Para aktor memang memberikan bahasa tubuh yang berbeda, namun tetap terasa kurang. Pemilihan aktris Sheryl Sheinafia sebagai Tia, memang memberikan aktris ini tantangan baru untuk menjadi karakter di genre horor.Â
Sesuatu yang belum pernah ia lakukan, namun dalam prosesnya , masih terlihat diri aktris ini sebagai karakter remaja yang dikenal melalui film-film bergenre drama sebelumnya. Ada sesuatu yang membuat dirinya kurang dapat menjiwai karakter Tia dan ini sangat fatal, dikarenakan perannya pada akhir film.Â
Kemudian ada juga aktris  Putri Ayudya yang pengalaman bermainnya sudah sangat banyak, namun entah mengapa penulis merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya saat Putri memerankan karakter Ibu Kost. Entah pada penjiwaannya atau justru pada make up prostetik, yang sempat beberapa kali ditampilkan, sehingga malah membuat penulis kehilangan fokus, sebenarnya apa yang hendak ditampilkan disini. Penampilan ini terlalu banyak dan berawal dari rasa ngeri, lama kelamaan menjadi sesuatu yang agak meresahkan pandangan mata.Â
Menurut pendapat penulis, terlalu banyak penekanan diberikan kepada sesuatu yang tujuannya memberikan rasa ngeri. Ini hanya akan berhasil jika hanya dilakukan sekali atau dua kali. Jika diulang-ulang , lama kelamaan pikiranpun sudah menolerir dan meminta bahkan tepatnya menuntut untuk diberikan sesuatu yang lebih lagi. Perasaan ini perlu diakomodir dan  inilah yang kurang diberikan sebagai adegan klimaks.Â
Penutupan adegan yang seharusnya mengejutkan, terasa klise dan telah dapat ditebak. Ini pun kembali memberikan ruang bagi penonton untuk kembali lagi bertanya akan karakter-karakter yang sejak awal dihadirkan. Tak heran jika penulis pun semakin dalam merasakan bahwa mereka seakan menjadi sosok-sosok karakter yang fungsinya hanya  sebagai pelengkap sesi kengerian belaka, bukan sebagai pendukung cerita.
Secara keseluruhan penulis mengapresiasi kenaikan tingkat pembuatan film horor ketiga Visinema, namun nampaknya masih perlu ditingkatkan lebih lanjut lagi. Jika akan ada kelanjutan dari semesta Kanjeng Iblis ini, nampaknya masih perlu lagi untuk mempertimbangkan pendalaman informasi untuk masing-masing karakter yang dihadirkan.Â
Pendalaman satu dua karakter lebih baik, jika dibandingkan semua disama ratakan , serta hanya memfokuskan pada efek kengerian belaka. Ini karena latar belakang cerita yang kuat , akan mampu memberikan efek rasa ingin tahu akan nasib karakter tersebut selanjutnya.Â
Akhir cerita bahwa tongkat estafet akhirnya diberikan kepada Tia, terasa kurang membuat penonton penasaran dan ingin mengetahui lebih lanjut akan semesta ini. Sesuatu yang sangat disayangkan, jika tujuannya adalah membuat semesta dunia animisme Kanjeng Iblis