Keputusan itu membuat saya tidak nyaman, tetapi saya menerima tantangan tersebut. Manajer mengusulkan nama program "Jembatan Sukacita," tetapi saya menolak karena nama itu terkait dengan kejadian banjir di Ambon yang mengakibatkan robohnya banyak jembatan besar. Logikanya adalah bahwa sukacita menjadi semu ketika banjir atau badai melanda kehidupan setiap orang.
Saya mengusulkan nama "Masih Ada Harapan" sebagai gantinya. Pilihan ini sangat meyakinkan bagi saya pribadi karena pada saat itu, saya sedang menghadapi masalah keuangan untuk menyelesaikan studi pasca sarjana.Â
Nama program tersebut menjadi motivasi baru bagi saya untuk terus berjuang dan bergabung sebagai penyiar di radio. Sebab saya terus punya pengharapan bahwa kesuliatan apapun masih ada harapan.
Harapan kita itu seperti jangkar yang tertanam sangat dalam dan menjadi pegangan yang kuat dan aman bagi hidup kita (Ibr.6:19 BIMK).
Banyak orang berpikir bahwa berbicara di depan umum lebih sulit daripada berbicara di depan cermin. Tetapi pengalaman saya membantah pandangan tersebut.
 Saat pertama kali tiba di studio pada malam pertengahan Februari 2021, saya merasakan ketegangan dan ketidakpastian.
 Malam itu jarum jam di studio semakin bergeser pada menit-menit terakhir, detak jantung terasa semakin kuat tak beraturan. Apa yang harus saya sampaikan dibalik ruang kosong dan sunyi. Malam itu, ruangan yang full AC tidak mempan menahan guturan keringat yang mebasahi tubuh..hahaha...
Hal ini dapat dimaklumi karena, lebih enteng berceramah dihadapan  umun daripada ruangan kosong dan sunyi.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya belajar bagaimana berbicara di ruang hampa tanpa tatapan langsung pendengar. Pengalaman pertama saya menjadi penyiar radio tidak selalu mulus, tetapi saya bersyukur telah melewati perjalanan ini hingga Desember 2023.