Sore itu, saya dan Putra sedang mengobrol santai bertukar cerita tentang masa lalu dan merencanakan impian di masa depan. Saya lebih banyak diam dan lebih baik menjadi pendengar, karena jika teman saya yang satu ini bercerita, sungguh sangat disayangkan jika ada satu kisah terlewati. Dia selalu bersemangat untuk menceritakan kisahnya.
“Sudahlah Put, jangan bercita-cita terlalu tinggi, nanti gila. Kalau gila, siapa yang akan mengurusmu?” Putra menirukan ucapan pamannya yang dilontarkan kepadanya. Bukan hanya paman dan beberapa keluarga yang meragukan dia, teman-temannya pun menganggap dia sungguh rendah.
“Hey teman-teman, kalau kalian ingin melihat teman kita gila setelah selesai kuliah nanti, si Putra inilah orangnya!” teriak seorang teman di depan beberapa teman kelas. “Ijazah Paket C kok mau ke Amerika! Ada-ada saja!” timpal seorang teman Putra yang lainnya. Saya tetap menyimak dengan khidmat apa yang diceritakan oleh teman saya ini yang memang tidak lulus ujian nasional ketika SMA. Lalu dia mengambil paket C.
“Jika mereka ragu dengan impianku, itu wajar. Siapa pula yang percaya dengan impian seorang berandal yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional? Seorang bocah tengik yang menghabiskan waktu 3 tahun di bangku Sekolah Menengah Atas hanya untuk bermain-main seperi anak TK? Tragedi tidak lulus UAN itu merupakan sebuah tamparan keras tepat di wajahku! Tapi, untung saja, aku memilih tidak bunuh diri ketika tahu bahwa aku tidak lulus UAN,” diam sesaat. Sambil sesekali menengguk teh hangat.
“Lalu aku mencoba untuk bersabar dan meresapi semua dosaku kepada orang tuaku selama 3 tahun menjalani sekolah jauh dari mereka. Mereka yang pontang-panting menyadap pohon karet di kampung untuk menyekolahkanku, tapi dengan sebegitu bodohnya aku khianati begitu keji,” Putra mengenang masalalunya. Menyesal.
“Untuk mengobati luka hati mereka, aku terpaksa anggukkan kepala ketika Ayah menganjurkanku untuk kuliah yang berbau Bahasa Inggris. Jurusan yang satu ini adalah tragedi, mengingat aku tidak memiliki kemampuan dalam bahasa inggris,”
Meski Putra keberatan untuk mengikuti keinginan ayahnya, dia harus melakukan itu untuk membayar dosanya ketika tidak lulus UAN. Satu hal yang dia yakini, Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain” Ridho orang tua adalah ridhonya Allah.
Putra cerita, ketika hari pertama masuk kuliah, semua teman-temannya mengenalkan diri menggunakan Bahasa Inggris. Namun karena dia sama sekali tidak bisa, terpaksa dia memakai Bahasa Indonesia. Hari itu menjadi hari yang sangat memalukan baginya. Sejak saat itu, dia berpikir keras bagaimana caranya agar dia bisa sejajar dengan teman-temannya.
“Setelah berpikir panjang memilah dan memilih akhirnya aku menemukan caranya. Aku set sebuah impian gila, yaitu belajar di negeri Pak Obama, Amerika Serikat!” Impian inilah yang membuat teman-teman bahkan keluarganya menganggap Putra sudah gila dan menyangsikan kemampuannya. Semakin dicibir, semakin panas api di dalam dadanya membakar seluruh semangat jiwa dan raga. Putra belajar sungguh-sungguh untuk membuktikan bahwa impian itu bukan isapan jempol belaka. Meskipun sempat terlintas dibenaknya, “Bagaimana caranya saya bisa ke Amerika? Apakah saya ini memang sudah gila?” Namun dengan cepat dia buang jauh-jauh pikiran itu. Dia kembali memupuk tekad sekuat mungkin.
Benar apa yang sering orang katakan, jangan pernah meragukan sebuah impian. Dengan bermimpi, maka kita masih memiliki harapan untuk dapat menaklukan rintangan yang menghalangi cita-cita. Tekad Putra untuk dapat belajar Bahasa Ingris langsung di Amerika masih membara. Dia bertekad membayar hutang air mata orang tuanya di masa silam.
“Saat sebagian besar teman sekelas kursus Bahasa Inggris dengan salah satu dosenku, aku terpaksa mengurungkan niat untuk bergabung karena ketiadaan biaya, aku memiliki cara sendiri dengan pergi ke toko buku loak untuk membeli sebuah majalah Bahasa Inggris bekas. Setiap hari kuterjemahkan majalah tersebut lembar demi lembar. Alhasil, walaupun tidak ikut kursus dengan dosen tersebut, aku berhasil mendapat nilai A di mata kuliah Vocabulary Building yang di ajarkannya. Hal ini bermakna sangat spesial mengingat beberapa teman yang ikut kursus mendapatkan nilai di bawah nilaiku.”
Impian gila itu membawa banyak berkah bagi Putra. Semangat super dahsyat yang dihasilkannya akhirnya berbuah manis juga. Putra berhasil juara 3 dan juara 1 dalam debat Bahasa Inggris di kampus sebelum mewakili kampusnya ke pentas debat nasional. Bukan hanya itu, yang paling istimewa adalah impiannya ke Amerika yang selama ini dianggap khayalan tingkat tinggi oleh teman-teman dan keluarganya, pada akhirnya dapat terwujud!
“Dari yang aku alami, jangan pernah sekali-kali meremehkan sebuah impian! Sekalipun orang sekitar menganggap mimpi kita itu gila!” Putra semangat berapi-api menceritakan kisahnya.
Tiada dia sangka, dia akhirnya mendapatkan beasiswa ke Amerika melalui program IELSP dari IIEF. Sungguh, saat menerima pengumuman itu tiada kata yang dapat menggambarkan perasaannya. Terlebih, ketika saat menjelang keberangkatannya ke Amerika. Betapa haru bercampur bahagianya hari itu bagi Putra, menyaksikan senyum kebanggaan yang tak henti-hentinya terukir di kedua bibir Ayah dan Ibunya.
“Panggilan petugas bandara untuk segera memasuki pesawat akhirnya memisahkan aku dengan kedua orang tua. Terlihat jelas olehku deraian air mata bahagia mengalir deras di pipi Ibuku tercinta sewaktu kulambaikan tanganku berjalan memasuki pesawat, yang akan membawaku terbang ke negri impianku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H