Mohon tunggu...
Anisah Muzammil
Anisah Muzammil Mohon Tunggu... Editor - Editor/Penulis

Penulis lepas/Editor/Mentor Ibu rumah tangga, 4 anak Penulis buku Jemuran Putus www.instagram.com/anisah_muzammil www.facebook.com/anisah.muzammil

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Etika Parafrasa dalam Penulisan Karya Tulis

17 September 2022   07:15 Diperbarui: 21 September 2022   01:15 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, enggak semua orang bisa jadi penulis. Namun, seiring perkembangan teknologi, semua orang bisa menulis. Setiap orang bebas menuangkan isi pikiran melalui tulisan. Riset?

Kalau dulu harus terjun ke lapangan atau bepergian ke suatu tempat untuk melakukan riset. Sekarang, riset bisa dengan mudah dilakukan meskipun kita hanya berada di satu kamar segi empat. Kita bisa pergi ke YouTube, Google, atau membaca cerita dan status update beberapa teman di Facebook. Bahkan untuk mengetahui seluk beluk suatu daerah, kita bisa menyusuri Google Maps. Setuju, kan?

Google. Adalah sebuah mesin pencarian yang paling banyak menjadi andalan. Jika kita mengetik satu kata saja, semua jawabannya ada di sana. Kemudahan teknologi membuat kita dengan cepat mencari ilmu di mana saja.

Namun, jika kita tidak menyaringnya dengan tepat, bukannya pintar, malah menyesatkan. Itulah kenapa selain mengandalkan Google, seorang penulis juga harus banyak membaca buku-buku sesuai referensi bahan tulisannya. Tanpa membaca, seorang penulis akan buta. Minim kosakata. Sehingga jika ditantang untuk menulis satu karya ilmiah dengan cepat, penulis itu akan rawan melakukan plagiarisme.

Apa yang membuat penulis melakukan plagiarism?

Minim Kosakata

Penulis punya ide, tetapi bingung bagaimana cara merangkai ide tersebut agar berkembang menjadi satu tulisan utuh. Kenapa? Karena penulis kurang baca. Seperti kita ketahui, makanan penulis adalah membaca. Tanpa membaca, penulis akan minim kosakata meskipun dia menguasai konsep tentang apa yang sebenarnya ingin dia tulis.

Dikejar Tenggat

Deadline membuat penulis melakukan jalan pintas untuk mengutip satu atau dua kalimat, kemudian ditempelkan ke dalam tulisannya.

Tidak mau berlatih menulis

Kita kan punya medsos, seperti Facebook dan Instagram. Jangan terbiasa menge-share tulisan orang lain, tetapi cobalah kita buat tulisan yang isinya hasil pemikiran sendiri. Medsos itu adalah tempat yang cocok untuk berlatih menulis setiap hari.

Dengan berlatih, kita terbiasa menyusun kata menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf. Paragraf menjadi satu naskah utuh yang menarik untuk dibaca. Kalau terbiasa mengutip, berarti enggak ada latihan.

Lalu bolehkah melakukan parafrasa atau mengutip secara tidak langsung?

Jawabannya adalah: boleh.

Namun, parafrasa juga ada etikanya. Ada batasan-batasan yang enggak boleh dilanggar oleh penulis. Jika penulis sedikit saja melanggar etika tersebut, jangan heran jika dikatakan penulis tersebut melakukan praktik plagiat karya. Ingat, ya! Parafrasa tidak dilakukan dengan hanya membolak-balikkan kata menjadi kalimat.

Menurut KBBI, parafrasa adalah pengungkapan kembali suatu tuturan dari sebuah tingkatan atau macam bahasa menjadi tuturan yang lain tanpa mengubah pengertian.

Definisi lain (masih menurut KBBI) menyebutkan bahwa parafrasa adalah penguraian kembali suatu teks (karangan) dalam bentuk (susunan kata-kata) yang lain denan maksud menjelaskan makna yang tersebunyi.

Kesimpulan saya, parafrasa adalah menuliskan kembali suatu karya, ide atau gagasan pokok orang lain dengan gaya bahasa sendiri tanpa mengubah makna tulisan atau ide tersebut. Meskipun menuliskannya dengan gaya bahasa sendiri, kita tetap harus mencantumkan sumbernya. Kenapa? Karena ide atau gagasan tersebut miliki orang lain.

Loh, bukannya ide itu enggak ada yang ori? 

Ribuan orang punya kemungkinan memiliki ide yang sama.

Betul. Sah-sah saja jika setiap orang memiliki ide yang sama.

Misalnya, yang menulis artikel tentang 'Tips Menyetrika Tanpa Lelah' itu enggak cuma satu. Ada banyak. Nah, untuk menghindari kita mengutip karya orang lain, baik secara langsung atau tidak langsung (parafrasa), kita buat tulisan itu dengan ide pokok dan gagasan yang lahir dari isi pikiran sendiri. Sebagai penulis, kita juga harus punya gaya tulisan, dong!

Lalu, bagaimana melakukan parafrasa agar terhindar dari plagiarism? 

