***
Cahaya senja sudah tampak menjingga. Lantunan kalam ilahi terdengar syahdu beriringan. Tinggal hitungan menit adzan maghrib dikumandangkan. Tapi, meja makan yang biasa ramai pun lengang. Menyisakan diriku seorang.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar..
Waktu berbuka. Aku masih menatap masygul kursi kosong yang biasa ibuk duduki. Biasanya, tangan ibuk cekatan mengambil nasi dari tungku dan menghidangkannya ke piringku sambil menyuruh untuk segera makan. Ditambah sirup belewah buatannya yang khas, dia tuangkan ke gelas untuk menghilangkan dahaga setelah berpuasa. Sesekali aku dibuat tertawa oleh leluconnya sebelum berbuka. Ah, lagi-lagi air mata berurai sendirinya.
Deg
Mataku terpicing kaget melihatnya. Tidak percaya.
Tiba-tiba saja sosok ibuk hadir di kursi itu sambil menatapku. Senyumnya perlahan mengembang.
"Jangan sedih lagi ya. Ibuk tidak akan pergi lagi." Dua tangannya terentang seperti ingin memelukku.
"Buk..?" Balasku dengan mata berkaca. Lalu kujulurkan tangan untuk meraihnya.
Plop!
Sekejap jasadnya sempurna lenyap. Ternyata itu hanya fatamorgana semata. Meja makan pun kembali lengang menyisakan suasana sunyi penuh dengan kesedihan. Aku meringkuk. Lalu menangis sejadi-jadinya.