Dalam sistem ekonomi, bank merupakan intermediasi yang tidak dapat dipisahkan. Penambahan bunga merupakan ciri yang paling utama dari bank tersebut, bagi umat Muslim khususnya masyarakat Indonesia sekarang ini sudah sangat terbiasa hidup dengan sistem bunga dan kadar ketergantungan masyarakat terhadap jasa-jasa bank, begitu juga tidak ada bedanya dengan umat-umat lainnya tanpa ada perasaan risih bahwa hal tersebut adalah suatu kekeliruan meski dengan dalih keterpaksaan atau darurat.
Esensi dasar pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari adanya ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat, yang seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Permasalahan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram maupun halal tidak terlepas dari pandangan pemikiran Ulama Kontemporer Yusuf Al-Qardhawi.
Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk mengupas salah satu tokoh cendekiawan muslim dunia ini dalam sisi pemikiran dan aksi nyatanya terhadap umat dalam perkembangan ekonomi islam yang berfokus pada pembahasan Tafsir Bunga Bank.
Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi lahir di desa Shafat Thurab, Mesir bagian Barat, pada tanggal 9 September 1926. Sebagai orang yang berasal dari keluarga yang taat beragama juga terdidik. Yusuf Qardhawi tumbuh sebagai muslim taat yang cerdas dan terdidik pula. Adapun riwayat pendidikannya bermula pada sekolah dasar bernaung di bawah lingkungan departemen pendidikan dan pengajaran Mesir, sekolah dasar alIlzamiyah yang berada di bawah Departemen Pendidikan Mesir, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah umum di Thantha dengan biaya pas-pas an dan berakhir di Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits di Universitas al-Azhar Kairo Mesir sebagai Doktor dengan mencapai predikat terbaik. Dia juga menulis disertasi dengan judul “al-Zakat fi al-Islam”.
Riwayat karir dan jabatan Sjafruddin sangat banyak diantaranya sebagai dosen senior di jurusan akidah filsafat, dia diangkat menjadi imam mesjid dan mengajar serta berceramah. Bersama ‘Abd al-Muis ‘Abd al-Sattar, ia mendirikan sekolah ma’had al-diniy. Sekolah inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya fakultas syari’ah Qathar yang didirikannya bersama Dr. Ibrahim Kadhim yang kemudian berkembang menjadi universitas Qathar dengan berbagai fakultas. Pada tahun 1977 al-Qaradhawi duduk sebagai dekan fakultas syari’ah. Kemudian dia diangkat menjadi direktur Pusat Kajian Sunnah dan Sejarah Nabi di Universitas tersebut sampai sekarang.
Seiring dengan perkembangan akademiknya, perhatian Yusuf Qardhawi terhadap kondisi umat Islam juga meningkat pesat. Qardhawi termasuk pengarang yang produktif. Telah banyak karya ilmiah yang dihasilkannya baik berupa buku, artikel maupun hasil penelitian yang tersebar luas di dunia Islam diantaranya Fatawa Mu’ashirah, Al-Khashaish al-Ammah li Al-Islam, Fii Fiqhil-Auliyyaat Diraasah Jadiidah Fii Dhau’il-Qur’ani was-Sunnati, dan masih banyak lagi.
Tafsir Bunga Bank
Qardhawi adalah seorang tokoh pemikir Islam dengan banyak menghasilkan karya. Di dalam salah satu mukadimah bukunya, Bunga Bank Haram, Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa pada dasarnya permasalahan seputar riba, adalah sebuah permasalahan yang sudah tuntas pembahasannya semenjak seperempat abad yang lalu, hal itu dia utarakan, ketika mengisi sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Forum Ekonomi Islam di Hotel Safeer Dokki – Cairo, Mesir.
Sebab menurutnya, Islam secara tegas telah mengharamkan riba dan secara keras melarangnya. Pengharaman dan pelarangan itu, berdasarkan hukum dari nash-nash yang pasti (qath’i) di dalam Al-Qur’an dan hadits, yang tidak bisa lagi di utak-atik ataupun ditafsirkan sembarangan, meskipun berdalih ijtihad dan pembaruan. Karena dalam pakem fiqih dinyatakan bahwa tidak ada peluang ijtihad mengenai masalah yang sudah pasti (qath’i tsubut wa dilalah), sebagaimana secara konsensus pakem ini dianut umat islam, ulama salaf (generasi terdahulu), dan ulama khalaf (generasi belakangan).
Yusuf Qardhawi mengatakan, bahwa pada dasarnya Islam dalam menyikapi (menghukumi) masalah riba ini, tidak berbeda jauh dengan sikap yang diperlihatkan oleh agama-agama samawi lainnya. Pada agama Yahudi misalnya, terdapat aturan yang jelas mengenai hal ini, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika temanmu meminta pinjaman, maka penuhilah (berikanlah), janganlah menuntut darinya keuntungan juga manfaat” (Eksodus, ayat 24 bab 22). Juga dalam agama Kristen, sebagaimana terdapat dalam kitab Injil Lukas, “Berbuat baiklah, dan pinjamkanlah dan janganlah kalian menunggu untuk (mengambil) pembayarannya, sehingga (itu) menjadi pahala yang banyak bagi kalian” (Lukas, ayat 24-25 bab 6).