Banyak baca untuk memperkaya kosakata

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, banyak baca adalah makanan para penulis. Menulis tanpa membaca, tulisan tersebut hanya bagus dari segi kuantitas, tetapi tidak dengan kualitas.

Baca dan pahami isinya

Jadi bukan sekadar membaca, melainkan pahami isinya agar kita bisa melakukan parafrasa dengan baik untuk menghindari plagiarism. Jangan lupa beri highlight untuk ide pokok yang penting disampaikan, kemudian catat sumbernya.

Kalau kata ulama Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin, "Kami menghafal sedikit dan membaca banyak, maka kami mengambil manfa'at dari yang kami hafal lebih banyak daripada apa yang kami baca."

Artinya, memahami isi dari suatu tulisan itu lebih penting dari sekadar membaca karena manfaatnya pasti akan lebih banyak jika kita paham.

Tulis artikel tersebut dengan gaya bahasa sendiri

Jika sudah paham, lakukan parafrasa. Kalau perlu, pergi jauh dari artikel tersebut agar kita tidak tergoda untuk 'menyontek' isi tulisan. Dalam hal ini, kita ditantang untuk mencari padanan kata dan kejelian menyusun kalimat tanpa mengubah makna.

Jangan lupa untuk tetap menuliskan sumbernya di tulisan yang telah kita buat

Yuk, kita gali lebih dalam contoh tulisan parafrasa. Saya akan ambil sedikit yang saya kutip dari buku Sarah Ockwell-Smith yang berjudul 'Gentle Dicipline' hal. 123.

Seorang anak yang memukul, menendang, atau mengigit anak-anak lain biasanya dipandang sebagai seorang perundung. Namun, yang tidak banyak disadari oleh para orang tua, seing kali ini merupakan tanda bahwa anak tersebut juga menjadi korban perundungan (bullying). Sedikit banyak, merundung membuat mereka mendapatkan kendali mereka kembali. Jika anak Anda berada di sekolah dan terlihat merundung anak lain, selalu selidiki apakah mereka sendiri dirundung.

Kalimat parafrasa yang masih plagiasi

Anak yang terbiasa memukul, menendang, atau menggigit teman-temannya biasa dianggap sebagai perundung. Namun, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa sering kali kebiasaan tersebut adalah tanda bahwa anak itu korban perundungan.

Dengan merundung orang lain, mereka merasa mendapatkan kembali kendali mereka. Jika anak Anda selalu merundung temannya di sekolah, selidiki apakah anak Anda juga dirundung? (Sarah Ockwell-Smith, Gentle Dicipline, hal. 123)

Kalimat parafrasa yang bisa diterima

Menurut Sarah Ockwell-Smith dalam 'Gentle Dicipline', banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak yang terbiasa merundung anak lain bisa jadi mereka adalah korban perundungan. Untuk itu, orang tua perlu meneliti kembali jika mendapati anak-anak mereka melakukan perundungan terhadap anak lain, apakah mereka juga korban perundungan?

Sebenarnya, untuk membuat satu artikel pendek sebanyak 1--5  halaman, penulis hanya membutuhkan satu kali duduk atau setidaknya satu hari sampai ke swasunting. Bahkan tulisan sebanyak tiga--lima halaman ini dibuat hanya sekitar kurang dua jam termasuk swasunting.

Apa tipsnya?

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Kuasai konsep yang akan kita tulis. Banyak berlatih menulis hasil pemikiran sendiri membuat kita terbiasa menulis. Apalagi artikel adalah tulisan yang dibuat berdasarkan data, bukti nyata, atau opini kita yang diurai dalam bahasa yang jelas bahkan enggak jarang bahasa yang digunakan adalah nonformal sehari-hari.

Untuk artikel, apalagi karya jurnalistik adalah karya tulis tidak memerlukan bahasa atau diksi yang sulit dipahami karena tujuan penulisan jurnalistik adalah memberi pesan atau kabar dengan cepat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam hal ini adalah masyarakat luas.

Jadi, teman-teman enggak perlu repot-repot cari diksi Arkais atau Sanskerta pada tulisan hasil reportase atau berita agar tulisan menjadi indah. Buat apa indah kalau pesannya enggak sampai ke pembaca karena enggak semua paham beberapa arti kata-kata tersebut.

Beda halnya dengan sebuah karya fiksi yang kita perlu cari padanan dan diksi yang sifatnya puitik sampai ke metafora agar tulisan itu terbaca indah. Artikel itu, apalagi jika kita sudah kuasai konsepnya, insyaallah mudah menuangkannya ke dalam tulisan.

Menguasai konsep, tetapi minim kosakata juga membuat kita sulit menuangkannya ke dalam tulisan. Karena itu, untuk bisa menulis dengan cepat adalah meningkatkan kebiasaan baca untuk memperkaya kosakata.

So, jangan karena dikejar deadline, kita beralasan bisa mengutip tulisan orang lain tanpa mengatur kembali susunan kalimatnya. Yuk, jadi penulis yang kreatif! [am]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun