"Hits Kitsch" sebuah album yang nakal dari band underrated asal Yogyakarta, FSTVLST (baca: festivalist). Mengapa underrated? Sebenarnya nama mereka cukup besar di tanah asalnya, tetapi kurang mendapatkan perhatian secara nasional. Sebelum menjadi FSTVLST, band ini memiliki nama Jenny. Lantas di tahun 2011, Farid Stevy dan kawan-kawan merubahnya menjadi FSTVLST untuk menghormati anggota band mereka yang keluar dengan terhormat.Â
Membangun brand dengan tema "almost rock barely art", band ini dikenal sering memadukan musik dengan seni visual dalam pertunjukannya. Sementara hubungan mereka kepada para penggemarnya, FSTVLST cukup asik dengan sebuah konsep kesetaraan yang tidak mengharapkan adanya worshiping dari penggemar dengan kerap menyebut mereka dengan "festivalist" saja, sehingga tidak ada perbedaan 'kasta' di antara mereka.
Di tahun 2014, mereka merilis album bertajuk "Hits Kitsch", dan mungkin ini sebuah ulasan yang sangat telat. Namun tidak mengapa, justru saya sangat senang untuk mempromosikan mereka. Selain lirik-lirik yang cukup menarik dan kritis, permainan musik mereka sebelas dua belas dengan band idola saya, The Strokes. Hanya saja, lirik FSTVLST jauh lebih menarik ketimbang band asal NYC itu.Â
Album itu sukses membuat saya jatuh hati hingga saat ini. Saya cukup bangga mengatakan bahwa, "Hits Kitsch" adalah salah satu album Indonesia favorit saya. Bukan hanya karena album ini dinobatkan sebagai salah satu dari 20 Album Terbaik Indonesia tahun 2014 oleh Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Januari 2015.Â
Tetapi juga karena kritik-kritik sosial yang dihadirkan dalam lagu-lagunya, sebut saja lagu "Hal-Hal Ini Terjadi", lagu spoken word yang lebih pantas disebut sebagai musikalisasi puisi ketimbang rock, namun cukup menarik perhatian.Â
Tiap bait verse yang dinyanyikan selalu menimbulkan perasaan untuk terus mendengarnya hingga usai. Verse favorit saya di lagu ini, yaitu:
Di masa kau terlahir, orang-orang tersediakan jalan dan jembatan yang dibangun panjang dan kokoh. Siap menghantarkan ke mana saja. Tapi ada satu jalan yang sangat diminati, berjubellah orang-orang di situ. Adalah jalan pintas. Karena setapak demi setapak adalah buang waktu, bukan lagi proses. Karena belokan dan tanjakan adalah kebingungan yang memutusasakan, bukan lagi tantangan. Kau terlahir di masa maha pendek.Â
Sebuah realita sosial dipaparkan secara terbuka oleh mereka, di mana masa sekarang sudah banyak yang meninggalkan satu jalan yang disebut proses, semua berlomba-lomba menjadi cepat. Kita terlupa, bahwa dengan proses akan menghasilkan kualitas.
Tak hanya itu, "Hari Terakhir Peradaban" kembali dengan lantang meneriakkan satu kritik sosial dalam masyarakat. Dengan musik yang selalu sukses menutup aksi panggung mereka di setiap pementasan dengan membuat para penonton membentuk lingkaran moshpit yang kasar namun seru.Â
Penonton seakan dibuat terlupa akan 'kekejaman' di sekeliling mereka. Di lagu ini, mereka kembali memaparkan sebuah kenyataan yang menyedihkan di antara kita.
Dan inilah harinya para wanita. Menjadi budak atas kelaminnya. Penggalan lirik yang merujuk pada kian maraknya bisnis prostitusi, bahkan hingga merambah di kampus-kampus.Â
Dengan menjunjung tinggi kesetaraan, mereka tidak lupa, bahwa lelaki juga punya problema:Dan inilah harinya para lelaki. Jadi sundal atas ambisi.Â
Menurut saya kedua penggalan lirik ini cukup faktual. Seorang pria dengan ambisi sama seperti manusia yang berjalan di padang penuh ranjau. Mereka tidak takut kehilangan apa-apa, demi sebuah ambisi.
Sejatinya saya mengenal FSTVLST karena film Filosofi Kopi 2, di sana mereka muncul sebagai penampil di acara grand opening cabang kedai Filosofi Kopi Jogja. Di situ saya langsung jatuh hati, karena musik yang memantik gelora remaja saya.Â
Dan setelah saya mendalami musik-musiknya, saya merasa mereka pantas mendapatkan perhatian lebih dengan panggung-panggung besar.Â
Dengan nama Jenny, mereka memiliki album "Manifesto", yang suaranya jauh lebih 'garage' ketimbang "Hits Kitsch". Ada beberapa lagu dalam album itu yang patut anda coba, di antaranya:
"Mati Muda", lagu yang menurut saya mendukung pendapat Soe Hok Gie: nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.Â
Saya tidak tahu alasan Soe Hok Gie mengatakan itu, tetapi di lagu yang membanggakan mati muda, "Mati Muda" oleh Jenny, Farid Stevy, selaku penulis berpendapat memalui liriknya, hidup tak perlu terlalu lama, jika dosa yang berkuasa.
Kedua, lagu yang membuat saya semakin menghargai waktu luang, terlebih di waktu pekan, "Menangisi Akhir Pekan" adalah bentuk pelepasan beban atas hari-hari manusia yang termakan oleh kesibukan. Rayakan akhir pekanmu, tangisilah, rayakanlah, sebuah lirik yang menggugah hati untuk ditangisi.Â
Lagu yang pantas didengarkan sebelum berangkat tempur menuju bar atau konser musik bersama teman-teman. Saya menyebut lagu ini, anthem malam sabtu.Â
Tak hanya itu, lagu "Monster Karaoke" juga merujuk pada pelepasan diri, di mana mengajak para pendengar untuk merayakan waktu pulang kerja dengan berkaraoke sepanjang jalan.
"Maha Oke" dan "The Only Way" lagu yang menyeimbangkan rohani para pendengarnya. Di "Maha Oke" adalah nyanyian ajakan mengenal Tuhan, dan "The Only Way" adalah tentang cinta (kepada lawan jenis).Â
Saya rasa, hanya "The Only Way" dan "Look With Whom I'm Talking To" lagu cinta yang mereka punya, selebihnya album "Manifesto" dan "Hits Kitsch" lebih mengarah kepada kehidupan sosial, memaparkan fakta universal dengan adanya unsur-unsur filosofis.Â
Di awal pertengahan tahun 2020 lalu, FSTVLST merilis album penuh, "Fstvlst II". Dikemas dengan judul-judul lagu yang menarik dan misterius, seperti "Rupa", "Gas!", "Syarat", dan enam lagu lainnya yang hanya memiliki satu kata.Â
Jujur saja, album ini tidak membuat saya terlalu excited menantinya, selepas mendengarkan single "Gas!" yang lebih dulu dirilis di tahun 2018, saya mulai merasa FSTVLST tidak akan bermain segarang dan sebrutal "Manifesto" ataupun "Hits Kitsch". Dan terbukti benar, tidak ada yang mengejutkan dari album ini.Â
Tetapi yang bikin menarik adalah mereka mengajak para pendengarnya untuk tidak membeli album ini, karena sudah disediakan secara cuma-cuma di website officialnya mereka. Itu cukup mengejutkan tentunya.
Secara keseluruhan, album ini mengangkat tema yang tidak jauh berbeda, tentang semangat hidup, semangat bekerja, amarah dan kegelisahan-kegelisahan lainnya. Namun tidak dibawa dengan membara, melainkan dengan santai. Sehingga saya merasa, pesannya tidak tersampaikan dengan baik di telinga saya.Â
Tetapi Bagaimanapun juga, saya merasa FSTVLST pantas mendapatkan perhatian lebih. Selain mereka punya citra yang sangat sederhana namun elegan, mereka juga berhasil membuktikan konsep almost rock barely art andalan mereka dengan lirik-lirik yang berkualitas dan musik-musik yang kian menggelorakan jiwa muda.Â
Lagu-lagu mereka sangat cocok didengarkan oleh para remaja. Karena dengan FSTVLST, saya diajaknya untuk lebih kritis dan lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitaran, dan lebih peduli kepada diri saya sendiri.Â
Bila anda sudah mengenal FSTVLST, maka kata-kata: terima kasih telah mengambil keputusan untuk mendukung FSTVLST, tentu tidak asing di telinga. Mereka kerap mengucapkannya saat manggung, ataupun di media sosial mereka.Â
Dan dengan begitu, di sini saya hendak mengucapkan terima kasih kembali kepada FSTVLST, karena sudah meyakinkan saya untuk memutuskan mendukung mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H