Meskipun demikian, alasan ekonomi hanya digunakan oleh sejumlah kecil pasangan, hanya sekitar 0,5% dari total kasus. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun masalah ekonomi dapat menjadi beban dalam rumah tangga, namun faktor-faktor lain seperti ketidakharmonisan dan tidak tanggung jawab memiliki pengaruh yang lebih besar dalam memicu perceraian.
Menariknya, beberapa alasan seperti kekejaman mental jarang digunakan oleh pasangan sebagai alasan untuk perceraian. Hal ini mungkin disebabkan oleh sulitnya mengukur dan mendefinisikan kekejaman mental secara konkret dalam konteks rumah tangga. Selain itu, alasan-alasan lain yang tidak dipakai oleh pasangan mungkin karena alasan-alasan tersebut tercakup dalam kategori yang lain.
Bab IV Berpisah Sebagai Alternatif Meraih Sakinah
Dalam bab ini, penulis menekankan bahwa pasangan menikah dengan harapan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, realitasnya tidak semua pasangan dapat mencapai cita-cita tersebut, yang seringkali berujung pada perceraian.Dalam analisisnya, penulis menyoroti dua jenis pasangan: yang sepakat untuk bercerai dan yang salah satunya ingin bercerai. Melalui kasus-kasus mediasi perceraian yang ditampilkan, pembaca diperkenalkan pada beragam faktor penyebab perceraian, seperti masalah ekonomi, ketidaksetiaan, dan ketidakcocokan.
Kasus permohonan W dan H menyoroti kompleksitas pernikahan yang sudah lama dan bagaimana pasangan tersebut harus menghadapi konflik internal dan eksternal, seperti masalah ekonomi dan ketidaksetiaan. Sementara itu, permohonan F dan R memberikan gambaran tentang pernikahan yang didasari oleh keterpaksaan dan kurangnya ikatan emosional, serta bagaimana perceraian bisa menjadi alternatif yang lebih baik bagi mereka.Â
Penulis juga menampilkan kasus unik dari permohonan S dan A, yang menyoroti ketidakcocokan dan keengganan untuk menyesuaikan diri dalam rumah tangga. Melalui analisis mendalam atas kasus-kasus ini, pembaca diajak untuk memahami bahwa pernikahan adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan, dan perceraian bisa menjadi pilihan terbaik untuk mencari kebahagiaan yang tertunda.
Namun, bab ini tidak hanya sekadar mengulas kasus-kasus, tetapi juga membawa pembaca ke dalam pemahaman teori psikologi positif. Penulis mendorong pasangan yang mengalami perceraian untuk melihat bahwa keputusan itu adalah langkah awal menuju kebahagiaan yang lebih baik. Dengan pendekatan ini, pembaca diberi harapan bahwa perceraian yang bahagia bukanlah sekadar mimpi, tetapi merupakan kenyataan yang dapat diwujudkan.
Selain itu, bab ini juga mengupas lebih jauh tentang faktor-faktor eksternal dan internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan pasca-perceraian. Faktor eksternal kebahagiaan, seperti keuangan, kehidupan sosial, kesehatan, dan agama, sering dianggap sebagai faktor yang terganggu oleh perceraian.Â
Namun, buku ini mengajak pembaca untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Kasus-kasus yang disajikan menunjukkan bahwa perceraian tidak selalu menyebabkan penderitaan finansial, terutama jika pasangan dapat menemukan kebebasan finansial dan kemandirian setelah perceraian.Â
Lebih lanjut, perceraian juga dapat menjadi pintu menuju kehidupan sosial yang lebih stabil dan damai, terutama dalam kasus-kasus di mana situasi rumah tangga yang kurang harmonis seringkali berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya. Dalam hal kesehatan, perceraian dianggap sebagai langkah terakhir untuk melindungi kesejahteraan mental dan emosional seseorang dari tekanan dan konflik yang terus berlanjut dalam pernikahan yang tidak sehat.Â
Meskipun perceraian sering dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai agama, buku ini menegaskan bahwa dalam Islam, perceraian juga dianggap sebagai cara untuk menyelesaikan masalah keluarga yang sulit.