Mohon tunggu...
Nusantara Mulkan
Nusantara Mulkan Mohon Tunggu... Lainnya - Orang Biasa Aja

Sebagian tulisan saya yang ada di sini pernah dimuat di sejumlah media. Walaupun sedikit saya modifikasi kembali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pergulatan Kaum (Tak) Bertuhan [Bagian3]

6 Januari 2014   15:06 Diperbarui: 9 Juli 2015   11:50 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kegiatan Camp Quest (i.usatoday.net)

Belum matangnya emosi dan intelektual membuat anak-anak menjadi sasaran potensial ‘dakwah’ kaum ateis.

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Materi di ruang kelas Camp Quest. (secularstudents.org)"][/caption]

ANAK-anak memang umumnya senang jika diajak berkemah, apalagi jika di alam terbuka yang berudara bersih dan sejuk. Hal inilah yang dimanfaatkan benar oleh Samantha Stein, 27, untuk mengajak anak-anak mengikuti kegiatan yang digelarnya di di sebuah lahan hijau dan rimbun di daerah Somerset, Inggris.

Perkemahan ini diberi nama Camp Quest, yang jika diartikan secara literal sebagi kemah pencarian, walaupun sebenarnya singkatan dari Question, Understand, Explore, Search and Test (pertanyaan, pengertian, penelusuran, dan pengujian). Namun, jangan bayangkan jika perkemahan ini layaknya perkemahan pramuka ataupun proyek sains sekolah. Jangan bayangkan juga jika perkemahan ini adalah sebuah retreat layaknya sebuah kegiatan religius, walaupun sekilas sangat mirip.

Perkemahan ini, seperti dikatakan penggagasnya Samantha Stein, adalah sebuah perkemahan musim panas untuk mendorong anak-anak menolak tradisi ajaran agama. Mereka diberi pengenalan tentang ateisme, agnostisisme, humanisme, dan kebebasan berpikir. Sementara bagi peserta yang masih menganut pandangan supranatural didorong untuk berpikir naturalistis selama 24 jam.

Kegiatan Stein, seperti dilansir Daily Mail, terungkap saat BBC empat tahun yang lalu menayangkan kegiatan gadis itu. Dia memperkenalkan perkemahan yang dibuatnya sebagai sebuah permainan pikiran bagi anak-anak. Setiap anak-anak yang ada di sana diminta membayangkan bahwa perkemahan itu dikelilingi oleh unicorn, yakni kuda putih bertanduk satu dalam mitos bangsa Indus.

[caption id="" align="alignright" width="278" caption="Samantha Stein (secularism.org.uk)"]

[/caption]

Hewan khayalan itu tidak dapat dilihat apalagi disentuh, namun mereka harus memiliki keyakinan bahwa hewan itu ada. Selanjutnya, para peserta didorong untuk memberi penjelasan rasional untuk membuktikan unicorn itu tidak ada. Bagi yang bisa memberi penjelasan dengan argumen terbaik akan diberi hadiah £10 pundsterling (sekitar Rp 140 ribu).

Orang kebanyakan pasti langsung berpikir bahwa unicorn itu menjadi perumpamaan tentang Tuhan. Namun Stein membantahnya. Unicorn, menurut dia, hanya salah satu medium untuk mendidik anak-anak berpikir kritis. “Kami tidak ingin menghujat agama, namun mendorong orang meyakini bahwa banyak hal yang hingga kini diyakini tanpa adanya pembuktian,” paparnya.

Agar anak-anak tak merasa bosan, kegiatan mereka tidak selalu digelar dalam bentuk diskusi, tapi lebih menonjolkan kegiatan bersama dalam bentuk permainan. Mereka juga diajak untuk berarung jeram bersama di sungai berarus deras yang ada di area itu.

Untuk mengikuti perkemahan ini memang dibutuhkan kocek yang tidak sedikit. Setiap peserta dikutip biaya  £275 (sekitar Rp 4 juta). Namun bukan berarti pesertanya juga sedikit. Walaupun tidak menyebutkan jumlah peserta setiap sesi, Stein mengklaim banyak orang tua yang mengirimkan anaknya yang berusia tujuh hingga 17 tahun ke kemah itu.

“Mereka rata-rata dikirim oleh orang tua yang mulai jenuh dengan pengaruh agama dalam masyarakat. Mereka mulai mencoba memberi alternatif untuk menanamkan nilai-nilai baru kepada anak-anak,” papar Stein.

Dia membantah jika program yang dibuatnya bertujuan mengindoktrinasi anak-anak agar meninggalkan agama dan tidak memercayai Tuhan. Kemah itu, kata dia, bertujuan membangun pemikiran terbuka atas sistem keimanan yang dianut para peserta.

Program kemah untuk anak-anak itu, akunya, terinspirasi setelah membaca buku The God Delusion (Khayalan

[caption id="" align="alignleft" width="245" caption="Salah satu kegiatan Camp Quest (i.usatoday.net)"]

[/caption] tentang Tuhan) yang ditulis Richard Dawkins, guru besar biologi Oxford University yang dikenal sebagai tokoh ateis. Kaum ateis di Inggris memang menganggap buku itu sebagai ‘kitab suci’.

Stein yang yang berpendidikan master di bidang agama dan masyarakat kontemporer dari King's College, London, terlahir dari seorang ibu beragama Protestan dan ayah Yahudi di Buckinghamshire. Namun, keduanya tidak pernah menjalankan ritual keagamaan. “Saya tumbuh berdasarkan pemikiran sendiri,” ungkapnya.

Salah satu penyokong kegiatan itu tak lain adalah Dawkins. Namun, dia menolak tudingan berusaha mencuci otak anak-anak agar meragukan adanya Tuhan. Camp Quest, kata dia, bertujuan mendorong agar anak-anak berpkir berdasarkan rasionalitas dan skeptis terhadap sesuatu yang tidak dilihatnya. “Kami tidak melakukan indoktrinasi. Kami mendorong mereka berpikir secara terbuka dengan cara menyenangkan,” akunya.

Agar kegiatan itu dapat terus berjalan, Dawkins pun menggalang dana ‘filsafat untuk anak-anak’. Melalui yayasan The Richard Dawkins Foundation for Reason and Science, dia berani membayar £500 (sekitar Rp7 juta) bagi para pemateri di kemah itu. (Bersambung)

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun