Parameter penilaian film
Banyak teman-teman saya yang suka bertanya, "Apa sih enaknya menonton awal sebuah film, sebelum diputar serentak di bioskop pada umumnya?"
Bahkan banyak pula yang mempertanyakan, penilaian yang kita berikan akan sebuah film yang telah ditonton, hingga parameter tolok ukur yang digunakan.
Setiap orang akan mempunyai tolok ukur masing-masing, sehingga menjawab pertanyaan tersebut saya hanya tersenyum dan menjawab, "tolok ukur saya adalah film tersebut memberikan kesan seperti apa pada diri saya, sebelum, saat hingga setelah film selesai diputar."
Kesan tentunya berbeda bagi masing-masing individu, berdasarkan latar belakangÂ
Kilas balik terlebih dahulu.
Waktu masih pagi, saat saya mendapatkan pers rilis, bahwa Keluarga Cemara, yang merupakan karya Yandy Laurens, mendapatkan kehormatan menjadi film yang diputar pada acara pembukaan JAFF atau Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-13.
Saya masih ingat, saat itu saya tersenyum dan mengingat balik film serial teve Keluarga Cemara yang pernah dahulu saya tonton, dengan pemainnya sebagai Abah adalah Adi Kurdi. Film itu cukup berkesan.Â
Kemudian saya teringat lagi, pernah membaca tulisan Arswendo Atmowiloto mengenai Keluarga Cemara ini di majalah Hai. Saya teringat, tulisan tersebut sangat berkesan juga.
Bagi saya saat itu terkagum-kagum akan kekuatan tekad dan sosok Abah yang dengan gagah menaungi keluarganya di saat kesulitan keuangan menerpa.
Berkat tulisan Keluarga Cemara, sayapun jadi senang membaca karya Arwendo Atmowiloto yang lain termuat dalam majalah Hai. Benar-benar rugi, jika melewatkan satu saja tulisan karya Arwendo Atmowiloko.
Saya ingat pagi itu saya berpikir, "Apakah mungkin film ini bisa menyaingi yang telah saya tonton dan saya baca".Â
Maklum saat itu, saya sedang fokus mereview beberapa film bergenre horor, sehingga pers rilis yang saya dapatkan, seolah mendapat sedikit ruang dalam pemikiran saya.
Hingga akhirnya, beberapa email mengenai JAFF datang bertubi-tubi, dan entah mengapa hari itu saya pun membuka instagram Ideosource yang memberi kabar mengenai jadwal pemutaran Film Keluarga Cemara di bioskop Empire XXI Yogyakarta.Â
"Wah, nampaknya menarik bila bisa menonton Keluarga cemara di JAFF," pikir saya.
Dari sinilah, seolah semesta membuka pintu, hingga ada rangkaian acara yang mempermudah saya untuk dapat hadir ke acara JAFF selama dua hari. Dan kebetulan tanggal dan harinya memungkinkan saya, terutama untuk dapat melihat pemutaran film Keluarga Cemara pada hari Sabtu.Â
 Hal ini benar- benar menyenangkan.
JAFF ke 13Â
Maklum, bagi bukan penggemar film, tentunya dengan banyak dan ragamnya festival film, amat susah membedakan antara satu festival dengan pemenang suatu festival lainnya.
Kemudian pertanyaan lain, yang sering muncul adalah mengapa banyak berulang kali terjadi festival film di Indonesia.
Kalau menurut saya, ini merupakan tanda akan berkembang pesatnya industri kreatif di Indonesia, dan hal ini merupakan hal yang baik karena memberi ruang kebebasan bagi orang untuk mewujudkan bakat kreatifnya, serta mendapatkan apresiasi yang sepantasnya.
Adapun JAFF sendiri adalah festival film Asia utama di Yogyakarta dan berfokus pada pengembangan sinema Asia. JAFF ke-13 berlangsung pada 27 November sampai 4 Desember 2018.
JAFF ke-13 tahun ini, telah bekerja sama dengan Network for the Promotion of Asian Cinema (NETPAC). Tentunya bagi yang kembali mengeryitkan dahi dengan tulisan NETPAC, maka intinya NETPAC adalah organisasi yang berpusatkan di Colombo, Sri Lanka.
NETPAC mempunya jalur dan menghubungkan para kritikus, pembuat film, kurator dan pengurus festival, exhibitor, dan para pendidik dari 30 negara di Asia.Â
NETPAC selama ini juga telah memberikan penghargaan bagi film yang diputar di Toronto International Film Festival, Busan International Film Festival, International Film Festival Rotterdam, dan lain-lain.
JAFF adalah festival film yang diprakarsai oleh Garin Nugroho .
JAFF telah diadakan sejak tahun 2006, sejak itu JAFF telah memutar puluhan film dari berbagai negara di Asia, JAFF menentukan tema yang berbeda-beda di setiap tahunnya. Tahun ini temanya adalah "Disruption".
Pembuat film dapat juga mengikutsertakan film yang telah dibuatnya, namun harus lolos tahap evaluasi dan biasanya diumumkan masa submissionnya dalam wesite resmi JAFF.Â
Wah, semangat dan antusias sekali. Terlebih saat melihat antrian sangat panjang, dan sempat saya posting di instastory Instagram saya . Terkejut juga saat insta story tersebut di repost ulang, dengan mentag para pemain film .
Iya, antreannya panjang sekali loh, dimulai dari meja registrasi hingga pintu keluar dan terus bertambah hingga pintu parkir. Wah, apakah ini pertanda antusiasme netizen pencinta film di Indonesia akan semakin rindu akan film bertemakan keluarga atau hanya sekadar nostalgia belaka?
Namun untuk tolok ukur nostalgia, antrian ini masih kurang panjang, karena saya pernah menghadiri undangan pula, saat nostalgia sebuah film sekuel dan menjadi banyak buah perincangan netizen, karena sekual ini sukses, maka dunia di seputar film inipun mulai dibangun.
Apa hayo kira-kira judul filmnya?
Yak, betul AADC 2.
Nah, saat itu antriannya lebih panjang dari antrain kali ini.
Ok, kembali ke Keluarga Cemara dan JAFF
Sembari menunggu waktu pemutaran film, sayapun kembali menelusuri email dan artikel terkait pers rilis Keluarga Cemara.
Satu yang menarik mata, tulisan ini "
"Sang sutradara yakni Yandy Lauren mengatakan, film ini tetap akan bercerita tentang keluarga yang terdiri dari Abah, Emak, Euis, Ara dan Agil.
Namun, cerita dalam film ini akan dibuat relevan dengan jaman sekarang"
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Film 'Keluarga Cemara' Bercerita Tentang Keluarga Emak dan Abah yang Kekinian, http://www.tribunnews.com/seleb/2018/01/04/film-keluarga-cemara-bercerita-tentang-keluarga-emak-dan-abah-yang-kekinian.
Penulis: Nurul Hanna
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Relevan, dengan jaman sekarang? Apa ya kira-kira? Apakah terkait dengan lingkungan tempat tinggal Keluarga Cemara? Apakah terkait dengan becak?Â
Ingatanpun melayang, becak kan pernah menjadi trending topik, karena dianggap tidak manusiawi, namun pada kenyataannya toh tetap saja digunakan karena permintaan Ibu-Ibu, terutama terkait transportasi dari pasar ke rumah masing-masing. Eh,namun apakah karena ini ya?
Penasaran sekali rasanya. Hingga akhirnya panggilan memasuki ruangan bioskoppun terdengar.
Segera bergegas saya masuk dan menempati kursi yang telah disediakan .
Sambutan dari sutradara Yandy Laurens pun dimulai,Â
berlanjut dengan masuknya beberapa tamu undangan VIP mulai dipersilahkan untuk segera duduk di kursi yang disediakan dalam ruangan bioskop, kemudian lampu mulai meredup dan film Keluarga Cemara pun diputar.
... bersambung ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H