band metalcore asal Aceh yang sukses terpilih dalam The Mighty 8 pada kompetisi Supermusic.ID Rockin' Battle tahun 2017) membuktikan bahwa, Aceh, negeri yang menyemat sebutan 'Seuramoe (serambi) Mekkah', tidak se-strict yang orang-orang pikir.
Killa The Phia (Percayalah, bila berkunjung ke Aceh, kamu tidak akan dan mustahil, melihat orang-orang berkumpul menyaksikan penerapan hukuman-hukuman sadis nan mengerikan. Melainkan hukuman cambuk bagi pasangan pelaku mesum. Itu saja, yang mana sebenarnya tidak semengerikan yang digadang-gadang media. Dan itu pun jarang terjadi. Sangat jarang.
Aceh bukanlah negeri dengan sekumpulan orang yang membenci banyak hal. Tidak, Aceh jauh lebih baik dari itu. Jangankan menerapkan hukuman pancung, Pemerintah Aceh saja tidak melarang hadirnya musik keras di tanah ini, yang mana musik cadas sering dikaitkan dengan satanisme. Tetapi tidak dilarang
Meskipun memiliki qanun, Aceh cukup membebaskan masyarakatnya dalam hal hiburan pribadi, seperti bermusik. Tak ada satupun hukum di Aceh yang melarang menciptakan, terlebih sekedar memainkan musik. Musik rock diperbolehkan untuk tampil di tempat-tempat perkumpulan atau panggung pada event-event tahunan. Meskipun salah satu rumor yang pernah saya dengar, ormas lebih berkuasa ketimbang pemerintah dalam hal ini, saya yakin kamu paham apa maksudnya. Tetapi entahlah kebenarannya seperti apa. Harapan saya suatu saat nanti, saya menemukan bahwa rumor itu salah.
Ada banyak band yang bergerak di skena musik rock di Aceh. Dan tentunya jalan itu tidak mudah. Bahkan band-band di Jakarta atau Bandung saja tidak selalu berhasil. Hanya orang-orang gila yang berani memilih jalan itu, dengan rela mempertaruhkan bertahun-tahun usianya untuk menjadi musisi. Terlebih kota-kota seperti Aceh, di mana wadah untuk bermusik hampir tidak ada.
Tetapi, 26 Agustus lalu, Cakradonya, band yang menyebut diri mereka hard rock, menyerang dalam kesenyapan melalui sebuah musik video bertajuk "Kebebasan". Dalam sekali duduk, saya mendengarkannya beberapa kali, dan selalu menemukan sesuatu yang baru. Salah satunya visualisasi yang ditawarkan. Saya mengira itu semua seperti basa-basi yang tidak diharapkan untuk ditonton.Â
Ternyata tidak, mereka menaruh cukup banyak perhatian untuk itu. Saya merasa, mereka seperti menunjukkan beberapa simbol yang saling berkaitan, tapi saya masih belum menemukannya. Sejauh ini, setiap ekosistem yang ditampilkan menunjukkan satu penguasa, bila laut ada hiu, hutan ada singa, udara ada elang, dan daratan ada manusia.
Lagu yang menghadirkan sebuah filosofi, dikombinasikan dengan visualiasi sebenarnya cukup berisiko. Karena memunculkan sekilas sinopsis atau makna lagu tersebut. Dan apabila lirik dan visualisasi tidak berjalan dengan sinkron akan memunculkan kebimbangan di antara pendengarnya. Tapi mereka cukup berhasil.Â
Dengan judul "Kebebasan", mereka merangkum seluruh ekosistem yang ada. Bagaimana sebuah kebebasan sejatinya harus dirasakan oleh semua makhluk Tuhan, jangan ada satu orang pun yang mengganggu kebebasan itu. Termasuk kebebasan berekspresi.Â
Terlebih di masa-masa sekarang ini, di mana rasanya ada satu kebebasan yang telah direnggut. Tetapi mau bagaimana lagi? Demi kebaikan umat. Dan ya, visualisasi yang mereka suguhkan sempurna dengan musik dan lirik yang tertera di deskripsi. Lagu yang menggelorakan kebebasan di masa kebebasan terjerat oleh kondisi, tentunya cukup dapat dinikmati di masa-masa sekarang ini.
Pada awalnya saya menikmati lagu yang dibuka dengan progresi gitar elektrik yang membahana. Dengan nada yang cukup catchy dan enerjik. Sampai suatu momen di mana saya merasa, gitarnya seperti menempel secuil riff dari "M.I.A" oleh A7X. Tidak keseluruhan, tapi "M.I.A" sangat terasa di sana.Â