Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Music

Greta Van Fleet Mengejar Kesempurnaan dengan Album "The Battle At The Garden's Gate"

9 Agustus 2021   20:45 Diperbarui: 9 Agustus 2021   21:22 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sebuah band berhasil menggemparkan dunia dan mendapatkan popularitas yang pesat dalam rilisan awal mereka, itu berdampak cukup besar terhadap perhatian yang akan diberikan dunia kepada band tersebut. Perhatian orang-orang tergambar seperti elang yang mencari mangsa, cukup jeli dan tak sabaran untuk melihat apa yang akan mereka lakukan di keesokan harinya. 

Sialnya dari mendapatkan banyak perhatian, adalah ekspektasi. Seakan-akan pengerjaan karya berikutnya adalah sebuah ajang memenuhi harapan orang-orang yang tergenggam pada mereka, dan risiko mendapatkan kekecewaan yang cukup tinggi tentunya, bagai hantu yang bergentayangan di pojokan rumah. 

Apakah mereka mampu memenuhi harapan orang-orang? Atau malah mengacaukan lingkaran perhatian yang 'tak sengaja' mereka ciptakan? Hanya waktu dan ambisi yang mereka punya lah yang hanya mampu menjawabnya.

Hal serupa telah terjadi pada banyak band selama bertahun-tahun, sebut saja The Strokes, yang dianggap menggenggam warisan kejayaan musik rock selepas debut album "Is This It" mereka di tahun 2001. Terutama dalam subgenre rock yang terdengar lebih klasik, old-timey, dan sekarang saatnya adalah masa bagi Greta Van Fleet dari Michigan untuk melangkah ke tangga-tangga menuju puncak.

Setelah EP mereka, "From The Fires", memenangkan Grammy Award untuk Best Rock Album dan menerima banyak kritikan positif untuk debut album mereka, "Anthem Of The Peaceful Army", sekarang adalah era pembuktian harapan-harapan itu dalam album kedua mereka, "The Battle At Garden's Gate". Sebuah album spiritual yang membuka portal baru bagi Greta Van Fleet.

Sebagai salah satu album terpanas tahun 2021 (sejauh ini), mereka menempati peringkat 14 dalam daftar Best Rock Albums 2021 oleh ultimateclassicrock.com. Dan "Delta Kream" oleh The Black Keys di urutan pertama (Album Penghormatan The Black Keys Terhadap Musisi Blues Mississippi).

Seperti yang disebutkan di atas, sayang sekali ekspektasi dan antisipasi yang telah saya gantung selama ini tidak sesuai, album ini bukan tidak baik, hanya saja harapan saya terlalu tinggi. Mengharapkan album yang lebih kick-ass dan badass, malah tercipta melankolis dan terdengar lebih kepada orkestra, dan itu tentu saja membuat album ini lebih nyeni dan mempesona ketimbang album dan EP mereka sebelum-sebelumnya.

Bagian awal album ini terdengar solid, terutama di lagu ketiga, "My Way, Soon", yang terdengar energic dan memberikan nuansa nostalgia akan kehidupan 70-an yang nakal. Penggalan-penggalan seperti, i've sacked the rules, so i don't have to need them dan i'll throw out the plans, and live with no burdens, menunjukkan mereka berhasil menipu pendengarnya dengan menciptakan kenangan 'palsu' tentang gaya hidup di masa itu, yang mana dua hal itu akan terlihat kampungan bila dilakukan di masa sekarang.

Single tersebut terdengar asyik dan menunjukkan keragaman gaya dan suara bagi Greta Van Fleet. Dan sayangnya, menurut saya lagu itu menjadi satu-satunya lagu di album ini yang memiliki tempo bersemangat dan mengandung banyak 'gula' yang membuat pendengar tak bisa berhenti berpacu dengan melodi. 

Kenapa saya bilang begitu, lagu-lagu berikutnya di album ini, Greta Van Fleet terlihat seperti kelompok yang bernyanyi di kala semua orang dalam sebuah pesta sudah jackpot dan pusing-pusing, karena musik-musik berikutnya terdengar lebih lamban. Sebut saja "Broken Bells", lagu rock yang kaya akan instrumental. Sesekali intronya terdengar mirip "Stairway To Heaven" oleh Led Zeppelin. 

Sebenarnya single berikutnya, "Build By Nations", dibuka dengan riff gitar yang cukup asik, detik-detik pertama gitarnya mirip riff dalam "Whole Lotta Love" oleh Led Zeppelin dan drum yang groovy. Maafkan saya bila sering membandingkan musik-musik mereka dengan Led Zeppelin. 

Pasalnya sejak debut mereka, band ini telah diganggu dengan cukup banyak perbandingan dengan Led Zeppelin, dan jelas mereka telah berupaya untuk menjauhkan diri dari citra itu secara musik, tapi jujur saja, "Built By Nations" memang memiliki kesamaan yang terang-terangan pula dengan "Black Dog" melalui riff dan permainan drumnya Danny Wegner. Ia memang seorang drummer yang berbakat, inspirasi permainan drumnya tak terlepas oleh John Bonham, drummer Led Zeppelin, dan ia pada tahun 2018 lalu masuk ke dalam daftar top 10 drummer baru menurut Rhythm Magazine.

Sementara "Heat Above", single pembuka album yang memberikan awal yang bagus dan terdengar lembut untuk sebuah album rock, dengan memperkenalkan album dengan sebuah permainan organ gereja yang mengesankan, seperti membuka gerbang surga, dan tentunya lagu ini akan membekas untuk album "The Battle At The Garden's Gate". 

Salah satu hal utama yang menonjol adalah pemain bass mereka, Sam Kiszka yang serba guna. Sebagian besar dalam album ini, ia banyak menyumbangkan lapisan baru ke dalam musik-musik Greta Van Fleet dengan mendikreditkan bass dan mendedikasikan keahliannya melalui permainan organnya.

Secara musikal sejauh ini saya merasa sound dalam lagu-lagu yang ditawarkan terkesan repetitif , hal yang paling terasa berbeda selain kaya akan organ juga berasal dari konten lirik yang dihadirkan. Menurut saya, hanya sedikit di sepanjang album ini yang menawarkan sesuatu yang segar bagi Greta Van Fleet, "Stardust Chords" adalah contohnya, lagu yang menurut saya paling menonjol dari yang lainnya. Lagu ini terdengar seperti sebuah anthem yang sinematik. Chorus yang luar biasa membahana, terdengar begitu khas dan indah.

Namun, lagu-lagu lain dari album ini kurang bersemangat. "Tears Of Rain" adalah single yang cantik, mengingatkan saya dengan lagu-lagu Eagles. Kekurangan terletak dari gaya bernyanyi yang diberikan Josh Kiszka, yang terdengar tidak memberikan emosi yang tepat untuk lirik yang dihadirkan. Namun secara musikal sudah bagus, hanya kurang bersemangat. Sepertinya lagu-lagu dalam album ini seperti sebuah variasi dari "Hotel California", "Freebird", "Stairway To Heaven", dan "Shine On You Crazy Diamonds".

Dengan "Heat Above" yang berhasil memperkenalkan album dengan organ gereja, "Broken Bells" dengan melankolis menampilkan aransemen string yang gloomy, sementara "Light My Love" seperti dipimpin oleh alunan piano dan gitar akustik yang baik untuk menambah elemen deep yang memperkuat tema yang mereka angkat, yaitu perang dan kemanusiaan. Seperti yang dikatakan oleh Josh Kiszka dalam sebuah wawancara, “It’s very much about humanity and humanity’s struggle and search for salvation," dan "There’s a lot of spiritualism in the form of religion and a higher power, or more of a conscious connection to a greater force in nature. Then there’s war, and I think religion fits into that as well, and there’s industry, and with ‘Age of Machine,’ technology comes into the whole equation as well.” 

Cukup disayangkan, Greta Van Fleet tidak berhasil muncul mengejutkan dengan album ini, tetapi harus diakui, "The Battle At The Garden's Gate" adalah album tematik yang sangat sinematik untuk sebuah musik, yang susah dijelaskan seperti apa sinematik dalam musik, tetapi percayalah, mendengarkan album ini seperti menonton sebuah film musikal. Kaya, mempesona, dan memberikan kebahagiaan kepada pendengarnya.

Kekhawatiran saya tentang album ini adalah, mereka seperti meludahi citra 'tiruan Led Zeppelin' yang melekat pada mereka oleh orang-orang, dan saya takut itu memaksa Greta Van Fleet untuk mengubah gaya musik mereka untuk selanjutnya. 

Bukankah itu suatu hal yang bagus? Benar, itu hal yang bagus untuk sebuah band, tetapi bagaimana jika musik yang diciptakan bukanlah mereka yang mereka? Tentu musik-musiknya akan tercipta tak bernyawa dan terkesan memaksa. Seolah memalukan untuk terdengar seperti Led Zeppelin di era ini, padahal menurut saya itu adalah sebuah penghargaan terbesar, dan mereka sama sekali tidak memplagiat Led Zeppelin. Terdengar seperti plagiat hanya karena suara dari vokalis mereka yang mirip Robert Plant, tetapi musik-musik yang ditawarkan bukanlah Led Zeppelin, melainkan rock 70-an. 

Tapi dengan hadirnya album "The Battle At The Garden's Gate", saya merasa lega, karena mereka telah menemukan cara untuk menciptakan gaya musik mereka sendiri dan masih terdengar sangat mengagumkan. In pursuit of perfection yang tengah mereka lakukan dalam album ini tampaknya berhasil, album ini sempurna dengan kekurang-kekurangan yang ada. Saya sangat senang dengan album ini, walaupun sedikit mengecewakan, hanya sedikit. 

Saya berharap mereka tetap rendah hati dalam bermusik dan terus mem-push pengetahuan musik mereka sehingga para pendengarnya bisa terus dapat menikmati kepingan-kepingan kenangan manis yang tersisa dari musik rock 70-an. Dan pembelajaran bagi saya pribadi, ekspektasi adalah alat pembunuh jiwa yang mutakhir. Sudah saatnya tidak menaruh ekspektasi kepada para musisi, melainkan hanya sebuah visi dan tebak-tebakan seperti apa album mereka selanjutnya. Karena selain mematikan harapan kita sendiri, itu juga membuat para musisi tidak leluasa dalam berkarya, atau saya saja yang terlalu parno akan hal itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun