Aku terduduk. Bersandar pada tembok. Hari ini aku menemukan diriku di tengah kehampaan. Tapi sepertinya tak ada bedanya. Hanya kini, rasanya tembok itu terasa nyata.Â
Tembok-tembok itu berdiri melingkar di tanah aku berpijak. Aku tak tahu siapa yang membangunnya. Mungkin aku sendiri yang melakukannya. Mungkin saat aku mabuk. Atau saat aku masih dalam kesadaranku, namun aku bukanlah aku.
Dia menjulang tinggi. Hingga aku sendiri tak dapat melihat di mana burung-burung gagak dapat berdiri di atasnya. Aku mendongakkan kepalaku, kulihat awan-awan berjalan di tiup angin. Lantas awan itu hilang, terhalang oleh tembok itu.Â
Awan-awan datang silih berganti di atas kepalaku. Tak ada bedanya. Namun saat awan itu menghilang dari penglihatanku, aku tak pernah bisa menyaksikannya lagi.Â
Itu aneh sekali. Kemarin, aku masih melihat langit begitu luas. Seakan dunia adalah tempat yang tiada habisnya. Tapi kini, langit hanyalah sebuah hulahup yang sempurna.Â
Dan aku bagai seonggok kerikil yang terjebak di genangan becek selepas hujan turun di sore hari. Terkadang di dalam ruangan yang kusebut kehampaan, aku masih dapat mendengarkan burung berkicau.Â
Tapi aku tak pernah melihat wujudnya. Tak ada bedanya. Aku tak pernah tahu burung apa yang berkicau di dahan pohon yang tumbuh di halaman rumah selama ini.Â
Namun, selalu saja berhasil menghantarkanku pada sebuah perasaan di mana aku merasa ada. Sebelum kembali menghilang menjadi ketiadaan. Palsu adalah aku. Dan semua ini adalah semu yang nyaris sia-sia. Setidaknya aku masih dapat menikmati sebuah seni yang berdiri indah di sekitaranku.Â
Entahlah siapa yang membangunnya, yang jelas Tuhan tak pernah menciptakannya untukku. Tapi aku yakin hanya seorang seniman yang dapat menciptakan tembok-tembok itu.
Aku tak tahu berapa lama aku termenung melihat awan merangkak. Perlahan, tapi pasti. Seakan ia tak ingin pergi meninggalkan mataku. Tapi angin terlebih dulu hendak membawanya pergi ke suatu tempat antah berantah.Â
Dan aku tak pernah ingin mengetahui ke mana akan dibawa awan-awan itu oleh angin. Apa ujungnya? Akankah ia ingin menurunkan hujan untuk para penganut nestapa di suatu tempat?Â
Toh pertanyaan-pertanyaan itu bagai awan yang muncul dan tak pernah bertahan untuk waktu yang lama. Tapi pantatku mulai terasa kesemutan.Â
Lantas aku berdiri, dan memijit-mijit pantatku. Aku merasakan aliran darah yang menyangkut itu bergerak-gerak. Dan itu rasanya enak sekali. Aku menoleh ke belakang, dan melihat tembok yang sudah menahan punggungku sedari tadi. Aku merabanya.Â
Sedikit lembab, kasar, dan sangat bersahaja. Aku merasakan sebuah ikatan mulai terjalin di antara kami. Dan benar, aku damai. Damai adalah aku dan tembok-tembok itu.Â
Bulu kudukku dibuatnya berdiri. Begitupun bulu-bulu di kedua tanganku berdiri hendak copot dari rumahnya. Aku memperhatikannya cukup lama. Lantas menjumpai bahwa lingkaran dinding itu hendak menyapa aku yang berada di dalam perutnya. Aku mendekat dan merapatkan telinga kananku ke tembok itu, kemudian aku memejamkan mata.Â
Untuk waktu yang sangat lama. Aku merasakan sebuah ketenangan, seolah seorang nabi tengah memberiku ilhamnya oleh kesunyiannya. Aku terhampar pada sebuah ketenangan yang dirasakan oleh bulu yang mengayun-ayun dihembus angin. Mula-mula aku menikmati, sangat menikmati suasana itu.Â
Lantas, lama-kelamaan, aku mulai mendengar suara-suara orang berbicara. Berawal dari sebuah obrolan-obrolan pelan, merambah pada teriakan yang aku tak tahu itu suara siapa. Tapi suara itu begitu familiar.Â
Aku sangat mengenal suara itu. Berat. Rasa-rasanya ada sejuta kenangan tak tertulis pada suara itu. Tapi aku tak bisa membayangkan seperti apa rupanya. Kemudian suara itu kian meninggi dan aku mendengar sebuah dunia yang berdiri di dalam kepalaku mengalami kehancuran.Â
Sungguh aku tak nyaman mendengar suara itu. Aku yakin wajahku menjadi buruk rupa karena sering mengernyitkan alis dan mengerutkan pipiku dan menggerak-gerakkan mulutku saat mendengarnya.Â
Tapi karena aku adalah aku dan kehampaan yang kumiliki, sehingga aku berpikir sudah seharusnya suara-suara itu tak memberi makna apapun untukku.Â
Sungguh suatu hal yang absurd saat aku mengetahui bahwa, pada akhir kehancuran sebuah dunia; bangunan-bangunan yang roboh, jalanan yang patah, langit yang berjatuhan, ledakan tabung gas, pecahan piring, serta nyanyian debu yang beterbangan nyatanya adalah wujud yang menyenangkan--setidaknya bagiku itu menyenangkan.Â
Karena aku mengetahui sebuah fakta, bahwa sejatinya aku tak pernah ada di antara semua kehancuran itu. Tapi ketidakadaan itu memberikan arti padaku bahwa aku ada dan terus ada hingga maut datang menjemputku. Justru ketiadaanku itu terasa nyata saat aku tak pernah mendengar simfoni kehancuran itu.
