Salah satu topik pilihan Kompasiana adalah tentang pendidikan pancasila. Jujur saya tertarik menulis tentang ini walaupun semua materi pelajaran pancasila yang saya terima ketika di bangku SD tidak ada satupun yang masih teringat dalam memori saya. Maklum waktu udah berlalu tiga puluh tahun lalu.
Yang masih teringat oleh saya adalah sosok Guru sederhana yang kala itu mengajarkan saya tentang pancasila. Persisinya mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
Saya bersyukur masih mengingat sosok Guru ini. Karena walaupun ilmu teoritis tentang pancasila yang beliau ajarkan tak satupun yang masih tersisa dalam ingatan saya tetapi setidaknya dengan mengenang sosok  Guru yang satu ini saya seakan sedang belajar menjadi manusia pancasilais.
Sehari-hari tampilannya sederhana, jauh dari kemewahan. Hidup hariannya menunjukan sosok manusia yang berketuhan. Ia seorang beriman. Hidup moralnya mengagumkan.
Ia menunjukan sosok yang penuh kasih kepada peserta didiknya. Dalam situasi jengkelpun, ia tidak pernah memperlakukan kami dengan hal-hal yang mencederai harga diri dan martabat kemanusiaan kami. Â Ia tegas tapi terukur dan santun.
Ia pernah menghukum teman saya lantaran tidak hadir mengikuti upacara pengibaran bendera pada tanggal 17 Agustus. Mungkin Ia sedang menegaskan kepada teman saya akan cinta tanah air, bangga dengan bangsa sendiri. Salah satu bentuknya dengan hadir dalam upacara bendera. Â Bagi saya ia sosok pancasilais. Ia tidak hanya penghafal dan pengajar pancasila tetapi pelaksana nilai-nilai pancasila.
Dulu PMP kini PPKn
Ketika saya SD tahun 80-an, keilmuan tentang pancasila diajarkan dalam mata pelajaran PMP. Saat ini PMP tersebut berubah nama menjadi PPKn.
Nomenklatur berbeda mungkin juga isinya disana sini berbeda. Tetapi tujuan akhir sama, menanamkan dan membentuk watak kepribadian peserta didik sebagai warga masyarakat Indonesia yang pancasilais.
Pendidikan Pancasila: Bukan hanya ilmu teoritis. Tetapi harus disertai Praktikum
Hemat saya orientasi mata pelajaran terkait dengan pancasila bukan semata-mata memperkenalkan pancasila yang teoritis kepada peserta didik. Yang utama bukan menghafal kelima sila tetapi menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Demikian yang bisa saya simpulkan juga dari cara guru pancasila saya di kala SD.
Memang semestinya demikian. Karena yang diketahui budi belum menjamin akan dituruti oleh kehendak yang berbuah pada pelaksanaan.Â
Nilai 10 pada ujian pancasila belum menjamin kalau yang bersangkutan bakal hidup sebagai manusia pancasilais. Karena konteks ujian di ruang kelas adalah bagaimana mendapatkan nilai maksimal agar dianggap berprestasi, lulus ujian. Tidak lebih.
Padahal tujuan utama pendidikan bukan berhenti disitu, tetapi menanamkan nilai-nilai yang baik, unggul, luhur yang pada akhirnya diterima oleh peserta didik, mereka sampai pada kesedaran bahwa hal itu penting untuk hidup dan karena itu harus saya hidupi.
Karena itu, hemat saya konten pendidikan pancasila sebaiknya tidak berhenti pada ilmu teoritis. Tetapi akan jauh lebih relevan dan bakalan tertanam dalam jiwa peserta didik jika dikolaborasi dengan praktek di ruang kela maupun juga di luar ruangan kelas.
Ketika SD kami diminta untuk menghafal butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalam panacasila. Jumlahnya 36 butir. Pedoman ini menurut saya sangat bagus. Bahkan sangat kongkrit. Tinggal sekarang bagaimana hal itu diwujudkan.
Caranya? Peserta didik bisa diajak melihat dan mengalami dan terlibat dalam moment-moment tertentu di tengah masyarakat. Sesekali ajak ikutan bergotong royong mengerjakan rumah ibadah yang berbeda keyakinan.Â
Bukankah disana mereka sedang belajar menjadi manusia Indonesia yang berketuhan yang mahaesa, yang mengakui perbedaaan termasuk dalam hal keyakinan.Â
Di kampung halaman saya, nun jauh di Flores, dalam moment-moment perayaan besar gereja katolik, para saudara kami yang muslim turut terlibat dalam kepanitiaan. Juga sebaliknya. Silaturahmi berjalan natural, apa adanya.
Pribadi yang ber-Tuhan harus tampak juga dalam kemampuannya untuk mengasihi. Mencintai kemanusiaan. Ini inti sila ke-2. Maka, sesekali anak-anak diajak ke panti asuhan, mengunjungi para jompo, juga menyapa para pemulung di jalanan. Ini untuk mengasah sensitivitas terhadap situasi yang dialami orang lain, sambil menanamkan benih-benih saling mengasihi.
Kadang dalam proses pelajaran di kelas anak-anak diajak berdiskusi, merembuk suatu topik sambil mencari jalan pemecahan secara bersama.Â
Di sini mereka sedang belajar menjadi manusia yang mengutamakan musyarawah dalam mengambil suatu keputusan.
Belajar mendengar pandangan orang lain, terbuka atas kebenaran yang datang dari orang lain. dengan cara ini mereka sejak dini sudah mulai belajar menjadi manusia yang menjunjung tinggi sila ke-4 pancasila.
Selanjutnya bagaimana sila ke-5 dihayati? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat direalisasikan dalam bentuk yang sederhana oleh anak-anak.Â
Sesekali ajak anak-anak untuk tertib membuang sampah, sesekali ajak mereka membersihkan tempat-tempat umum, ajak anak yang berkecukupan secara ekonomi untuk berbagi kepada temannya yang kurang mampu.Â
Bukankah dengan melakukan hal-hal demikian mereka sedang belajar untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan juga belajar untuk memberi pertolongan kepada orang lain.
Akhirnya, pengakuan pancasila sebagai dasar negara harus berbuah dalam cara hidup, cara tutur, cara bersikap dan cara memandang perbedaan.
Cara kita menempatkan diri sebagai warga negara. Dan ini hanya mungkin jika kita mampu menyapa dengan jujur dan tulus yang berbeda dengan kita sebagai "saudara-saudariku sebangsa dan setanah air'.
Untuk itu semua mari kita dendangkan kembali lagu Garuda Pancasila ciptaan Sudharnoto
Garuda pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H