Bukan Hanya Pelajaran, Tapi Juga Perkataan: Peran Besar Seorang Guru dalam Membentuk Masa Depan Anak Didik"
Saat saya bangun pagi dan membaca sebuah artikel dengan judul Jangan Pernah berkata “Bodoh” Kepada Anak Didik” oleh seorang kompasiner (Amirudin Mahmud 10 September 2015) ). Dalam ulasannya bahwa terkadang guru tidak menahan emosi lalu mengucapkan kata “bodoh, “nakal”, dan "bandel" atau jenis perlataan lainnya kepada anak didik dikelas.
Pertayaan saya: Siapa yang bodoh sebenarnya? Apakah anak didik atau guru? Hahaha…..! bukankah anak didik karena masih kosong dan polos dan ia datang untuk diajar agar lepas dari kebodohannya? Memang dibalik perkataannya itu bermaksud memotivasi anak didik tetapi dibalik perkataannya itu tersembunyi kebodohannya sendiri. Teori Tabularasa yang dikemukakan oleh John Locke berpendapat bahawa manusia seperti kertas putih yang masih kosong, kertas tersebut akan terisi ide-ide melalui pengalaman inderawi.
Pengalaman diperoleh melalui panca Indera sering berkembangnya pengetahuan (http://ejournal.radenintan.ac.id). Menjadi guru memang sebuah pekerjaan yang penuh tantangan besar. (Guru inovaif), sebuah kalimat berbunyi: “The more can manage your emosions, the more you can lead others” -John Wooden, memberikan ulasannya bahwa John Wooden memberikan masukan bahwa seseorang yang bisa mengelola emosi didalam dirinya maka semakin ia bisa memimpin orang lain.
Hal ini penting bagi bapak dan ibu guru dalam mengenlola emosi dalam melaksanakan tugas pembelajaran. Menjadi guru merupakan sebuah keputusan besar karena telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk menjadi manusia utuh yang punya sikap Tangguh. Profesi Guru adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Berdasarkan beberapa artikel ini, kesimpulan saya adalah guru memiliki pengaruh besar dalam menentukan masa depan anak didik. Pengalaman pahit yang pernah saya alami adalah ketika masih duduk di bangku SD, di daerah terpencil dengan segala keterbatasan, jauh dari kemajuan. Sebagai anak didik, kita harus mengikuti pendidikan setiap hari seperti sekolah lain di Indonesia. Sebagaimana yang diulas oleh Amirudin Mahmud, bukan lagi hal yang langka, tetapi dapat diakui bahwa perkataan negatif yang kami terima itu adalah makanan sehari-hari bagi kami sebagai anak didik.
Saat tidak menjawab pertanyaan, kita dihajar dengan rotan, kata-kata yang kurang pantas diucapkan, dan disamakan dengan binatang. Kata-kata intimidasi yang terjadi menciptakan suasana keakraban dalam kelas antar guru dandan anak didik yang tidak pernah kami temukan, selain tertekan oleh rasa takut (trauma) sebagai anak didik. kami hany dapat berteriak dan senang hati di kelas jika kami mendengar bahwa jam pelajaran hari itu ditunda karena guru sedang berhalangan..... semua wajah penuh ceria.....hahaha......!
Setelah saya belajar sebagai calon guru, saya menemukan bahwa tindakan kekerasan dan kata-kata negatif tidak boleh diucapkan oleh guru kepada anak didik. Hal ini juga harus diterapkan dalam peran saya sebagai orang tua, bahkan dalam ajaran tentang iman Kristen pun tidak dibolehkan. dapat diakui bahwa jaman sudah berbeda jauh. jika jaman sekarang, jangan kan ucapkan kata-kata kasar buat anak didik, dicubit atau ditampar saja guru bisa berhadapan dengan hukum. Jadi, tugas saya sebagai orang tua adalah menjadi sangat selektif dalam berkata-kata kepada anak-anak saya atau siapapun.
Pada suatu ketika, saat menjemput pulang anak saya dari sekolah, wajahnya muram tidak seperti biasanya. Saya bertanya, "Mengapa mukamu muram? Sedih?" Ia menjawab, "Tadi ibu guru bilang kami semua bodoh di dalam kelas!" Setelah tiba di rumah, sebagai orang yang beriman, saya memeluk anak saya dan berdoa menenangkan hatinya bahwa perkataan ibu guru tidak akan terjadi, dan dia pasti akan menjadi anak yang pintar, bukan anak bodoh! Wajahnya berubah, menjadi riang kembali.
Mungkin di antara pembaca ada yang berprofesi sebagai pendidik, hargailah panggilan itu, berlakulah dengan baik kepada anak didikmu, karena suatu hari nanti akan dipertanggungjawabkan di hari terakhir hidup kita. Semoga bermanfaat.