"Ini adalah masa terhebat! Masa paling gemilang untuk peradaban manusia!"
Sepotong orasi yang kerap diulang-ulang di sekolah. Diperdengarkan setiap sore dan petang di sudut-sudut kota dan kampung. Negara ini sekarang adalah negara gemilang, demikian kata mereka. Ekonomi dan pembangunan, politik, hubungan internasional, semua itu berada pada puncaknya. Tapi, kebebasan menjadi makanannya. Terkikis, sedikit demi sedikit, kebebasan kami. Dan sekarang, sudah direnggut.
Demokrasi sebelumnya membuat kami menjadi bodoh. "Tak ada ruang untuk demokrasi!" demikian kata presiden kita, Pradopo yang hebat. Para aktivis yang menyeleweng, dibuang entah kemana. Agamawan yang melenceng, dipenjara. Orang yang mengumbar kebodohan di media sosial, diculik. Lantas, saat kecaman berbondong-bondong datang menyerang negara yang gemilang ini, pemerintah enteng saja menanggapinya. Bahkan sekarang tak ada lagi media sosial komersil di tempat kami.
Gemilang, tapi nyaris kuno.Â
Nilai moral sudah menjadi kacau akibat demokrasi, itu yang diajarkan di sekolah-sekolah. Begitupun nilai-nilai lain, sudah babak belur oleh opini publik yang dilempar asal-asalan. Orang sudah tak dapat membedakan kritik dan hujatan. Kebebasan dalam demokrasi seakan-akan menghalalkan segala perbuatan, itu yang mereka tanamkan di kepala kami. Mereka itu, satu partai politik, yang karena nilai-nilai kian hari kian melenceng (bagi mereka), memicu gerakan untuk menggulingkan pemerintahan dan merajai segalanya.
Sudah hampir tujuh tahun dia itu, Pradopo yang hebat, jadi presiden. Dan aku sedikit demi sedikit mulai mengerti bahwa, di tangannya, nilai-nilai ditata ulang, dan tak satu aliran pun yang bisa mencemari perjuangannya. Semua sistem dikonstruksi ulang secara total, kami semua kembali pada nilai-nilai tradisi yang jauh dari kata kultur modern, apalagi post-mo, yang dianggap olehnya sebagai sesuatu yang menyesatkan.
Maka aku duduk di pinggir sungai. Matahari masih sejumput lagi sebelum gelap menumbangkan hari-hari yang lain tanpa kebebasan. Aku melihat orang-orang sedang menjaring ikan di dekat jembatan. Tampak terburu-buru. Bahkan semua orang tergesa-gesa, sebab jam malam sebentar lagi akan diberlakukan. Aku mencoba menikmati setiap detik yang berlalu dengan menghirup udara yang bertiup tipis, merayu ilalang dan pepohonan dengan lembut, sebelum akhirnya kami harus hidup di dalam rumah yang dihimpit oleh tembok-tembok sunyi sekian panjangnya malam.
Satu mobil truk serdadu baru saja lewat di atas jembatan, isinya orang-orang botak bertopi besi membawa pucuk senjata logam di tangan. Entah siapa yang menjadi buruan mereka hari ini, tapi dua orang guruku di sekolah sudah hilang sejak kemarin. Mungkin sekolah kami belum bersih, mungkin kampung kami masih belum bersih, mungkin aku belum bersih. Tapi apa itu bersih?
Semilir angin benar-benar merayu. Aku membaringkan tubuhku di atas rumput, dataran yang kutiduri ini posisinya agak tinggi daripada arus sungai di bawah sana. Jadi aku bisa melihat dengan mantap kehidupan yang berlangsung di atas kepalaku. Awan-awan berjalan pelan di bawah langit oranye yang perlahan menjadi merah. Burung-burung kulihat sedang terbang pulang ke rumah.
Apa itu menjadi manusia? Pikirku. Apakah salah menjadi bodoh? Bahkan, apa itu pintar?
Aku hanya bersiul setelah menghembuskan nafas berat. Kemudian tanpa sadar aku jatuh tertidur. Dan saat aku terbangun, hari sudah menjadi gelap. Orang-orang yang menjaring ikan sudah pergi. Aku panik, tiba-tiba saja, aku tak hanya mendengar suara serangga, tapi juga sirene pemberitahuan di tiang-tiang lampu persimpangan. Pemberitahuan bahwa tak ada lagi malam-malam panjang di pos ronda atau warung untuk bercanda dan bernyanyi. Aku segera bangkit dan berjalan mendaki sedikit ke atas. Ibu pasti sudah khawatir di rumah.