Lalu, bagaimana dengan koalisi parpol yang akan mengusung Prabowo Subianto? Jika mengacu kepada manuver Ketua Umum DP PPP Suryadharma Ali (SDA) yang hadir di kampanye akbar Gerindra di Gelora Bung Karno maupun istigasah bersama beberapa waktu yang lalu, memang terlihat parpol itu akan berada di dalam koalisi. Hanya saja, hal itu terganjal konflik internal di tubuh Partai berlambang Kakbah tersebut. Karena walaupun suara PPP di Pileg 2014 meningkat dibandingkan perolehan saat Pileg 2009, manuver SDA dianggap telah membuat target minimal 10% tidak tercapai. Sehingga, Wakil Ketua Umum DPP PPP Emron Pangkapi menyatakan SDA bisa dicopot dari jabatannya karena dianggap telah melanggar aturan partai yang dikategorikannya sebagai mencemarkan nama partai.
Selain terhadap SDA, protes juga dilayangkan kepada Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz dan Wakil Ketua Dewan Syariah Nur Iskandar. Mereka dinilai terlalu banyak melancarkan manuver yang merugikan posisi PPP. Taruhlah memang PPP akan bergabung dengan koalisi ini. Jelas belum cukup jika harus berhadapan dengan koalisi pendukung Jokowi.
Jalan yang harus dilakukan Prabowo untuk merebut suara pemilih adalah dengan secara cerdas memilih cawapres. Entah apakah lamaran kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad untuk mendampingi Prabowo akan berlanjut ke ijab dan kabul. Yang jelas, saat ditanya wartawan atas hal itu, Samad selalu menjawab,"Saya tidak bisa menolak takdir."
Yang menjadi penentu dari pertarungan adalah Partai Golkar. Partai berlambang beringin rindang ini pernah mengusulkan dibentuknya koalisi parpol nasionalis, yang terdiri dari Golkar, Hanura, Nasdem, dan PD. Sebuah gagasan yang seolah-olah ingin menciptakan reuni kembali di antara para tokoh-tokoh lama di era Orde Baru. Yang juga kerap tercetus dari ucapan Ketua Umum DPP Golkar Aburizal Bakrie, yang di berbagai kesempatan saat kampanye kerap mengagung-agungkan kejayaan Orde Baru. Apalagi karena Siti Hediati, salah satu anak Soeharto, penguasa Orde Baru selama 32 tahun, kini ikut bergabung sebagai salah satu caleg.
Nah, di faktor inilah ada kemungkinan lain bagi PKS untuk melabuhkan jangkarnya. Yang bisa dilihat dari sejumlah manuver yang dilakukan Presiden PKS Anies Matta lewat ziarahnya ke makam Soeharto.
[caption id="" align="alignright" width="333" caption="Aburizal Bakrie mencari peran. (Tempo.co)"]
Yang menjadi pertanyaan kemudian: apakah mereka semua memang bersedia mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai capres? Di internal Golkar sendiri terlihat setengah hati mendukung pemilik jaringan media Viva Group tersebut. Apalagi, tokoh yang dulu akrab disapa Ical namun kini lebih ingin memopulerkan nama ARB itu ternyata tidak mampu melaksanakan janjinya memenangkan Golkar. Sehingga, bisa terjadi kemungkinan 500 DPD Golkar akan meminta agar ada evaluasi atas pencapresannya. Partai yang mengklaim sebagai pembentuk Orde Baru itu tentu akan belajar dari pengalaman Pemilu 2009. Di mana saat itu perolehan suara mereka menembus 24%, namun jumlah caleg yang duduk di kursi DPR hanya 15%. Sehingga, kini Golkar perlu mengantisipasi perolehan final suara Pileg 2014 yang masih terus berubah demi memastikan persentase perolehan kursi mereka di parlemen.
Kuda Hitam Bernama Demokrat
Sebelum menelisik kemungkinan jadi atau tidaknya ARB maju sebagai capres, ada baiknya mencoba menengarai kemungkinan parpol-parpol apa saja yang akan bergabung dengan koalisi bersama Golkar. Taruhlah koalisi parpol nasionalis seperti yang dicita-citakan memang terjadi. Tentu akan repot untuk menghilangkan hasrat 'merasa lebih' di antara mereka.
Mungkinkah Wiranto atau Surya Paloh bersedia menjadi cawapres ARB? Inilah yang sepertinya membuat PD akan bisa memainkan posisinya. Karena walaupun hanya berada di papan tengah, parpol yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono itu memiliki infrastruktur yang cukup kuat. Bukan hanya karena ketua umumnya kini menjabat sebagai presiden, tapi juga karena memiliki jaringan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Tanah Air.
Untuk mencalonkan diri sebagai capres jelas tidak mungkin. Sehingga, ajang pencarian capres dari konvensi pun, seperti diakui salah satu pesertanya Dahlan Iskan, sudah tak relevan. Walaupun disebut-sebut tengah menimbang empat nama tokoh sebagai capres, namun, Demokrat tentu akan bersikap realistis dengan kondisinya saat ini, sehingga para peserta konvensi yang berjumlah 11 orang sepertinya dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain. Di sinilah peran PD akan terlihat signifikan, mengingat di posisi papan tengah dia menempati urutan tertinggi.