Namun disayangkan, telah terjadi penyelewengan dalam penafsiran isi dari kitab Perjanjian Lama, yang menjadikan kata “temanmu” sebagai sebuah pengkhususan, yang hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi, dan kemudian dijelaskan dalam kitab Ulangan “Bagi orang-orang asing engkau boleh meminjamkan dengan riba, tetapi bagi saudaramu (sesama Yahudi) janganlah engkau pinjamkan dengan riba”, (Ulangan, ayat 23 bab 19).
Islam, telah melarang setiap jalan yang dapat menimbulkan perkembangan harta melalui jalan riba, sebab Islam telah mengharamkan riba, baik itu sedikit atau pun banyak, dan begitulah pula yang telah dikecam oleh Al-Qur’an terhadap orang-orang Yahudi yang masih saja mengambil riba, padahal mereka telah dilarang untuk itu. Hal ini sebagaimana telah kita temukan dalam beberapa ayat dari surat Al-Baqarah (2): 275-281.
Lebih lanjut, menurut pandangannya, elemen “al-ma’rifah” (the definite article) dalam kata “al-ribā” baik sebagai lil ‘ahdi (keterangan yang menunjukkan kelaziman), atau sebagai lil jinsi (keterangan yang menunjukkan jenis tertentu) ataupun sebagai lil istighraq (keterangan yang menunjukkan keumuman), maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, niscaya Allah akan menerangkan kepada mereka. Sedangkan ayat ini tidak lagi mendefinisikan kata riba, mengingat sudah lazim dikenal secara umum. Padahal penjelasan yang datang lebih akhir dari waktu yang dibutuhkan, tidak dibolehkan dalam kaidah hukum Islam, sehingga dengan demikian, riba yang dimaksud tidak memerlukan penjelasan lebih jauh.
Yusuf Qardhawi melihat ungkapan berlipat ganda adh’afan mudhaafatan bukanlah sebagai syarat dari pelarangan riba. Sebagaimana diketahui, bagi orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, dan memahami retorikanya (uslūb, bentuk pluralnya asālib), mengetahui bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus kecaman terhadapnya. Mereka telah sampai pada tingkatan ini, dengan mempraktikkan riba yang berlipat ganda.
Pada intinya, Yusuf Qardhawi ingin mengatakan bahwa aspek pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh sebagian orang terhadap riba yang berlipat ganda saja, sebab itu semua hanya merupakan gaya bahasa dari al-Qur’an dalam menggambarkan betapa riba pada masa jahiliyah telah begitu buruknya, hingga mencapai bentuk yang berlipat ganda. Maka baginya, pernyataan berlipat ganda ini bukanlah sesuatu yang penting dalam konteks pelarangan riba, sebab telah jelas bahwa yang riba yang dilarang dalam al Qur’an adalah setiap penambahan yang terdapat dalam peminjaman, baik itu besar atau kecil yang telah ditentukan terlebih dahulu sebelumnya.
Kesimpulan
Menurut Yusuf Qardhawi, bunga bank sama dengan riba yang dilarang dalam Islam, karena berpijak pada statemen bahwa setiap penambahan dalam transaksi pinjaman adalah dilarang. Yusuf Qardhawi cenderung menggunakan illat melihat dari aspek formalnya, atau apa yang ada dalam dzahir ayat sebagai landasan analoginya. Yusuf Qardhawi lebih melihat kemudharatan pinjaman berbunga dari segi mikro ekonomi, hal itu terlihat dari pemaparannya mengenai kemudharatan-kemudharatan pinjaman berbunga yang lebih mengarah kepada individual orangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H