Jakarta, sebuah kota besar tempat aku dilahirkan sebagai anak ke-6 dari 8 bersaudara. Selama 23 tahun, aku hidup di sebuah rumah mewah yang berdiri di Kelurahan Kedoya, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Setidaknya, rumah itu masih berukuran besar meskipun kemewahannya tak terlihat lagi karena terkikis usia.
Kata Ibu, aku lahir ketika Bapak berada di puncak kejayaan. Namun, sepertinya aku tak pernah merasakan kejayaan itu. Aku hanya melihat beberapa foto diriku, sejak bayi hingga usia dua tahun di antara perabot-perabot simbol kejayaan pada tahun 80-an.
Ada foto ketika aku---yang berusia sekitar sepuluh bulan---sedang duduk di atas TV yang hanya dimiliki orang berada. Sebuah TV yang terbingkai lemari mirip meja berbahan kayu jati. TV berlemari itu mempunyai empat kaki dan pintu yang bisa digeser ke sisi berlawanan ketika akan membukanya. Jika ingin menutupnya, kita hanya perlu merapatkan pintu itu ke bagian tengah dengan kedua tangan dan TV pun akan mati secara otomatis.
Di sebelahku ada Ibu yang tersenyum seraya memegangiku agar tidak terjatuh. Di pergelangan tangan Ibu terdapat gelang emas berukuran sedang dalam jumlah yang cukup banyak.
Ada lagi foto ketika aku mengenakan gaun cantik yang dibopong Bapak di atas pundaknya. Sepertinya waktu itu aku masih berusia dua tahun. Di belakangnya terdapat sebuah bufet berwarna biru toska dengan gaya elegan dan mewah. Di dalamnya terpajang gelas-gelas kristal yang katanya milik Ibu. Gelas itu terlihat mengilap terpantul cahaya lampu yang ada di dalam lemari.
Dulu Ibu juga punya sebuah meja makan kayu jati berukuran besar. Di atasnya tergantung sebuah lampu mewah antik khas Betawi yang bingkainya terbuat dari tembaga.
Selebihnya, aku tak pernah menemukan fotoku yang berusia 3---4 tahun dan seterusnya. Anehnya, aku tak mengingat kalau aku pernah hidup di antara gelimang harta. Aku hanya mengingat masa-masa susah kami yang harus mengajukan surat keterangan tidak mampu jika ingin mendapatkan keringanan biaya sekolah. Tak kulihat lagi meja makan besar itu. Lampu khas Betawi bergaya antik pun hanya tinggal slotnya.
Aku hanya bisa makan sekali sehari dengan lauk tempe goreng. Bahkan kadang aku hanya memakan dagangan Ibu yang tak habis. Pastel dan Risol. Waktu itu rasanya nikmat sekali. TV yang ada di foto pun tak ada lagi. Aku hanya tahu ketika ingin menonton TV, aku harus menumpang di rumah tetangga.
Tetangga itu mempunyai anak yang sebaya denganku. Kami biasa bermain bersama. Tia namanya. Jika Tia sedang menyebalkan, pintu rumahnya akan ditutup ketika aku datang. Bahkan gorden rumahnya pun digeser sangat rapat saat aku ketahuan mengintip demi bisa menonton acara kesukaanku.
Jika Tia sedang baik hati, gorden itu dibiarkan terbuka dan aku akan menonton TV sambil menempelkan wajahku di kaca agar bisa jelas menonton tayangannya. Kadang kakaknya marah jika kaca jendelanya yang bening berembun karena embusan napasku.
"Bu, emang TV yang ada di foto itu ke mana?" tanyaku waktu itu.
"Dijual!" jawab Ibu singkat seraya mendadar kulit risol di malam hari.
"Kenapa dijual?"
"Buat ngasih makan kamu-lah!" Ibu menjawab ketus.
Begitulah Ibu, sekalipun dia tidak pernah bermain tangan, Ibu tak pernah bersikap lembut kepada kami. Gaya asuh Mbah Lanang---bapaknya Ibu---yang seorang tentara, melekat pada watak Ibu yang keras. Meskipun demikian, Ibu menyayangi kami, anak-anaknya.
Aku pernah merajuk karena Ibu hanya memberikan aku lauk risol sisa jualan pagi. Bukannya membelai dan menenangkan aku dengan pelukannya, Ibu malah pergi meninggalkan aku yang menangis. Akhirnya, aku tak punya pilihan selain memakannya. Pikirku, daripada aku kelaparan.
Waktu itu aku tak mengerti seberapa sulitnya Ibu sampai menjual barang-barang mewahnya. Seingatku ada satu foto kulkas dua pintu, tetapi kulkas itu tak ada bekasnya. Kemewahan yang tersisa hanya rumah berukuran hampir 200 meter.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Bapak bangkrut. Aku hanya tahu dulu Bapak seorang pegawai pemerintahan, tetapi ketika aku berusia lima tahun, Bapak hanya seorang guru honorer pada awal tahun 90-an yang waktu itu penghasilannya 92 ribu per bulan. Belum dipotong untuk membayar utang kalau Bapak harus terpaksa meminjam separuh gajinya karena beras di rumah sudah habis.
Ibu bekerja keras membantu Bapak dengan berjualan risol dan pastel. Tiap malam, irama adonan risol yang didadar di atas teflon sangat melekat di telingaku. Aroma isian pastel berupa potongan kentang dan wortel berbentuk dadu sering aku rindukan hingga kini.
Risol dan pastel itu dititipkan ke beberapa warung yang bersedia membantu memajangnya dengan keuntungan seratus rupiah per buahnya. Kadang pulang sekolah aku ikut menjajakannya.
"Pastel! Pastel!" teriakku.
Biasanya aku berkeliling menawarkan risol dan pastel dari rumah ke rumah. Kalau lagi beruntung, Pak Haji Aselih akan memborong daganganku.
Pak Haji Aselih adalah orang terpandang di RW kami. Haji tiga kali itu pintar mengaji tetapi tidak bisa membaca dan menulis. Pak Haji Aselih punya banyak kontrakan di mana-mana. Bahkan dulu pertama kali ke Jakarta, Ibu pernah menyewa kontrakan Pak Haji Aselih sampai akhirnya punya rumah.
Jika melihat anak-anak bermain batu tujuh dan petak umpet ketika tengah berkeliling, ingin rasanya membuang daganganku dan bergabung bersama mereka. Namun, membayangkan raut lelah Ibu, aku menahan diri untuk bermain. Mungkin lain kali, aku bisa bermain bersama mereka sepulang sekolah. Aku lebih suka bermain bersama teman lelaki dari pada perempuan. Mereka---teman perempuan---selalu saja mengejek dan memusuhiku.Â
"Nis! Nyari cebong, yuk!" ajak Syahrul seorang teman lelaki yang terkenal bodoh, tetapi baik hati padaku.
Aku menggeleng karena aku harus berjualan. Demi bisa bermain bersamaku, kadang Syahrul membantu menjajakan pastel dan risol. Ibunya berteman baik dengan ibuku.
***
Suatu hari Ibu sangat membutuhkan uang untuk membayar biaya masuk sekolah kakakku. Akhirnya Ibu mengajakku ke rumah Tante---adik dari Bapak---di daerah Kalisari, Jakarta untuk meminjam uang. Waktu itu Ibu hanya membawa uang pas-pasan. Dibungkusnya beberapa pastel dan risol berharap pulang dari sana akan membawa hasil yang sesuai.
Kami harus menaiki bus sebanyak tiga kali dengan rute Kedoya menuju Grogol, lalu melanjutkan perjalanan ke arah terminal Kampung Rambutan.
Rumah Tante cukup mewah pada masanya. Sebuah kulkas dua pintu yang waktu itu terlihat canggih buatku. Es batu yang bisa dicetak bentuk kotak-kotak, tinggal putar ketika ingin menikmati es sirup. Di rumah, aku harus memukul es batu yang kubeli di warung tetangga itu dengan martil.
Sayangnya, kami pulang dengan hanya dibekali beras dua liter. Bahkan, Tante tidak menyukai jajanan seperti pastel dan risol.
"Kalau makan gorengan, aku langsung panas dalam. Bawa pulang aja, Mbak!" serunya kepada Ibu.
Akhirnya, risol dan pastel itu kami bawa pulang kembali. Karena ibu tidak mendapat pinjaman dan ongkos bis hanya cukup untuk naik dua kali, kami pun berjalan kaki hingga terminal bus Kampung Rambutan. Ternyata, bus Mayasari yang kami tumpangi mogok di jalan, sehingga kami harus menyambung dengan bus lain. Parahnya ongkos kami tidak dikembalikan.
Ibu lama di Jakarta, tetapi hatinya selembut orang Jawa. Malas ribut dengan kernet, akhirnya ongkos yang semula untuk naik Metromini pun terpakai. Itu pun Ibu harus menawar karena tidak ada lagi uang di sakunya.
Sampai Grogol, Ibu berkata dengan nada yang ragu, "Anis! Mau olah raga, enggak? Jalan kaki, yuk!" ajak Ibu.
Aku pun mengangguk. Kami berjalan kaki dari Grogol ke rumahku sejauh kurang lebih 5 kilometer. Sesekali Ibu mengajakku beristirahat di tengah jalan. Kulihat raut iba di wajah Ibu kepadaku yang waktu itu baru berusia tujuh tahun.
Ketika beristirahat, Ibu menyuruhku memakan pastel dan risol yang hanya tersisa sedikit karena sudah kumakan waktu di dalam bus tadi. Seolah mengerti, aku tak berani mengeluh meskipun sengatan matahari petang itu cukup membuat kulitku terbakar.
Aku tidak pernah merasakan bangku kuliah. Kata Ibu, beliau hanya sanggup menyekolahkan kami hanya sampai SMA.
"Makanya, nanti kamu lulus sekolah langsung kerja. Supaya kamu bisa kuliah dengan uang kamu sendiri," kata Ibu.
Risol dan Pastel adalah jejak perjuangan Ibu yang aku rasakan hingga kini. Ketika membuat kedua jenis jajanan itu, aku mengenang masa laluku saat berjalan kaki bersama Ibu menelurusi aspal jalanan di Jakarta yang terik. Masa terus berganti, roda kehidupan pun berputar. Meskipun Ibu masih belum bisa bersikap lembut pada kami, anak-anaknya, setidaknya ia pernah ikut menangis saat melihat aku melahirkan untuk yang pertama kali.
*cerpen ini sudah diterbitkan di penerbit indi dalam bentuk antologi (nulis bareng)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H