Sungguh seni yang indah itu bersumber dari kehancuran. Dan itu membuatku yakin betul, aku adalah sepotong seni yang indah dari seorang seniman yang hancur lebur.
Selepas itu aku menarik telingaku menjauh dari dinding itu, aku kembali menengadah dengan perasaan yang lega. Bagai bendera di atas dek kapal yang diombang-ambing oleh badai di malam buta. Namun kini aku tak menyaksikan apa-apa, selain hitam dan kesuraman. Aku menarik nafas cukup lama.Â
Sampai rasanya paru-paruku hampir meledak, dan aku terbatuk. Tapi itu pada akhirnya memberikanku sebuah senyuman yang cantik. Dan tawaan yang lepas. Berkat tembok-tembok itu, aku merasa hidup di dalam duniaku.Â
Dan tak ada satupun yang dapat masuk ke dalamnya. Dan mengetahui bahwa, ada seorang yang gila sedang tertawa-tawa di dalam sana oleh sebab ia hampir baru saja mati karena ulahnya sendiri.Â
Aku menikmati kesendirianku di dalam sana. Tak terpikirkan olehku untuk merobohkannya. Lagipun aku tak punya alat untuk melakukan itu. Tembok-tembok itu mengajarkanku untuk menikmati kesepian dan kehampaan ini. Sesungguhnya kesepian adalah seorang teman sejati yang tak pernah pergi.Â
Dia adalah cahaya di antara gelap gulita, dan dia adalah kegelapan di antara terang benderang. Serta kehampaan adalah sebuah ukiran susu di atas secangkir cafe latte yang pahit namun terasa lembut. Kehampaan membukakan jalan untukku kepada kematian, dan kematian menghantarkanku kepada sebuah pertanyaan tentang tuhan. Tuhan kembali menghadirkan kehampaan di dalam aku.Â
Lantas saat tembok-tembok itu berdiri, aku merasa akrab pada semuanya. Pada kegilaan, pada kebahagiaan, pada kesedihan, pada kehampaan, pada ada dan ketidakadaan, ada dan tiadaku, serta gurita gelap dan genderang terang, aku bersumpah untuk menanti ajalku dengan suka cita.Â
Meski hidup pada akhirnya adalah kesia-siaan untukku, tapi tentu cerita ini juga akan menjadi kesia-siaan apabila tak dinikmati. Sehingga seni pun yang dikatakan indah akan kehilangan cantiknya apabila tak dinikmati.
Demi tembok-tembok yang menjulang tinggi, aku berterima kasih atas ini semua. Sungguh, bersahabat dengan semua rasa adalah tangga menuju nirwana. Dan aku mengecup tembok-tembok itu dengan kebahagiaan hingga meneteskan air mataku yang sudah lama tak pernah tumpah.Â
Namun, dengan seketika tembok-tembok itu runtuh dan aku merasakan kehancuran berada di seklilingku, aku menjadi tak berdaya.Â
Delusiku menghilang. Sehingga aku bisa merasakannya betul, tembok-tembok itu berjatuhan tiada ujungnya dan debu-debu bergelimangan mengotori pandanganku.Â
Aku berjongkok. Memejamkan mata. Menutup telinga. Aku bersiul. Cukup lama. Lama. Lama dan aku mendengar ibu mengetuk pintu setelah ayah membanting pintu di lantai bawah.
"Nak, ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H