Mohon tunggu...
Paulinus Kanisius Ndoa
Paulinus Kanisius Ndoa Mohon Tunggu... Dosen - Sahabat Sejati

Bukan Ahli, hanya ingin berbagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembelajaran Tatap Muka (PTM) vs Pembelajaran Tatap Layar (PTL), Mana Ideal?

30 Agustus 2021   22:24 Diperbarui: 30 Agustus 2021   23:43 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pastor..,kapan kami kuliah tatap muka. Pastor..,apakah semester depan kita masih daring ya?pastor apakah kami sudah diperbolehkan masuk kampus ya?

Inilah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para mahasiswa kepada saya. 

Memang sejak tahun lalu kampus dimana saya mengabdi, untuk sementara waktu tidak menyelenggarakan perkuliahan luring atau tatap muka sebagaimana biasanyaa melainkan dengan sistem daring. 

Saya membaca pesan dan maksud dibalik pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah ungkapan kerinduan para mahasiswa untuk kembali mengikuti perkuliahan sebagaimana biasanya yakni dengan sistem luring.

Memang diakui bahwa Pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang kesehatan manusia tetapi juga turut mengguncang bidang pendidikan di Indonesia. 

Sistem pembelajaran yang sebelumnya terbiasa dengan luring, tatap muka, tetapi digantikan dengan daring, dimana antara guru dan murid dipertemukan melalui jaringan. Mereka bertemu di depan layar; layar android, layar laptop, layar komputer. Inilah Pendidikan Tatap Layar (PTL) yang saya maksudkan.

Dalam tulisan pendek ini, saya hendak meneropong secara sederhana, tentu tanpa riset yang memadai tentang PTM dan PTL dalam konteks capaian nilai hidup dan nilai akademik yang sesungguhnya harus diakses oleh peserta didik dalam dunia pendidikan. 

Tentu selain kurikulum, sistem pembelajaran juga sangat menentukan apakah kedua niai tersebut dapat tercapai atau tidak.

Antara Nilai Hidup Vs Nilai Akademik: Mana yang Prioritas? 

Hemat saya, baik nilai akademik maupun nilai 'hidup' adalah sama pentingnya untuk peserta didik. Keduanya adalah bekal penting untuk peserta didik agar bisa hidup dan berkembang sebagai manusia. 

Tetapi menjadi pertanyaan bagaimana cara agar kedua nilai itu bisa diakses dengan mudah oleh peserta didik? Hemat saya, sistem Pembelajaran tatap layar berpotensi menyulitkan peserta didik untk mengkases nilai hidup dari pendidikan.

Tentang ini, saya pernah mengulasnya pada artikel sebelumnya. kususnya terkait dengan dampak nyata yakni hilangnya unsur mendidik dalam pendidikan.

Saya tetap meyakni pendidikan dengan sistem daring bukanlah ideal. Tetapi tidak berarti buruk. Satu hal yang bisa saja terabaikan adalah unsur mendidik dalam pendidikan. 

Padahal Sekolah tidak hanya tempat dimana anak belajar ilmu pengetahun lantas setelahnya mendapat nilai akademik dalam bentuk angka. Tetapi yang utama adalah tempat dimana anak menemukan nilai kehidupan yang terukur melalui sikap hidup.

Nilai kehidupan ibarat harta karun yang mesti ditemukan anak di sekolah. Harta karun ini tidak datang dari pengetahuan teoritis tetapi datang dari tutur kata guru, datang dari sikap guru, datang dari keteladanan hidup yang baik dari guru, dsb.

Ketika anak melihat gurunya berpakaian santun, disana anak sedang menemukan harta karun, nilai hidup tentang bagaimana sopan santun berpakaian, ketika anak menyaksikan keakraban dan kerja sama yang terjalin oleh para gurunya maka disana pula anak menemukan nilai kehidupan tentang indahnya hidup berdamai, kerja sama yang erat dalam komunitas. Ketika anak melihat kedisiplinan guru disana anak belajar tentang pentingnya hidup disiplin

Tentang ini, Seneca, pujangga Romawi telah mewariskan untaian kalimat pencerahan untuk dunia pendidikan "Non scholae, sed vitae discimus"  Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. We do not learn for school, but for life"

Belajar untuk sekolah dan belajar untuk hidup. Apa maksudnya? 

Kalau saya cermati, pada umumnya motivasi belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapat nilai akademik yang bagus; baik dalam bentuk numerik 1 sampai 10 maupun dalam bentuk abjad A-E. 

Hal yang sama juga dari pihak orang tua, saking bangganya sampai memposting prestasi akademik anaknya di medsos. Bagi saya, hal-hal ini wajar saja. Tetapi disayangkan jika kebanggaan dan orientasi atas pendidikan hanya sebatas ini.

Mestinya pendidikan harus mampu memfasilitasi peserta didik untuk sampai pada penemuan nilai kehidupan yang mengubahnya untuk semakin lebih baik dan manusiawi. Mungkin inilah maksud Seneca sang pujangga romawi dengan ungkapannya "Non scholae, sed vitae discimus"

Saya menafsirkan ungkapan Seneca ini demikian: dalam konteks pendidikan, kita belajar tidak sekedar mendapatkan nilai akademik, atau tidak sekedar memenuhi standarisasi akademik sebagaimana yang disaratkan, melainkan harus sampai kepada perubahan sikap hidup . Ini terjadi jika di sekolah, guru tidak sekedar mengajar, mentrasfer ilmu tetapi juga mendidik, mentransfer nilai hidup. 

Prioritasnya adalah Belajar bukan untuk nilai (akademik) tetapi untuk hidup. Melalui pendidikan peserta didik selain mendapat pengetahuan dan ketrampilan tetapi juga memperoleh sejumlah tuntunan etis moral yang penting untuk hidupnya, yang memungkinkannya untuk bisa hidup, bisa bersikap, berbicara, berelasi dan bersosialisasi layaknya manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun