Mohon tunggu...
Nuty Laraswaty
Nuty Laraswaty Mohon Tunggu... Penulis - Digital Marketer , penulis konten

owner my own law firm,bravoglobalteam founder,trainer network marketing, trading, speaker in radio program( heartline fm - gaya fm) and multiply seminars,mc

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pemutaran Film "Perempuan Nelayan" yang Mengundang Kontroversi

9 Februari 2018   14:43 Diperbarui: 9 Februari 2018   14:53 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poros Maritim  dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai program utama dalam pemerintahannya. Masalah kelautan, termasuk masalah perikanan, memang merupakan persoalan penting bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga banyak negara di dunia. Sedikitnya 200 juta orang penduduk di negara-negara berkembang bekerja sebagai nelayan tradisional.

Demikian headline di undangan acara Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan 31 Januari 2018 , yang dilaksanakan oleh Jurnal Perempuan. Saat saya melakukan registrasi, diberikan dua buah buku Jurnal Perempuan yang membahas mengenai Perempuan Nelayan serta Perkawinan dan Keluarga, beserta lembaran Siaran Pers , oleh Jurnal Perempuan. 

Bagi yang belum mengetahui , Jurnal Perempuan mulai diterbitkan pada tahun 1996 dengan visi dan misi untuk membangun kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan melalui produksi pengetahuan dengan fokus kegiatan penelitian, penerbitan dan pendidikan. Jurnal Perempuan merupakan satu-satunya jurnal feminis di Indonesia dan bernanung di bawah Yayasan Jurnal Perempuan. Hingga Januari 2018, Jurnal Perempuan telah menerbitkan 95 edisi

Ok, feminis itu apa si? Dari situs Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saya mengetikan kata tersebut. namun tidak ditemukan

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Mau tak mau , saya cari di google dan muncul sebagai berikut:

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ok, jadi sudah ada gambaran , kira-kira apa yang akan diperlihatkan dalam film ini. Jadi kalau ada yang mempertanyakan , ketajaman dan kritik yang tajam diberikan kepada kaum laki-laki, saya percaya , pembaca sudah faham karena landasan dari kata "feminis" itu sendiri. ini yang perlu saya sampaikan terlebih dahulu, karena selesai diskus dan pemutaran film. Saya masih bertemu dengan perempuan yang mengomel , merasa film tersebut terlalu menyudutkan  dan melawan kodrat perempuan itu sendiri.

Dalam hal ini, sayapun kembali bertanya. "Apakah anda faham, arti kata feminis?". 

Wajahnya nampak sedikit terkejut.

Iya, pemutaran film ini memang menceritakan perjuangan Perempuan Nelayan , melawan birokrasi dari kaum laki-laki, yang mengatas namakan Undang-Undang yang tidak jelas detil bab penjelasannya dan menginterpertasikannya dalam jalur Agama yang dianutnya, dalam hal ini, mohon maaf, kebetulan yang ada di jalur birokrasi pemerintahnya beragama Islam.

Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti, bertujuan baik dengan gagasan yang memiliki pekerjaan Nelayan akan mendapatkan akses program pemerintah. Namun sayangnya, di lapangan , yang dapat menuliskan pekerjaan sebagai Nelayan hanyalah kaum laki-laki. Adapun kaum perempuan, tidak dapat mencantumkan hal tersebut. Hanya beberapa wilayah saja, yang pejabatnya mau memahami , mau menuliskan dalam KTP kaum perempuan , pekerjaan sebagai Nelayan. 

Di lapangan sendiri, dari pemutaran video dan data-data yang termuat dalam Buku Jurnal Perempuan 95, ternyata kaum perempuan juga melakukan hal-hal yang sama seperti kaum laki-lakinya, bahka lebih berat lagi karena urusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak dibebankan hampir sebagian besar kepada mereka.

Disini, bisik-bisik mulai ramai. Mengapa? Karena yang dikejar (seolah dalam pemutaran film ) dengan tujuan penulisan dalam KTP kaum perempuan dengan pekerjaan Nelayan adalah asuransi yang nilai uangnya baru dapat diperoleh apabila Nelayan tersebut meninggal.

Beberapa perempuan ada yang tidak setuju dengan yang dilakukan oleh perempuan dalam film ini maupun dalam diskusi selanjutnya setelah pemutaran video. Namun ada yang menyampaikan dan ada juga yang hanya berdiskusi antara mereka.

Sayapun membaca Siaran Pers yang diberikan kepada saya.

Lembar Siaran Pers
Lembar Siaran Pers
Dalam paragaf 4 tertulis

"Kehadiran Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak garam adalah sebuah kemajuan. Undang-Undang ini memiliki semangat untuk melindungi hak-hak nelayan kecil sebagai salah satu kelompok rentan. Sayangnya implementasi kebijakan belum menggapai perempuan nelayan. Definisi nelayan dalam undang-undang tersebut dibatasi hanya pada pekerjaan menangkap ikan yang diasosiasikan sebagai dunia profesi laki-laki. hal ini membuat perempuan nelayan tersingkir dari kategori nelayan. Pendefinisian nelayan perlu memasukkan perpektif gender. Dengan perspektif gender maka definisi profesi nelayan harus menyertakan peran dan kontribusi perempuan nelayan. Kebijakan publik yang ideal harus dapat menghapuskan diskriminasi gender dan menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara."

Bagi peserta yang keberatan, (saya ambil keberatan yang paling positif dan melepaskan atribut agama) adalah, mengapa harus menunggu sampai terjadi kejadian wafat dahulu, baru setelah itu asuransi turun, keluarga mereka mendapatkan manfaat. Bukankah manfaat bisa diberikan dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan daya jual dari produk-produk tangkapan yang diperoleh. Komentar ini timbul, karena penekanan dalam film ini seolah adalah dipersoalan asuransi tersebut.

Salah seorang peserta menanyakan, dan dijawab dalam diskusi yang menimbulkan gelombang ketidakpuasan lagi seperti. *(Saya tulis dalam bahasa yang sudah diperhalus)

"Loh, Bapak narasumber kok malah melarang anak-anak yang sekolah untuk meninggalkan dunia nelayan? dengan alasan, siapa lagi yang meneruskan budaya nelayan, jika anak-anak diberikan pendidikan. Bukankah itu hak mereka, anak-anak itu, untuk memilih terus jadi nelayan atau tidak jadi nelayan?"

"Loh, kok ngeles , karena kita berikan pertanyaan dan jawabannya muter-muter?".

Saya pribadi menangkap kurang lebih maksud nara sumber, hanya sayangnya penyampaiannya terlalu penuh pembelaan akan aktifitas yang dilakukan dalam film tersebut, ataupun pembelaan atas penulisan dalam Jurnal Perempuan tersebut.

Masalah ini memang "rawan" dan harus diperlakukan dengan hati-hati. Tiap daerah dan wilayah berbeda pemahamannya mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki. Saya sendiripun saat dahulu, sempat terlibat dalam hal-hal yang terkait dengan perempuan dan anak-anak, sudah merasa berhadapan dengan tembok, disertai pemahaman dan syukur karena orang tua saya, terutama Bapak menerapkan prinsip perempuan dan laki-laki sama dalam rumah tangga. Sesuatu yang sangat jarang ditemukan dalam rumah tangga teman-teman saya, saat saya sering berkumpul dengan mereka.

Terakhir, pada intinya perjuangan perempuan nelayan berhasil dan memperoleh yang diinginkannya dan dalam kolom pekerjaan di KTP tetulis pekerjaan Nelayan, setelah sebelumnya ditulis sebagai "Buruh Nelayan".

Berikut adalah videu di you tube, yang disarankan untuk dilihat. Disampaikan dalam diskusi, untuk mencari dengan kata kunci 360 Tambakpolo, Demak , Jawa Tengah. Hasil penelusuran, saya mendapatkan ini:




Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun