Problem Penegakan HAM di Indonesia
Hak Asasi Manusia adalah hak kodrati pada diri setiap manusia sejak dalam kandungan hingga dilahirkan yang berlaku seumur hidup, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, status, jabatan sehingga individu tersebut dapat mengembangkan dirinya seutuhnya sebagai manusia.
Dalam persepektif Islam, para ulama dahulu merumuskan konsep HAM melalui konsep maqshid al-syar'ah (tujuan syari'ah) yang mencakup perlindungan terhadap lima hal (al-dharriyyt al-khamsah), yakni:
- Hifzh al-din: Perlindungan terhadap agama (hak untuk beragama),
- Hifzh al-nafs: Perlindungan terhadap jiwa (hak untuk hidup dan memperoleh keamanan),
- Hifzh al-'aql: Perlindungan terhadap akal (hak untuk memperoleh pendidikan),
- Hafizh al-mal: Perlindungan terhadap harta (hak untuk memiliki harta, bekerja dan hidup layak,),
- Hifzh al-nasl: Perlindungan terhadap keturunan (hak untuk melakukan pernikahan dan mendapatkan keturunan).
***
Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi HAM sejak awal kemerdekaan, sebagaimana di tuunjukkan dalam UUD 1945. Hanya saja, variasi tergantung political will dari pemerintah satu periode dengan periode lainnya. Dari satu periode ke periode lainnya telah membawa banyak perubahan positif terhadap penegakan HAM.
Meski demikian terdapat sejumlah persoalan tentang HAM yang belum dapat diselesaikan, baik dari periode sebelumnya maupun yang muncul pada era reformasi ini.Â
Di antara pelanggaran HAM masa lalu yang masih dituntut untuk diselesaikan adalah kasus Tanjung Priok pada 1984, penculikan aktivis pada 1997/1998, penembakan mahasiswa Trisakti, dan sebagainya. Pada era reformasi ini masih terdapat sejumlah masalah dan tantangan dalam praktik penegakan dan perlindungan HAM, baik yang bersifat struktural maupun kultural.
Problem penegakan HAM yang bersifat struktural terkait dengan penegakan hukum baik oleh polisi, jaksa maupun hakim, yang secara umum masih belum cukup kuat bahkan terkadang dapat menimbulkan ekses yang melanggar HAM.Â
Dalam sejumlah kasus, polisi hanya diam dan tidak mampu mencegah tindakan warga yang berpotensi melanggar HAM, seperti dalam kasus konflik komunal atau agama. Hal ini utamanya disebabkan oleh kurangnya kemampuan personil dan minimnya peralatan polisi.Â
Di samping itu, Hal ini juga disebabkan oleh sikap keragua-raguan pihak polisi untuk melakukan tindakan pencegahan yang sebenarnya itu justru dituduh melanggar HAM.Â
Di sisi lain, Komnas HAM tidak memiliki wewenang yang kuat dalam penegakan HAM, sehingga kedudukannya seperti tim kajian, tim mediasi. Meski demikian, lembaga ini cukup kritis terhadap pelanggaran HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat.
Problem dan tantangan yang bersifat kultural yaitu adanya budaya hukum yang belum sepenuhnya kondusif bagi penegakan HAM. Tingkat kesadaran hukum warga Indonesia yang umumnya masih rendah, tidak lepas dari tingkat pendidikan mereka yang rata-rata juga masih rendah. Munculnya sejumlah konflik komunal, baik yang di latarbelakangi oleh ekonomi, politik maupun sosial.Â
Demikian pula, munculmya sikap intoleransi beragama serta perselisihan dan konflik tentang pendirian rumah ibadah serta masih adanya kekerasan atas nama agama.Â
Intoleransi ini merupakan akibat dari kebebasan berekspresi yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan persoalan dalam masyarakat, seperti konflik atau perselisihan antarkelompok agama terutama karena persoalan pendirian rumah ibadah serta protes terhadap penistaan agama.Â
Kasus yang mendapatkan sorotan dari dunia internasional adalah kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah serta protes terhadap izin pendirian rumah ibadah yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, yakni Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006, seperti kasus pendirian gereja GKI Yasmin Bogor.
Ada juga problem dan kecenderungan pemahaman keagamaan dan prilaku sebagian kecil kelompok agama yang bersifat eksklusif dan bahkan radikal, yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan Islam radikal di luar negeri. Di era reformasi, yang mendukung kebebasan dan demokrasi secara substantif ini, radikalisme telah muncul sebagai ekspresi kebebasan, baik yang berdasarkan agama, etnis, ekonomi atau motif lainnya.Â
Mereka telah mengambil keuntungan dari iklim kebebasan yang ada untuk mengekspresikan dan menyebarkan ideologi mereka yang radikal dan ekstrem. Kelompok itu mengancam perlindungan dan penegakan HAM, karena banyak dari mereka berperilaku intoleran dan bahkan melakukan kekerasan dan teror terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai musuh.Â
Sebagaimana diatur dalam pasal 28A UUD 1945 (bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya) dan Allah berfirman dalam surat al-Ma'idah ayat 32 (Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.)
Sehingga, untuk mengatasi persoalan, kendala dan tantangan itu, diperlukan upaya-upaya baik oleh pemerintah, DPR, civil society maupun organisasi-organisasi keagamaan, terutama melalui peningkatan kapasitas para penegak hukum serta pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pendidikan HAM.
Dr. Ira Alia Maerani, S.H.,M.H. (Dosen Fakultas Hukum Unissula)
Nuzila Yuli Alfi Ahmida (mahasiswi Prodi Pendidikan Matematika,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unissula)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H