Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

2045

1 Desember 2022   19:47 Diperbarui: 1 Desember 2022   19:50 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiba-tiba saja aku hanya ingin tersenyum. Petugas itu meninju wajahku. Aku kembali jatuh. Tapi aku tetap, hanya ingin tersenyum. Pipiku sekarang diinjak oleh sepatu botnya. Darah keluar dari mulut, tapi petugas itu masih mengulang-ulang permintaannya, yang aku tak mengerti sama sekali. Aku hanya tersenyum dan tak melawan. Lantas dengan terbata-bata, dan mulut yang sedikit dimonyongkan oleh ulah sepatu botnya yang menginjak pipiku, aku memintanya untuk menghinakanku lagi. Lagi dan lagi, karena ini teramat menyenangkan.

Kemudian karena mereka geram, aku diangkut ke atas motor becak, dan mereka membawaku ke kantor polisi. Di sana, tanpa melalui proses apa-apa, aku--yang sedang dalam keadaan babak belur---dilempar begitu saja seperti babi ke dalam jeruji besi.

Aku pikir aku sendirian. Tapi lihatlah, di dalam sana, aku malah bertemu dengan bapak yang tadi dicegat di pos jaga, pelipisnya lebam akibat dikecup kepalan tangan petugas. Dia menangis, sambil terus bersorak "istri saya sakit," dengan terisak-isak. Malam yang kelam ini masih sangat panjang untuk dia dan dunia yang sunyi ini.

Kami bahkan tak bertegur sapa. Bahkan aku tak tahu apakah dia sadar akan keberadaanku yang dikurung di ruangan yang sama dengannya. Dia bising sekali. Sama seperti kepalaku, yang semua di dalamnya saling mencecar. Tapi bebas.  

Aku mengambil duduk di pojokan penjara---beberapa jarak di samping kanan pria itu---lalu bersandar pada tembok kusam. Sisi-sisi yang lain kosong, hanya aku dan dia. Aku, yang muda ini, yang tak tahu apa itu menjadi pintar, kebodohan, kedewasaan, keberhasilan, dan apa itu kegagalan menjadi manusia, aku bahkan tak tahu apa-apa, tapi satu-satunya pengetahuan yang kupunya bahwa inilah yang namanya kebebasan. Kebebasanku. Kebebasan atas diriku.

Maka, saat fajar menjemput nanti, yang cahaya-cahaya dan harapannya akan datang melalui celah kecil di atas dinding, aku, yang terkurung ini, adalah satu-satunya manusia yang merasakan kebebasan di negeriku. Akulah manusia yang dengan senang menyambut hari-hari penuh dengan pembebasan.

Tapi, nilai inikah yang mereka maksud itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun