama ini, meskipun di tahun ini mereka sudah mengeluarkan album barunya bertajuk "Rimpang", yang mana dengan menengok ke belakang, saya dapat lebih menikmati warna baru mereka di album terbarunya.
Album "Efek Rumah Kaca", dirilis pada tahun 2007, menghadirkan kombinasi musik alternatif yang memukau dengan lirik yang puitis dan kontemplatif. Seperti lagu "Jatuh Cinta Itu Biasa Saja" yang meruntuhkan segala argumen romantisasi dalam percintaan dan pandangan orang-orang mengenai cinta itu buta.
Pendengarnya seakan-akan diajak untuk merekonstruksi ulang terkait prinsip cinta yang tertanam sebagai suatu bentuk yang menggebu-gebu. Atau lagu self-titled "Efek Rumah Kaca" yang memberi peringatan terkait global warming, dan ini adalah apa yang kita rasakan akhir-akhir ini, bukan? Gelombang panas datang menyerang beberapa negara di Asia.
Di album pertamanya ini, Efek Rumah Kaca mengeksplorasi berbagai tema seperti cinta, sosial, politik, dan kehidupan sehari-hari dengan cara yang sangat introspektif, seperti "Sebelah Mata", "Insomnia", "Belanja Terus Sampai Mati". Lirik-liriknya juga memiliki kedalaman filosofis yang kuat, salah satunya adalah lagu "Melankolia", yang mengantarkan para pendengarnya untuk menyelami segala kesedihan dan kegundahan yang menyelimuti hari-hari terang. Di lagu itu, Efek Rumah Kaca dengan indah menyampaikan bahwa: murung itu, sungguh indah, lagu ini berhasil meneteskan air mata saya, terutama penggalan lirik: Nikmatilah saja kegundahan ini, segala denyutnya yang merobek sepi, kelesuan ini jangan lekas pergi, aku menyelami sampai lelah hati.
Dalam segi komposisi suara, musik-musik di album ini menciptakan suasana yang indah dan emosional dan langsung menusuk jantung pendengar dengan nada-nada yang melankolis. Album debutan ini nyatanya tak hanya menonjolkan kepiawaian Efek Rumah Kaca dalam menghadirkan pesan-pesan yang dalam dan kompleks melalui musik mereka, namun juga menjadi album yang meramaikan musik alternatif di permusikan Indonesia.
Sementara itu, album "Kamar Gelap" yang dirilis pada tahun 2008, menandai perubahan dalam pendekatan grup musik ini. Saya menemukan bahwa album ini memiliki atmosfer yang lebih gelap dan lebih eksperimental dibandingkan dengan album sebelumnya. Lagu-lagunya mengeksplorasi tema-tema yang lebih kompleks seperti ketidakpastian (Lagu Kesepian), kecemasan (Laki-laki Pemalu), dan lebih patriotis, seperti lagu-lagu "Mosi Tidak Percaya" dan "Menjadi Indonesia".
Secara umum, lagu-lagu yang ditawarkan cukup interpretatif. Artinya, dari perspektif manapun kita melihatnya, ada saja makna yang ditemukan. Namun bagi saya pribadi, album ini lebih banyak menyentil era-era Orde Baru yang mengalami degradasi kemanusiaan dan kebebasan. Seperti para aktivis yang ditangkap (Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa), dan kritik atas kejadian pelarangan dan pembakaran buku-buku (Jangan Bakar Buku), sedangkan lagu "Kamar Gelap", sekilas saya menemukan bahwa ini tentang foto-foto, namun karena saya yakin sekali bahwa tema major dari album ini adalah tentang aktivisme, maka "Kamar Gelap" pun dapat dimaknai sebagai ruang interogasi para aktivis yang ditangkap: Yang kau jerat adalah riwayat, tidak punah jadi sejarah. Begitupula dengan lagu "Lagu kesepian" dan "Tubuhmu Membiru...Tragis" juga dapat mengarah kepada para aktivis.
Nyatanya album ini menciptakan suara yang lebih atmosferik, yang memberikan kesan lebih hidup dan sering kali menggunakan efek suara yang lebih eksentrik. Â Kerap pula telinga saya terpusat pada permainan drum dari Akbar yang lebih jazzy ketimbang album sebelumnya.Â
Saya senang kepada Akbar Faisal, selaku tulang punggung Efek Rumah Kaca. Saya sangat mengindolakan permainan drum-nya, yang pelan, rapi, tidak menggebu-gebu, tapi tetap rocky dan groovy, sehingga melankolis yang disumbangkan oleh suara Cholil yang merdu dan sendu menjadi seru untuk didengarkan. Begitupun dengan album-album yang mereka rayakan selanjutnya, musik-musik Efek Rumah Kaca kian ramai dan hangat untuk didengarkan.
Secara keseluruhan, "Kamar Gelap" memberikan kesan yang lebih eksperimental dan misterius, memperlihatkan perkembangan dan eksplorasi musikalitas grup ini.
Dalam segi lirik, album "Efek Rumah Kaca" cenderung lebih klasik dan introspektif, dengan bahasa yang puitis dan reflektif. Sementara, album "Kamar Gelap" menggunakan bahasa yang lebih kiasan dan terkadang abstrak, menciptakan suasana yang lebih suram dan teatrikal.
Keduanya merupakan karya yang menggugah dan menyajikan pemikiran yang mendalam, tetapi memiliki nuansa yang berbeda. Menunjukkan perkembangan dan eksplorasi Efek Rumah Kaca dalam menciptakan musik yang berbeda-beda, namun tetap memiliki ciri khas mereka sendiri.
Lantas album mana yang lebih baik? Saya akan menjawab "Kamar Gelap", karena segala yang ada di album "Efek Rumah Kaca", baik dari segi musikalitas dan isu-isu yang diangkat, dapat kita temukan pada album "Kamar Gelap". Bahkan pembahasannya di album 2008 ini lebih tajam dan menyelekit. Sehingga keberanian ini jangan lekas pergi, Efek Rumah Kaca ingin menyelami sampai lelah hati. Sekiranya begitulah representasi album "Kamar Gelap" bagi saya, adalah Efek Rumah Kaca yang lebih asyik (Balerina, Kenakalan Remaja di Era Informatika, Laki-laki Pemalu) dan berani.
Saya senang dengan band ini, karena seluruhan anggotanya memegang peranan yang sangat penting. Banyak yang bilang mereka adalah Muse dan Radiohead-nya Indonesia, tapi saya pikir tidak. Radiohead dan Muse punya suaranya sendiri, dan ini adalah Efek Rumah Kaca.Â
Maka selanjutnya, mari kita dengarkan album terbaru mereka bertajuk "Rimpang", seperti apa Efek Rumah Kaca sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H