Mohon tunggu...
Paulinus Kanisius Ndoa
Paulinus Kanisius Ndoa Mohon Tunggu... Dosen - Sahabat Sejati

Bukan Ahli, hanya ingin berbagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Yang Mengalahkan Covid-19 Bukan PPKM, tetapi Saya dan Kita

10 Agustus 2021   10:50 Diperbarui: 10 Agustus 2021   16:31 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah akhirnya memperpanjang PPKM level 4 untuk Jawa-Bali sampai tanggal 16 Agustus. Demikian pengumuman resmi yang disampaikan senin malam, 9 Agustus 2021.

Duh..PPKM lagi, kenapa PPKM lagi, terus-terusan PPKM tetapi haslinya itu-itu aja, kasihan masyarakat kecil terancam perekonomiannya. Tetapi bisa saja ada yang mengatakan sebaliknya syukur PPKM lagi, pemerintah peduli dengan keselamatan warganya, semoga bencana ini cepat berlalu, dan beragam komentar sebagai reaksi atas perpanjangan PPKM.

Reaksi atas sesuatu yang datang dari luar adalah sesuatu yang  wajar. Isi reaksi juga sangat tergantung dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing.  Sejauh disertai  alasan rasional tentu sah-sah saja.

Dalam ilmu fisika, kita kenal dengan hukum Newton. Ishak Newton menggambarkan dengan baik dengan hukum aksi dan reaksi.  "Jika benda pertama mengerjakan gaya terhadap benda kedua, maka benda kedua akan mengerjakan gaya terhadap benda pertama yang besarnya sama, tetapi arahnya berlawanan". Inti hukum ini tentang interaksi antara dua benda.

Jika hukum Newton ini kita konversi ke dalam kebijakan PPKM maka disana terdapat dua subjek yang saling berinteraksi: Pemerintah dan masyarakat. Pemerintah mengeluarkan kebijkan PPKM. Itulah aksi. Selanjutnya kebijakan ini direspon oleh masyarakat. Aktivitas merespon ini disebut reaksi.

Aksi-reaksi tidak berhenti di titik itu. Pasti bermuara pada hasil atau tujuan. Maka terjadi  lingkaran Aksi-Reaksi-Hasil. Pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM (aksi), rakyat menjalankan kebijakan PPKM (reaksi) dan pengurangan penyebaran covid-19 (tujuan). Ketiga hal ini sebenarnya saling mempengaruhi.  

  • Jika Aksi positif tetapi reaksinya negatif maka hasilnya hampir pasti negatif. Masa sih. Iya dong, kan yang utama adalah bagaimana aksi itu direaski/direspon dalam bentuk kepatuhan pada kebijakan yang ada.
  • Jika aksi negatif (kurang tepat) reaksinya positif maka hasilnya juga abu-abu. Tidak negatif banget tetapi tidak maksimal.
  • Jika aksi negatif (kurang tepat) reaksinya negatif maka hasilnya pasti negatif. Ini tentu tidak sulit untuk mengukurnya.
  • Jika aksi positif-reaksi positif maka hasilnya positif. kebijakan yang tepat, terus direspon dengan baik oleh masyarakat dalam bentuk ketaatan atas kebijakan maka hasilnya positif.

Lantas untuk konteks kita, khususnya terkait dengan kebijakan PPKM berada pada nomor berapa? Jujur saya sendiri bingung menentukan pada level mana. Semoga rekan kompasiana tidak ikutan bingung kayak saya.

Saya bukan ahli kebijakan publik. Karena itu saya tidak memiliki instrumen dan parameter yang memadai untuk menilai dan mengukur efektivitas kebijakan pemerintah. Tetapi akal sehat saja lebih condong menilai bahwa pemerintah pasti punya niat baik di balik segala kebiijakan yang dikeluarkan. Terlepas banyak hal yang dikurbankan dari kebijakan ini. Ya wajar saja, tidak ada kebijakan yang mampu memenuhi hasrat semua orang, yang tanpa resiko.

Pengujian sederhana saja: sejak pandemi covid-19 melanda Indonesia, pemerintah telah mengupayakan beragam cara untuk mengatasi wabah ini. aksinya beragam, terbingkai dalam macam kebijakan. Yang paling populer adalah PPKM yang berlaku hingga saat ini. aksi ini semestinya  direaksi (direspon) dengan positif oleh masyarakat. Tetapi nyatanya apa? Setiap hari televisi memberitakan aneka peristiwa pelanggaran PPKM. Itu yang berhasil diliput. Tentu masih banyak yang luput dari pemberitaan. Maka hasilnya apa? Hasilnya grafik penyebaran covid-19 belum kunjung sesuai target. Agak menurun katanya tetapi masih mengkuatirkan. Khususnya di luar Jawa-Bali malah grafik dari hari ke hari meningkat.

Lantas sekarang PPKM lagi. Salah siapa sih. Bukanlah salah saya mereaksinya? Bukankah karena saya kurang masuk ke dalam relung hati terdalam dan bertanya mengapa dan untuk apa kebijakan ini? maka hemat saya, kalau toh PPKM lagi dan lagi ini bukan cerminan kegagalan pemerintah tetapi akibat saya yang gagal fokus. Diminta fokus 5 M tetapi saya malah fokus MCL: Mencari Celah Lolos. Maaf bagi yang patuh. Tetapi masih banyak yang MCL.

Senjata pemusnah Covid-19 bukan PPKM tetapi saya, kita semua.

Tujuan yang belum tercapai sesuai harapan akan menimbulkan aksi baru. Maka tak heran PPKM lagi PPKM lagi.  Harapannya, pilihan aksi yang kedua ini adalah hasil dari evaluasi dan pembenahan. Maka bisa saja nama aksi sama tetapi isinya disana sini berbeda. Tetapi jangan sampai kita salah kaprah. Memandang PPKM sebagai senjata utama untuk memberantas covid, ini salah besar. 

Hemat saya, PPKM hanyalah salah satu instrumen yang membantu kita berjuang melawan covid-19. Ibaratnya, PPKM ini adalah senjata yang berada di tangan kita, yang kita gunakan untuk menembak sasaran yakni Covid-19. Senjata ampuh dan canggih sekalipun tetapi penembaknya amatiran sama aja hasilnya meleset. tidak kena sasaran apalagi sampai mematikannya. 

Simpulnya, kitalah yang utama. Kesadaran kita. Niat dan komitmen kita. Hayu jadikan 5 M sebagai bagian diri kita, katakan pada diri sendiri saya malu dengan MCL (Mencari Celah Langgar).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun