YANG LAIN
Yang lain kadang bisa mengesalkan. Bila sedang hendak membeli sesuatu, penjual menunjukkan barangnya, kemudian kita bertanya ada yang lain? Si penjual yang sabar mungkin akan menunjukkan barang lain, dan bisa kehilangan kesabaran jika kita masih bertanya lagi, ada yang lain? Penjual yang kurang sabar, sejak pertanyaan pertama mungkin sudah menduga bahwa sebenarnya kita tidak akan berbelanja. Pertanyaan ada yang lain? merupakan cara halus untuk tidak jadi membeli.
Kadang, yang lain malah ditunggu dan ditanggapi positif. Ketika dalam sebuah forum tanya jawab sejumlah orang bertanya, si pembicara menjawab, selesai menjawab ia bertanya, ada yang lain? Pertanyaan ini memberi kesempatan bagi yang belum bertanya untuk mengajukan pertanyaan. Tetapi, yang lain bisa jadi negatif. Saat orang bertanya, sang pembicara bukannya menjawab, malah bertanya, ada yang lain? Orang yang bertanya bisa tersinggung karena merasa pertanyaannya tidak mutu atau tidak nyambung, sehingga dia harus membuat pertanyaan baru, atau kesempatan bertanya pindah ke orang kain.
Yang lain bahkan bisa terasa mengerikan pada kala sejumlah orang berkumpul dan berbicara dengan berapi-api. Terungkap ucapan, kita harus hancurkan yang lain, yang selain kita, orang yang tidak setuju dengan kita. Dalam kaitan ini tidak bisa dilupakan ungkapan filsuf eksistensialis dan pemenang hadiah Nobel Sastra J.P. Sartre dalam salah satu karyanya. Ia ungkapkan, neraka adalah orang lain.
Bagi penganut keyakinan atau ideologi garis keras yang ekstrim, yang lain itu halal darahnya, boleh dihancurleburkan. Yang lain bukan saja dianggap tak bermakna, bahkan musuh yang sah untuk terus dimusuhi dan dihabisi.
Biasanya, dibangun keyakinan bahwa yang lain itu berbeda, yang lain itu lebih rendah, yang lain itu tak bermakna, yang lain itu berbahaya, yang lain itu mengancam, yang lain itu mau hancurkan kita. Ujungnya adalah, mari hancurkan yang lain sebelum mereka hancurkan kita. Hanya ada dua kata, menghancurkan atau dihancurkan!
Semua peperangan sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang dilandasi oleh nalar ini. Orang tidak mau atau tidak berani menghadapi dan hidup bersama dengan yang lain. Sebab yang lain itu tak mudah difahami, kadang malah memang tak bisa dimengerti karena yang lain itu berbeda dan cenderung tidak jelas.
Manusia memang menciptakan istilah yang lain untuk apapun yang kurang dikenali, tak dikenal, sulit diidentifikasi, dirasa asing, aneh, berbeda, tidak disukai, mengkhawatirkan, menakutkan, dan mengancam. Ini adalah cara paling mudah untuk menandai dan mengklasifikasi apapun yang tak dikenal atau tak disukai.
Kajian Foulcault tentang sejarah penjara dan sejarah kegilaan menegaskan betapa manusia sepanjang sejarah selalu dihantui untuk menempatkan dirinya secara jelas dan pasti. Untuk itulah dibuatlah demarkasi atau garis batas antara manusia yang dikategorikan normal-rasional dan abnormal-irrasional. Penjara dan rumah sakit gila diciptakan untuk membuat perbedaan dan demarkasi yang jelas, terukur, dan terstruktur. Abnormalitas-irrasionalitas itu ditrannformasi menjadi terstruktur dalam bentuk institusi yang berupa penjara dan rumah sakit gila.
Institusionalisasi itu penting untuk menciptakan kepastian. Sebab mereka yang lain yaitu yang abnormal-irrasional akan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Ada sejumlah tindakan yang sah dilakukan agar yan lain itu tidak mengganggu dan merusak mereka yang normal-rasional. Inilah fakta dan sejarah manusia.
Amerika Serikat dulu punya Alkatraz dan kita sampai sekarang masih memiliki Nusakambangan, penjara dengan keamanan super dan selalu digambarkan sebagai tempat yang mengerikan. Di zaman orde baru ada Pulau Buru sebagai tempat pengasingan bagi yang lain. Kelompok manusia yang sengaja diasingkan di sana untuk tunjukkan orde baru itu niscaya keberadaannya karena ada yang lain yang berbahaya bagi negara. Agar orang yakin, mereka yang lain itu harus dipertahankan secara fisik sebagai bukti bahwa yang lain itu sungguh-sungguh ada. Nyata adanya.
Pemerintahan Bush merasa perlu menciptakan tragedi September untuk tunjukbuktikan bahwa yang lain itu bukan sekedar eksis, tetapi sungguh mengancam secara nyata. Atas dasar tragedi September ia hancurkan Iraq, padahal ujungnya cuma mau kuasai ladang minyak. Akibatnya rakyat Iraq sampai sekarang menderita. Apakah tragedi bom Bali sama? Sejak bom Bali, Polisi terus memburu yang lain sampai perlu membentuk Densus 88. Lucunya, entah sengaja atau tidak, setiap kali ada gonjang-ganjing yang menyangkut kebijakan pemerintah, Polisi menggerebek dan baku tembak dengan kelompok yang lain itu. Apa aparat keamanan kita tidak punya jurus pamungkas untuk menuntaskan kelompok yang lain itu? Atau justru mereka dipelihara dan dikembangbiakkan untuk tujuan tertentu? Rakyat tak pernah tahu.
Dalam masyarakat kita, nalar yang lain dengan segala konsekuensinya telah sangat berkembang. Berbagai konflik seperti konflik Sampang,berbagai konflik di Lampung, Poso, dan beragam konflik lain merupakan akibat tak terelakkan dari berkembangnya nalar yang lain ini.
Menjelang pemilu yang sebentar lagi digelar, mulai bergaung nalar yang lain dalam tensi yang terus meningkat. Harus ada kesadaran dan kerja nyata dari kita semua, jangan sampai upacara demokrasi ini meledakkan nalar yang lain menjadi konflik terbuka dan berkepanjangan sebagaimana banyak terjadi dalam pemilukada.
KEUTUHAN BANGSA INI TERLALU MAHAL JIKA DIKORBANKAN UNTUK MEMPEROLEH KEKUASAAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H