Di Balik Label Biru: Kisah Penulis Muda dan Perjuangannya
Awal mula menulis di kampasiana sama sekali tidak punya motif apa-apa. Yang saya tahu adalah bahwa saya ingin mencoba sesuatu yang baru atas ajakan teman Billy.Â
Dalam pandangan saya adalah  hanya dituntun membuat akun kompasiana dan kapan-kapan saya belajar menulis jika ada waktu luang, hanya itu saja di dalam benakku.
Sebagai pemulis muda, menayangkan satu artikel perdana saja adalah kebanggaan tersendiri. Artikel perdana saya menceritakan pengalaman seorang announcer di radio Dian Mandiri Ambon.
"Tips mengatasi kepanikan".  Artikel yang di tayangkan hasilnya tanpa label biru . Bagi teman Billy yang berpengalaman  dalam benaknya pasti punya penilaian bahwa artikel perdana saya tidak layak jauh dari kriteria penulisan.  Namun bagi saya pribadi, aman dan tentram tanpa rasa kegagalan yang menghantui hati saya. Â
Tanpa disadari bahwa, Sebagai penulis di Kompasiana, label biru menjadi semacam pencapaian tersendiri. Ia simbol kurasi, pengakuan kualitas, dan tentu saja kebanggaan. Tapi, perjalanan menuju label biru itu nggak selalu mulus yang dibayangkan.
 Ada lika-liku, kekecewaan, dan tentunya pembelajaran berharga. Hari ini, saya ingin berbagi pengalaman saya menayangkan artikel yang tidak berlabel biru, dan bagaimana hal itu justru menjadi batu loncatan untuk berkembang.
Mimpi Label Biru pada Artikel lainnya
Dengan semangat membara, saya menulis artikel berikut di Kompasiana. Topiknya menarik, data lengkap, dan saya yakin isinya bermanfaat. Tapi, hasil yang saya dapatkan tidak semua nya berlabel biru, Â hannya beberapa saja label biru. Yang tidak berlabel Kecewa? Pasti! Tapi, daripada terus meratapi, saya memilih intropeksi.