Mohon tunggu...
Nurwidya Astuti
Nurwidya Astuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi jurusan Perbankan Syariah di Universitas Muhammadiyah Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Pemikiran Yusuf Qardawi tentang Tafsir Bunga Bank dalam Ekonomi Islam

20 Juni 2023   19:42 Diperbarui: 20 Juni 2023   19:50 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Dalam sistem ekonomi, bank merupakan intermediasi yang tidak dapat dipisahkan. Penambahan bunga merupakan ciri yang paling utama dari bank tersebut, bagi umat Muslim khususnya masyarakat Indonesia sekarang ini sudah sangat terbiasa hidup dengan sistem bunga dan kadar ketergantungan masyarakat terhadap jasa-jasa bank, begitu juga tidak ada bedanya dengan umat-umat lainnya tanpa ada perasaan risih bahwa hal tersebut adalah suatu kekeliruan meski dengan dalih keterpaksaan atau darurat.

           Esensi dasar pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari adanya ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat, yang seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Permasalahan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram maupun halal tidak terlepas dari pandangan pemikiran Ulama Kontemporer Yusuf Al-Qardhawi.

           Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk mengupas salah satu tokoh cendekiawan muslim dunia ini dalam sisi pemikiran dan aksi nyatanya terhadap umat dalam perkembangan ekonomi islam yang berfokus pada pembahasan Tafsir Bunga Bank.

Yusuf Qardhawi

           Yusuf Qardhawi lahir di desa Shafat Thurab, Mesir bagian Barat, pada tanggal 9 September 1926. Sebagai orang yang berasal dari keluarga yang taat beragama juga terdidik. Yusuf Qardhawi tumbuh sebagai muslim taat yang cerdas dan terdidik pula. Adapun riwayat pendidikannya bermula pada sekolah dasar bernaung di bawah lingkungan departemen pendidikan dan pengajaran Mesir, sekolah dasar alIlzamiyah yang berada di bawah Departemen Pendidikan Mesir, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah umum di Thantha dengan biaya pas-pas an dan berakhir di Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits di Universitas al-Azhar Kairo Mesir sebagai Doktor dengan mencapai predikat terbaik. Dia juga menulis disertasi dengan judul “al-Zakat fi al-Islam”.

           Riwayat karir dan jabatan Sjafruddin sangat banyak diantaranya sebagai dosen senior di jurusan akidah filsafat, dia diangkat menjadi imam mesjid dan mengajar serta berceramah. Bersama ‘Abd al-Muis ‘Abd al-Sattar, ia mendirikan sekolah ma’had al-diniy. Sekolah inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya fakultas syari’ah Qathar yang didirikannya bersama Dr. Ibrahim Kadhim yang kemudian berkembang menjadi universitas Qathar dengan berbagai fakultas. Pada tahun 1977 al-Qaradhawi duduk sebagai dekan fakultas syari’ah. Kemudian dia diangkat menjadi direktur Pusat Kajian Sunnah dan Sejarah Nabi di Universitas tersebut sampai sekarang.

           Seiring dengan perkembangan akademiknya, perhatian Yusuf Qardhawi terhadap kondisi umat Islam juga meningkat pesat. Qardhawi termasuk pengarang yang produktif. Telah banyak karya ilmiah yang dihasilkannya baik berupa buku, artikel maupun hasil penelitian yang tersebar luas di dunia Islam diantaranya Fatawa Mu’ashirah, Al-Khashaish al-Ammah li Al-Islam, Fii Fiqhil-Auliyyaat Diraasah Jadiidah Fii Dhau’il-Qur’ani was-Sunnati, dan masih banyak lagi.

Tafsir Bunga Bank

            Qardhawi adalah seorang tokoh pemikir Islam dengan banyak menghasilkan karya. Di dalam salah satu mukadimah bukunya, Bunga Bank Haram, Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa pada dasarnya permasalahan seputar riba, adalah sebuah permasalahan yang sudah tuntas pembahasannya semenjak seperempat abad yang lalu, hal itu dia utarakan, ketika mengisi sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Forum Ekonomi Islam di Hotel Safeer Dokki – Cairo, Mesir.

            Sebab menurutnya, Islam secara tegas telah mengharamkan riba dan secara keras melarangnya. Pengharaman dan pelarangan itu, berdasarkan hukum dari nash-nash yang pasti (qath’i) di dalam Al-Qur’an dan hadits, yang tidak bisa lagi di utak-atik ataupun ditafsirkan sembarangan, meskipun berdalih ijtihad dan pembaruan. Karena dalam pakem fiqih dinyatakan bahwa tidak ada peluang ijtihad mengenai masalah yang sudah pasti (qath’i tsubut wa dilalah), sebagaimana secara konsensus pakem ini dianut umat islam, ulama salaf (generasi terdahulu), dan ulama khalaf (generasi belakangan).

            Yusuf Qardhawi mengatakan, bahwa pada dasarnya Islam dalam menyikapi (menghukumi) masalah riba ini, tidak berbeda jauh dengan sikap yang diperlihatkan oleh agama-agama samawi lainnya. Pada agama Yahudi misalnya, terdapat aturan yang jelas mengenai hal ini, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika temanmu meminta pinjaman, maka penuhilah (berikanlah), janganlah menuntut darinya keuntungan juga manfaat” (Eksodus, ayat 24 bab 22). Juga dalam agama Kristen, sebagaimana terdapat dalam kitab Injil Lukas, “Berbuat baiklah, dan pinjamkanlah dan janganlah kalian menunggu untuk (mengambil) pembayarannya, sehingga (itu) menjadi pahala yang banyak bagi kalian” (Lukas, ayat 24-25 bab 6).

           Namun disayangkan, telah terjadi penyelewengan dalam penafsiran isi dari kitab Perjanjian Lama, yang menjadikan kata “temanmu” sebagai sebuah pengkhususan, yang hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi, dan kemudian dijelaskan dalam kitab Ulangan “Bagi orang-orang asing engkau boleh meminjamkan dengan riba, tetapi bagi saudaramu (sesama Yahudi) janganlah engkau pinjamkan dengan riba”, (Ulangan, ayat 23 bab 19).

            Islam, telah melarang setiap jalan yang dapat menimbulkan perkembangan harta melalui jalan riba, sebab Islam telah mengharamkan riba, baik itu sedikit atau pun banyak, dan begitulah pula yang telah dikecam oleh Al-Qur’an terhadap orang-orang Yahudi yang masih saja mengambil riba, padahal mereka telah dilarang untuk itu. Hal ini sebagaimana telah kita temukan dalam beberapa ayat dari surat Al-Baqarah (2): 275-281.

           Lebih lanjut, menurut pandangannya, elemen “al-ma’rifah” (the definite article) dalam kata “al-ribā” baik sebagai lil ‘ahdi (keterangan yang menunjukkan kelaziman), atau sebagai lil jinsi (keterangan yang menunjukkan jenis tertentu) ataupun sebagai lil istighraq (keterangan yang menunjukkan keumuman), maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, niscaya Allah akan menerangkan kepada mereka. Sedangkan ayat ini tidak lagi mendefinisikan kata riba, mengingat sudah lazim dikenal secara umum. Padahal penjelasan yang datang lebih akhir dari waktu yang dibutuhkan, tidak dibolehkan dalam kaidah hukum Islam, sehingga dengan demikian, riba yang dimaksud tidak memerlukan penjelasan lebih jauh.

           Yusuf Qardhawi melihat ungkapan berlipat ganda adh’afan mudhaafatan bukanlah sebagai syarat dari pelarangan riba. Sebagaimana diketahui, bagi orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, dan memahami retorikanya (uslūb, bentuk pluralnya asālib), mengetahui bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus kecaman terhadapnya. Mereka telah sampai pada tingkatan ini, dengan mempraktikkan riba yang berlipat ganda.

           Pada intinya, Yusuf Qardhawi ingin mengatakan bahwa aspek pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh sebagian orang terhadap riba yang berlipat ganda saja, sebab itu semua hanya merupakan gaya bahasa dari al-Qur’an dalam menggambarkan betapa riba pada masa jahiliyah telah begitu buruknya, hingga mencapai bentuk yang berlipat ganda. Maka baginya, pernyataan berlipat ganda ini bukanlah sesuatu yang penting dalam konteks pelarangan riba, sebab telah jelas bahwa yang riba yang dilarang dalam al Qur’an adalah setiap penambahan yang terdapat dalam peminjaman, baik itu besar atau kecil yang telah ditentukan terlebih dahulu sebelumnya.

Kesimpulan

            Menurut Yusuf Qardhawi, bunga bank sama dengan riba yang dilarang dalam Islam, karena berpijak pada statemen bahwa setiap penambahan dalam transaksi pinjaman adalah dilarang. Yusuf Qardhawi cenderung menggunakan illat melihat dari aspek formalnya, atau apa yang ada dalam dzahir ayat sebagai landasan analoginya. Yusuf Qardhawi lebih melihat kemudharatan pinjaman berbunga dari segi mikro ekonomi, hal itu terlihat dari pemaparannya mengenai kemudharatan-kemudharatan pinjaman berbunga yang lebih mengarah kepada individual orangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun