Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang mendukung beragam program pembangunan. Namun, keberadaan pajak tak jarang menimbulkan dilema etika, terlebih ketika kebijakan pajak yang diterapkan dinilai tidak adil atau terlalu membebani masyarakat.
 Seiring dengan kebijakan perpajakan yang terus berkembang, pertanyaan besar muncul: apakah pajak yang diambil dari rakyat sejalan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan, atau justru menjadi alat untuk menambah beban bagi mereka yang sudah kesulitan?
Di negara manapun, pajak memiliki peran krusial dalam membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Di Indonesia, pajak menjadi pilar utama untuk mendanai berbagai program pembangunan mulai dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga program sosial lainnya. Tanpa pajak yang cukup, negara akan kesulitan menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan yang efektif dan efisien sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan nasional.
Namun, di balik tujuan besar tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa pajak seringkali menjadi beban yang berat, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Ketika pendapatan mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup, tambahan pajak yang dipungut bisa menambah derita. Di sinilah muncul dilema etika: apakah benar pajak, yang harusnya menguntungkan negara, justru malah menambah penderitaan rakyat?
Isu ketimpangan sosial menjadi salah satu masalah utama dalam kebijakan pajak di Indonesia. Meskipun sudah ada upaya untuk membuat pajak progresif, yang mengutamakan pembebanan lebih besar pada mereka yang berpendapatan tinggi, dalam praktiknya ketidakadilan sering kali terjadi. Banyak masyarakat berpendapatan rendah yang harus membayar pajak dengan tarif yang lebih tinggi secara proporsional dibandingkan dengan mereka yang memiliki penghasilan lebih besar.
Sebagai contoh, pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikenakan pada barang dan jasa konsumsi seringkali dirasakan sebagai beban oleh masyarakat yang kurang mampu. Meskipun ada barang-barang tertentu yang dikecualikan dari PPN, namun barang-barang dasar yang banyak dikonsumsi oleh rakyat kecil tetap dikenakan pajak. Akibatnya, meski nominalnya mungkin kecil, proporsinya terhadap pendapatan mereka bisa sangat besar.
Selain itu, praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion) juga memperburuk ketimpangan ini. Beberapa perusahaan besar dan individu kaya cenderung menemukan celah hukum untuk mengurangi kewajiban pajaknya, sementara masyarakat biasa yang tidak memiliki akses ke strategi tersebut harus menanggung beban pajak yang lebih berat. Ketidakadilan ini semakin memperburuk rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.
Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama akibat dampak pandemi COVID-19, kebijakan pajak semakin mendapat sorotan. Masyarakat yang sudah kesulitan menghadapi pengurangan pendapatan dan PHK, kini dihadapkan pada pajak yang tak kunjung turun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pemerintah justru menaikkan pajak untuk mendukung pemulihan ekonomi negara.
Pada saat yang sama, pemerintah tetap membutuhkan pendapatan yang cukup besar untuk membiayai program-program pemulihan ekonomi nasional. Proyek infrastruktur, bantuan sosial, dan subsidi bagi masyarakat yang terdampak, semuanya memerlukan dana yang besar. Namun, jika pemerintah menaikkan pajak, terutama bagi masyarakat yang sudah berada di garis kemiskinan, hal ini berisiko memperburuk ketimpangan dan memperpanjang penderitaan mereka.
Kebijakan pajak yang lebih tinggi di tengah krisis ekonomi menimbulkan dilema moral: apakah mengutamakan kesejahteraan negara dengan mengambil lebih banyak pajak dari rakyat yang sudah kesulitan adalah keputusan yang benar? Atau justru ini adalah pilihan yang tidak etis karena memperburuk beban hidup masyarakat?
Menghadapi dilema ini, jalan tengah yang bisa ditempuh adalah menciptakan kebijakan pajak yang lebih adil dan transparan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan pajak, agar penerimaan negara dapat optimal tanpa memberatkan masyarakat. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk menjelaskan kepada publik bagaimana pajak yang dipungut digunakan untuk kepentingan bersama, misalnya dengan lebih gencar mengedukasi masyarakat tentang manfaat dari pajak yang dibayarkan.
Penggunaan teknologi dalam pengelolaan pajak juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan mengurangi potensi kebocoran pajak. Sistem perpajakan yang lebih canggih dan berbasis data akan memungkinkan pemerintah untuk lebih tepat sasaran dalam memungut pajak dari mereka yang seharusnya membayar, serta mengurangi potensi penghindaran pajak dari pihak-pihak yang mampu.
Lebih dari itu, prinsip keadilan dalam pajak harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya. Pajak harus dilihat sebagai kewajiban bersama yang harus dipikul dengan proporsional, tidak hanya berdasarkan besaran penghasilan, tetapi juga berdasarkan kemampuan untuk membayar. Dalam hal ini, pengenalan pajak progresif yang lebih ketat dan kebijakan yang dapat menurunkan beban pajak bagi masyarakat miskin, bisa menjadi salah satu solusi.
Pajak memang merupakan instrumen penting untuk pembangunan negara, namun penerapannya harus selalu mempertimbangkan keadilan dan etika. Masyarakat mungkin menangis karena merasa terbebani, namun negara juga membutuhkan pajak untuk mendanai berbagai program sosial dan pembangunan. Dalam menjalankan kebijakan pajak, negara harus bijak dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, tidak hanya mengejar keuntungan semata.
Pemerintah harus terus berupaya menyeimbangkan antara kepentingan negara untuk memperoleh pendapatan dan kebutuhan masyarakat yang menuntut keadilan dalam pajak. Jika tidak, kebijakan pajak justru akan menciptakan ketidakadilan yang lebih dalam, yang pada akhirnya merugikan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H