Kepada Kampung halaman, Kota Jakarta tercinta. Tempat aku dilahirkan. Tempat aku selalu datang ke sana ketika merasa tak nyaman dengan kehidupan. Tempat aku meminta pelukan di kala ingin menangis. Â Kembali ke pangkuan Ibu. Berharap kasih sayangnya. Mendengar wejangannya yang tak akan pernah kulupa.
Namun, kini Kota Jakarta hanya menjadi kenangan. Tempat ibuku dikebumikan. Tempat penuh tangis dan perjuangan.Â
Tak terasa sudah di penghujung bulan April. Bulan yang sama ketika Ibu berdiri di bawah payung mengawasi setiap bus yang lewat. Waktu itu hari hujan. Langit telah bergeser ke arah magrib. Ibu menungguku di antara derai hujan yang tidak deras, tetapi bukan juga gerimis. Beberapa bagian pakaiannya basah terkena tetesan hujan dari ujung payung.
"Bang! Ada anak saya?" katanya ketika ada bus Metromini 92 berhenti di depan Ibu.
"Yang mana anak Ibu?" sahut sang kondektur.
"SMP, Bang!" sahut Ibu.
"Banyak anak SMP nih, Bu! Yang kek mana anaknya?" Kondektur dengan logat batak itu berdiskusi dengan Ibu yang kelihatan bingung.
Aku menyeruak menerobos barisan penumpang yang saling berjejalan seolah tak sabar menunjukkan diri di hadapan Ibu yang berwajah lelah. "Ini aku, Bu! Aku baik-baik saja!" batinku saat itu.
Ibu, seseorang yang tak pernah berkata sayang dengan lisannya, tetapi rela menerobos hujan di jalan raya demi menunggu anak gadisnya yang tak kunjung sampai ke rumah. Waktu itu hari hujan. Dengan membawa satu payung, Ibu membagi sebagian besar payung itu untukku. Merangkul tubuhku agar tak kedinginan. Sampai di rumah, dengan cekatan Ibu menyajikan makanan hangat agar aku bisa makan dengan nikmat. Bukan makanan mewah. Hanya nasi hangat dan tempe goreng yang baru diangkat dari wajan. Namun, kurasakan ketika masuk ke mulutku ada rasa yang tak mampu terbayar oleh apa pun. Nikmat. Setelah makan, tubuhku diguyur air hangat agar aku bisa tidur dengan nyaman.
Kini, derai hujan memaksaku untuk mengingat puluhan tahun lalu yang penuh dengan perjuangan. Meskipun masa kecilku tidak seperti anak-anak lain yang selalu diisi dengan bermain. Namun, aku cukup bahagia menjadi anakmu, Ibu.
Kota Jakarta menjadi saksi perjuanganmu membesarkan aku dan anak-anakmu yang lain. Di antara kerasnya hidup. Di antara biaya hidup yang tidak kecil. Di antara cibiran orang atas ketidakberdayaan kita.
Aku ingat ketika bersamamu menyusuri Kota Jakarta. Dari Kedoya, kita naik bus ke arah Kalisari hanya untuk menukar beras dengan uang. Sayangnya, waktu itu kita pulang dengan tangan kosong. Bahkan pulangnya kita sempat berjalan kaki puluhan kilometer agar bisa berhemat.
Rintik hujan kemarin sore menyisakan dingin yang panjang membuat sudut perasaanku meronta tanpa jera. Mengingatmu adalah hal yang paling indah. Kepergianmu memberikan makna kalau takdir itu tidak selamanya sempurna. Kepergianmu memberikan arti bahwa aku belum sama sekali membahagiakanmu.
Kini aku terbaring sakit, Bu. Biasanya engkau datang mengunjungiku membawakan aku berbagai penganan agar aku bisa makan. Mengurus keperluanku. Sekalipun aku sudah menikah dan berkeluarga, kau tetap mengkhawatirkan aku, Ibu. Mengurusku ketika aku bersalin. Merawat anakku ketika mereka sakit. Mengunjungiku sekadar meluapkan rasa rindu.
Kini ... ketidakberadaanmu membuatku harus menelan pahit ini sendirian. Merasakan sakit ini sendirian. Tak ada tempat mengeluh. Tak bisa lagi mencicipi masakanmu yang membuat tubuh ini merasa segar kembali. Kini ... aku harus menghadapinya sendirian. Tanpamu, Ibu.
Kota Jakarta kini hanya tinggal kenangan. Dengan berat hati kutitipkan jasad Ibu di bawah naungan Kota Jakarta yang masih kejam hingga sekarang. Kutitipkan jejak-jejak perjuangan Ibu yang tak lekang oleh waktu. Yang tak akan hilang meskipun tertutup ilalang. Kutitipkan doaku untukmu, Ibu. Semoga Ibu bahagia di sisi-Nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI