“Arigato gozaimasu, mata ashita” sembari membungkuk berkatalah sangdosen yang memang berdarah Jepang tersebut kepada puluhan mahasiswanya. Begitu juga warga satu kelas juga menimpali salam yang sama.
Siang ini aku bisa bernafas lega karena dosen yang mengampu mata kuliah untuk jam selanjutnya berhalangan masuk. Setidaknya ku jadikan ini sebagai saat yang ampuh untuk melepas penat dan mengendorkan saraf – saraf yang lama tegang. Akhir – akhir ini semakin bertambah banyak saja hafalan serta budaya Jepang yang harus berada diluar kepala. Mulai dari huruf katakana sampai hiragana yang menjadi target hafalan pertemuan selanjutnya.Menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa dari perusahaan besar memanglah tidak mudah. Selain harus bersaing dengan ribuan peserta, disaat lolospun kita akan selalu terbayang uang beasiswa yang setiap kenaikan semester bisa saja melayang jika nilai yang diperoleh tidak memenuhi kriteria dalam perjanjian awal. Dalam urusan pekerjaanpun kita dituntut untuk masa pengabdian pada perusahaan terkait. Aku termasuk salah satu mahasiswa yang beruntung bisa mendapat beasiswa dari perusahaan asing, tepatnya saham warga Jepang. Banyak yang mengatakan aku bisa mendapat beasiswa tersebut hanya karena aku mengambil jurusan sastra Jepang. Entahlah, toh aku mengikuti seleksi yang sama dengan ribuan peserta dari berbagai jurusan. Bukan hanya aku yang mengambil jurusan sastra Jepang. Disalah satu universitas terkemuka di Jogja inilah aku berusaha meraih mimpiku melanjutkan pendidikanku. Dari segi ekonomi tentu saja orang tuaku tak mampu membayar biaya pendidikanku. Tapi inilah yang dinamakan “dimana ada kemauan disitu ada jalan”. Aku tumbuh dalam keluarga yang amat patuh akan tradisi. Kedua orang tuaku sangat menjunjung tinggi apa itu kearifan budaya kami. Sampai dalam hal berpakaianpun ibuku masih mengenakan kebaya layaknya wanita Jawa jaman keraton dulu. Tapi inilah yang membuatku terinspirasi akan segala kebudayaan yang hidup disekitarku. Kadang kala, aku juga memakai blankon ke kampus. Awalnya banyak tatapan sinis ataupun ekspresi menahan tawa dari warga kampus. Dan yang membuatku heran mereka yang berlaku demikian adalah warga asli Indonesia. Bahkan aku pernah diteriaki “alien ketinggalan jaman” oleh mereka putra bangsa yang bergaya kebarat – baratan demi pencitraan keren dari warga kampus. Justru banyak mahasiswa asing yang mendekatiku entah untuk bertanya apa nama benda yang kupakai dikepalaku ataupun sekedar ingin berfoto denganku, tepatnya dengan blankon yang singgah dikepalaku.
Karena blankon juga aku dekat dengan mahasiswi asli Jepang yang mengambil jurusan sastra Indonesia. Kebetulan fakultas sastra saling berjejer dari sastra Cina, Indonesia, lalu tibalah fakultas yang ku huni yaitu sastra Jepang. Disaat istirahat ataupun kelas yang kosong, aku sering duduk dengan wanita Jepang ku juluki sakura. Nama aslinya aku lupa, tepatnya tak bisa mengucap dengan aksen Jepang. Ketika tersenyum lesung pipinya nampak dipipinya yang merah merona karena panasnya Jogja. Benar – benar manis dan cantik tentunya. Jepit rambut berbentuk pita yang selalu menyembul diatas rambut hitam berponi itu membuatnya sekilas lewat dipikiranku. Kami selalu bertukar pikiran mengenai budaya kami masing – masing. Aku selalu antusias saat menceritakan betapa arifnya budaya negeri ini, tepatnya budaya masyarakat Jawa. Sakura juga selalu membesarkan bola matanya seolah menjelajahi setiap cerita yang kusampaikan. Ia sangat kagum dengan budaya Jawa yang kuceritakan, ia juga menambahi mungkin karena tradisi jugalah yang membuatpria Jawa nampak lebih sopan. Aku agak tersipu saat ia berkata demikian. Ada rasa bangga saat wanita itu memintaku menjadi cermin untuk melihat sendiri inspirasi tradisi, budaya ,serta kearifan didalamnya. Wanita asing memang begitu terbuka akan segala hal. Beda dengan wanita Jawa yang biasanya akan sangat tertutup pada lawan jenis.
Untuk sekedar bertutur katapun wanita Jawa jauh lebih halus serta merendahkan intonasi suara mereka. Karena hal inilah yang kadang membuatku kaget saat sakuraberbicara bahasa Indonesiatanpa meninggalkan aksen Jepangnya yang berintonasi rendah lalu diakhir kalimat meninggi seperti membentak.
Suatu hari, ku ajak sakura melihat pagelaran tari tradisioanal khas Indonesia. Ku kenalkan nama serta asal mula tarian yang saling bergantian mengisi kekosongan panggung pagelaran. Dari puluhan tari tradisioanal ia sangat antusias pada tari pendet dari Bali dan tari saman dari Aceh. Kutanyakan mengapa ia tak tertarik untuk bertanya satu saja mengenai tarian dari Jawa.
“wanita Jawa itu menari begitu pelan hingga membuatku mengantuk saat melihatnya” jawabnya sembari menatap kearahku. Ternyata ia kurang begitu tertarik akan kebudayaan Jawa. Ada rasa kecewa dalam hatiku. Inikah yang dinamakan sense of belonging? Karena rasa memiliki yang membuatku mencintai tradisi Jawa sehingga aku juga merasa kecewa saat ada seorang wanita yang tak tertarik pada apa yang kucintai. Dalam perjalanan pulang ku ceritakan tokoh pewayangan yang ia minta yaitu arjuna.
“Arjuna adalah tokoh dalam wiracarita Mahabarata,ia dikenal sebagai sang pandawa yang berparas menawan serta lembut budi pekertinya.ia putra prabu Pandudewata raja di Hastina pura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita. Arjuna merupakan teman dekat Kresna yaitu awatara (penjelmaan) batara Wisnu yang turun kebumi demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Dalam bahasa sanskerta secara harfiah Arjuna berarti bersinar terang, putih, bersih. Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci dari yang mulia Kresna yang terkenal sebagai Baghawadgita atau nyanyian dewata. Dinusantara, tokoh Arjuna sudah dikenal sejak dahulu. Arjuna populer di tanah Jawa, Bali, Madura dan Lombok. Arjuna merupakan seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Arjuna memiliki sifat cerdik, pandai, teliti, sopan santun, berani, dan melindungi yang lemah. Ia memimpin kadipaten Madukara, dalam wilayah Amarta. Setelah perang Bhatarayudha, arjuna menjadi raja di negara Banakeling,bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan moksa atau dalam jawa diartikan mati sempurna bersama keempat saudaranya yang lain di gunungHimalaya. Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri ataupun kekasihmeski mampu melakukan tapa yang paling berat. Tahukah kau sakura, siapakah nama darisalah satu istri kesatria Arjuna ?” Ku tengok wajahnya sembari tersenyum sebagai pertandaberakhirnya cerita. Lalu ku ajukan pertanyaan layaknya sang dosen diakhir kuliah yang berusaha memberikan feed back pada mahasiswanya.
Sakura hanya tersipu sembari menggeleng sebagai pertanda tak bisa menjawab pertanyaanku.
“sungguh menarik hati cerita Arjuna, ingin sekali aku mengenal sosok arjuna seperti dalam pewayangan yang kau ceritakan. Maukah kau menjadi Arjuna untukku?” sakura sembari membungkuk layaknya orang Jepang yang memohon.
Aku sendiri bingungmenjawabnya. Aku masih mencari maksud dari kata – katanya tadi. Ada rasa aneh yang hatiku terjemahkan. Mungkinkah dalam arti kejawen, wanita yang kini membungkuk didepanku baru saja mengatakan cinta? Atau sekedar bergurau ? ataukah hanya bentuk ketertarikannya akan pewayangan. Aku bertengkar dengan hatiku sendiri didalam alam sadarku. Secepat mungkin ku mencoba mencari lalu merangkai kata menjadi kalimat yang tidak mengandung unsur subjektif. Tujuh puluh persen ku menerka jika sakura tidak sekedar menggodaku. Dari mata kuliah budaya Jepang yang pernah ku pelajari. Wanita Jepang memang sangat terbuka akan perasaannya, jadi bukan hal yang aneh jika wanita Jepang mengutarakan perasaannya terlebih dahulu. Tapi masih ada tiga puluh persen rasa raguku jika ia benar – benar mengatakan cinta. Akhirnya ku ambil persepsi keduaku saja, toh jika anggapanku salah aku tidak akan terlihatnaif didepannya.
“emm.., bagaimana ya?” jawabku sembari melirik menggodanya. Kulihat bibir mungilnya itu maju beberapa senti kedepan. Betapa menggemaskan wajahnya saat ini.
“baiklah, aku akan menjawab jika kau mau mencari tahu seperti apa tokoh Srikandi untukku. Dan asal kau tahu saja, Srikandi adalah salah satu nama istri sang Arjuna” jawabanku yang memunculkan senyum indah tanpa melewatkan lesung pipitnya itu. Entah kenapa aku bisa merasakan hatiku berdesir dengan hangat saat ku tatap senyuman itu.Mungkinkah aku jatuh hati pada wanita Jepang yang selalu menjelajahi kebudayaan negeri ini lewat untaian – untaian ceritaku?
Tak terasa aku sudah menginjak semester akhir dan kini melewati masa – masa yang paling mendebarkan bagi mahasiswa. Apalagi jika bukan masalah skripsi. Belum juga dinobatkan sebagai alumni universitas terkemuka, aku sudah mendapat mandat dari perusahaan yang memberikanku beasiswa untuk magang diperusahaan mereka. Walaupun masih magang ditambah lagi aku ditempatkan di perusahaan cabang di ibu kota. Bukan masalah yang berarti bagiku, toh jika kinerjaku bagus bukan tidak mungkin jika aku diangkat menjadi karyawan tetap dan dimutasi ke perusahaan pusat di Tokyo. Menjadi mahasiswa akhir memanglah tidak mudah, entah berapa kali ku naik turun tangga di fakultas seberang demi mendapat torehan tanda tangan dari dosen pembimbing. Aku termasuk cepat untuk proses menjelang wisuda jika dibanding teman – temanku yang lain. Pernah ku dengar kabar juga bahwa dekan kampus pernah didatangi perusahaan pemberibeasiswa yang konon katanya meminta agar seluruh mahasiswa yang mendapat beasiswa tersebut dimudahkan proses wisudanya secepat mungkin. Katanya agar bisa turut berkontribusi dalam memajukan perusahaan yang sedang mengalami kekosongan karyawan. Dengan salam tempel tentu saja kebijakan bisa melembut. Tapi entahlah itu baru kabar angin yang belum jelas asal – usul serta kebenarannya. Rasanya tak adil jika aku memberikan vonis tanpa mengetahui duduk perkara sebenarnya. Semua itu hanya refleksi dari rasa ketidakpercayaan yang menjamur dalam pendangan masyarakat. Bukan tanpa sebab pastinya, stasion televisi mana yang tak gencar memberitakan kasus korupsi serta wajah – wajah pencari kebenaran di negeri ini? Ah.. sudah menjadi rahasia umum, tepatnya bahan cacian warga terhadap kinerja aparatur pemerintah.
“hei ohayo gozaimasu? aku ingin menagih janjimu pagi ini” kata sakura yang mencoba mengagetkanku dengan menepuk pundakku dari belakang. Sementara aku masih berkutat menyelesaikan tugas sebagaikaryawan magang melalui media internet atau lebih tepatnya kerja online. Hanya sekedar menginput data dari nasabah yang setiap akhir pekan sudah harus ku kirimkan ke kantor cabang di ibu kota.
Sri
Yah nama terakhir itulah yang ku masukan sebagai nasabah terakhir. Rasanya aneh dengan kebetulan ini. Nama terahir yang juga nama salah satu istri Arjuna. Hanya saja, kurang beberapahuruf saja untuk menjelma menjadi srikandi.Setelah kurasakan kewajibanku berakhir aku menoleh ke wajahnya yang kini berjarak beberapa senti saja dari wajahku.
Aku mendekatkan kedua alisku ketengah lalu timbullah guratan di keningku sebagai ganti dari ketidak mengertianku akan pertanyaannya. Untuk memperjelas, lalu kuangkat kedua bahuku keatas tanda tak faham akan pertanyaannya. Ia tampak mengernyit. Entah itu kecewa atau sekedar ekspresi lucunya seperti biasa.
“3 tahun yang lalu kamu belum menjawab apakah kau mau menjadi Arjuna bagiku?” katanya sembari menunduk penuh senyum simpul yang mengembang dipermukaan wajahnya yang kini tertunduk tersipu malu. Ku dengar bahasa indonesianya jauh lebih nyaring dibanding cara bicaranya yang dulu. Suaranya juga jauh lebih lembut hampir mirip seperti perempuan Jawa. Mungkinkah aku akan menjadi Soekarno yang hatinya terjatuh pada wanita Jepang? Mungkinkah itu?
“wah kamu makin pintar aja ngomongnya, lebih terdengar halus di telinga serta terasa lembut dihatiku.”jawabku sambari tersenyum menggodanya. Dan bertambah merahlah aura pipinya itu. Duh Gusti.. dengan segala kuasa Mu menciptakan makhluk seindah dia. Masih dalam wajah yang menunduk ia menimpali dengan cubitan mesra di lenganku. Agak sakit hingga membuatku meringis.
“dasar gombal, baiklah aku akan menceritakan tokoh Srikandi yang kau jadikan syarat untuk menjawabpermohonanku dulu. Tapi setelah aku selesaibercerita, kau harus menjawabnya ya?”
“tentu saja, memang begitu perjanjiannya bukan?” jawabku padanya dalam matahari pagi yang hanya mengintip dalam teduhnya awan
“baiklah, Srikandi adalah nama dari salah satu istri kesatria Arjuna. Ia lahir dari keinginan kedua orang tuanya, yaitu prabu Drupada dan Dewi Gandawati yang menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya dewi Drupadi dan Drestadyumna dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna. Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam memanah. Kepandaiannya tersebut didapatkannya ketika ia berguru pada Arjuna, yang akhirnya menjadi suaminya sendiri. Dalam perkawinannya tersebut ia tidak memperoleh seorang putera. Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan ksatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bhatarayudha dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang pandawa menggantikan resi Seta ksatria Wirata yang telah gugur dalam menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma sesuai kutukan Dewi Amba, putri prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura yang dendam pada Bisma. Dalam akhir riwayat, diceritakan dewi Srikandi tewas terbunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayudha. Bukankah seperti ini kisah Dewi Srikandi dalam pewayangan Jawa? Betul tidak pria Jawa?” ledeknya diakhir cerita dengan menyebutku pria Jawa. Memanglah demikian, celotehku dalam hati.
“Sekarang katakan apakah kau bersedia menjadi Arjunaku?”pertanyaannya semakin menyelidik jauh ke dalam pupil mataku.
“mengapa tidak? Lalu maukah kau menjadi Srikandi untukku?”aku lebih tercengang darinya. Bagaimana bisa aku berujar demikian.
Kiranya kekuatan darimana hingga ku bisa berucap seberani ini pada wanita Jepang yang kini menutup separuh wajahnya dengan tangan yang dipenuhi cat kuku berwarna pelangi. Aku hanya diam sembari menerawang jauh ke dalam setiap inci wajahnya. Akan seperti apa respon yang ku terima nantinya. Syukur saja jika maksud dari memintaku menjadi arjunanya berarti kata cinta yang tersirat. Tapi bagaimana jika itu hanya ledekan semu yang terselip dalam canda tawa wanita Jepang. Sakura, maafkan aku yang tak mampu menerka apa maksud ucapan yang keluar dari segala apa yang ada dalam setiap sudut – sudut hatimu.
Sakura mengangguk....
Tuhan, apa kiranya yang harus ku lakukan jika hati ini masih terlampau bingung untuk menafsirkan ucapan – demi ucapan yang keluar ddari bibir mungilnya. Seorang dosen pernah bercerita bahwa mayoritas wanita Jepang akan mengatakan cinta terlebih dahulu pada pria yang mungkin sahabatnya sendiri. Sedangkan pria Jepang tidak akan bertanya “apakah kau mencintaiku?” pada wanita yang ia suka, kata sang dosen, pria Jepang terlalu sungkan untuk berkata cinta. Maka dari itu mereka akan lebih tertarik untuk bertanya “apakah kau menyukaiku?”. Mengapa tidak ku praktekan langsung pada wanita Jepang yang kini duduk berhadapan denganku.
“Aku .. ”
Aku terhenti saat ucapanku keluar bersama ucapannya disaat yang sama. Kami berbicara serempak.
“silahkan kamu dulu yang bicara” kataku sembari mengamalkan apa itu ladies firs dalam dunia barat.
“ah , kamu saja yang bicara duluan” jawabnya tersipu malu
“baiklah, emm.. aku ingin bertanya apakah kau menyukaiku?” aku belajar menarik lalu menahan nafas sebisanya agar tidak terlihat canggung ataupun kaku.
“tentu saja, aku bahkan tak sekedar menyukaimu justru aku menyayangimu juga”wajahnya memerah bak udang rebus yang pak dhe ku bawakan dari ibu kota. Memanglah benar jika wanita Jepang sangat terbuka akan perasaannya. Sebenarnya aku lebih suka akan segala laku perempuan Jawa, mereka begitu pantas, anggun serta luwes dalam segala hal. Tapi aku juga harus toleran akan segala perbedaan antara aku dan sakura. Mungkin semakin berjalannya waktu ia bisa sedikit demi sedikit memahami serta meniru laku wanita Jawa yang gsedari dulu ku akui keindahannya. Seperti saat aku harus terkaget – kaget saat mendengar cerita dengan aksen Jepangnya dulu. Dania faham akan ketidaknyamanku hingga ia rela mempelajari gaya bicaraku saat berbicara denganku. Barangkali ia juga akan lebih beradaptasi dengan budaya Jawa yang amat ku dalami esensinya.
Entahlah kini ku rasakandunia beserta isinya berpihak terhadapku, sedang takdir Tuhan meridhai setiap langkahku. Aku merasa kebahagiaan yang sempurna untuk saat ini. Lulus menjadi mahasiwa berprestasi dalam predikat cumclaude, mempunyai bidadari dari negerimatahari terbit yang begitu mempesona mata para lelaki yang menatapnya, dan sebuah keluargasederhana yang selalu menantiku dalam letihnya akhir hari apapun keadaannya, terlebih pekerjaaanku yang rencananya akan meningkat karena promosi atasanku. Rencananya minggu depan, sakura akan ku perkenalkan pada kedua orang tuaku. Ada kekhawatiran yang mendalam, bagaimana jika orang tuakutak merestui kehadiran wanita asing ditengah – tengah keluarga kami yang begitu kental akan citra Jawanya.
Nyatanya hal sama juga dirasakan oleh sakura. Intinya, kami terlambat mengatakan kebenaran yang harusnya orang tua kami ketahui. Kami terlambat meyakinkan bahwa perbedaan tradisi bukan penghalang puing – puing cinta yang kami bangun. Malam ini aku bak mayat hidup yang terpatri dalam peti mati. Ku berusaha setenang mungkin menghindari gerakan badan sedikitpun. Berharap dengan ini rasa ngantuk segera menyergap. Tapi nyatanya tidak. Bahkan jam sudah menunjuk angka dua belas. Angka dalam tengah malam yang terpenuhi oleh rasa khawatirku sendiri. Karena bosan, akhirnya ku menyandarkan punggung ditepianranjang sembari mengambilhandphone yang berdering tanda pesan masuk.
Sugeng ndalu J ..
Kata itu membuatku terhenyak melebarkan mata, barangkali bukan pesan dari sakura. Atau barangkali aku mengigau melihat nama yang salah dalam ucapan selamat malam menggunakan bahasa Jawa itu. Ku keluarkan lagi kontak dari pesan tersebut, kulihat lagi nomor demi nomor yang tertera pada kontak yang ternamai sakura. Berharap ku temui kesalahan nomor setelah ku yakin nama kontak tersebut benar – benar tertulis dengan huruf kapital SAKURA. Beberapa kali ku eja nama itu, tapi masi sama dengan nama yang kubaca pertama kali membuka pesan.
Jarikumulai menari di atas keypad handphoneku. Kutanyakan apakah benar ini sakura yang mengirimkan pesan. Sekedar meyakinkan bahwa wanita pujaanku yang mengirim kata terindah serta terhebat yang pernah ku baca seumur hidupku. Dia, wanita Jepang berkata dengan bahasa daerahku dengan usaha yang tak mudah pastinya. Sedangkan kekasihku dulu yang notabenenya gadis pribumi selalu mengucapkan kalimat – kalimat yang kebarat - baratan jika sedang menggodaku. Tapi dia Tuhan? Mengapa ada saja segala yang datang darinya yang membuatku semakin jatuh cinta lagi dan lagi kepadanya?
Triiiiinggg...
Bunyi pesan masuk. Secepat kilat ku tekan tombol buka dilayar handphone. Nama akunnya menunjukan bahwa pengirim pesan itu sakura. Mungkin dia membalas pesanku yang menanyakan hal konyol. Mana mungkin handphone yang dimiliki sakura tapi bukan sakura yang mengirimkan pesan. Ini mungkin efek kekagetanku akan bicaranya yang menggunakan bahasa Jawa itu. Ada rasa bangga yang mendalam saat wanita Jepang yang ku cintai itu belajar budaya serta tradisi yang kupunya. Aku saja tidak pernah mengucapkan kata ataupun kalimat romantis menggunakan bahasa asalnya. Ku lirik lagi pesan itu. Membacanya untuk kedua, tiga atau bahkan empat kali terasa tak akan jenuh untukku.
“tentu saja J”
Semakin yakinlah diri ini saat ku baca balasan darinya. Satu hal yang selalu ku amati sejak pertama saling berkirim pesan dengannya adalah icon tersenyum yang selalu mengakhiri kalimat yang ia rangkai. Rasanya tak sabar menunggu pagi. Tak sabar melihat bidadariku dari negeri yang dulu menjajahnenek moyangku. Tapi itu dulu, disaat yang telah lalu dan disaat belum ada peraturan PBB mengenai perdamaian dunia. Justru ia kini menjelma menjadi nipon yang menjajah seluruh isi hatiku.
Aku terjaga saat sang surya mengintip melalui celah jendela ruang kamarku. Rupanya aku tertidur tanpa sempat mengulurkan selimut keseluruh tubuh. Aku harus bergegas bersiap diri untuk menjemput sakura.
Hari ini akan ku perkenalkan pujaan hatiku itu pada kedua orang tuaku. Tepatnya akanku perkenalkan wanita itu sebagai makhluk terindah yang ku dekap disebelah lenganku di pelaminan nanti. Setelah segalanya ku rasa siap, aku segera mengambil kunci mobil yang perusahaan pinjamkan kepadaku.
Ia memakai gaun yang bermotif batik. Duh! Semakin bangga saja hati ini melihat segala lakunya. Padahal kemarin, ada niatan untuk menyuruhnya memakai pakaian yang tidak terlalu menonjolkan aura Jepangnya. Tapi tak enak hati aku untuk menyampaikannya. Aku hanya takut ia salah persepsi mengenai saran berpakaian dariku. Ah! Mengapa masih memikirkan hal yang sudah berlalu? Toh sekarang ia pun mengerti tanpa harus kau mengatakan hal apapun kepadanya. Berkatalah aku pada diriku didalam hati.
Ku ketuk pintu rumah bersama sakura disampingku. Bunyi derit pintu menunjukan bahwa ada yang membuka dari dalam. Kuharap itu ibuku. Karena semalam aku sempat berbicara esok pagi akan membawa seorang wanita dan akan ku perkenalkan pada ibu.
“tenanan lo le, jangan beri ibumu ini harapan seperti dulu waktu kamu mengenalkan pacarmu yang bergaya kebarat – baratan itu. Ibu ndak suka”
Masih terngiang ucapan ibuku semalam. Semakin berdebar saja hatiku menanti reaksi ibu saat mengetahui calon menantunya bukan wanita Jawa yang selalu ia elu – elukan. Sesekali ku eratkan pegangan tanganku dipundaknya. Ia pun hanya menimpaliku dengan seutas senyum. Untuk pertama kalinya juga kulihat aura kecemasan yang ia tutupi dengan senyumannya yang masih terasa manis bagiku.
“eh sudah pulang kamu le, ini siapa yang disebelahmu ini?” tanya ibuku pada saat pertama kali melihat sakura. Ia nampak memegang lengan sakura lalu dengan bahasa tubuh ibuku menuntunnya untuk masuk keruang tamu. Aku hanya mengikuti mereka dibelakang. Belum sempat juga ku menjawab pertanyaan ibuku sudah berlalu saja menggandeng sakura untuk masuk. Nampaknya ibu hanya sekedar berbasa – basi karenan beliau pasti faham betul siapa sakura bagiku lewat kalimatku yang meminta restu untuk besok.
Aku tercengang saat sakura mengulurkann tangan didepan ibuku. Dan labih mencenangkan lagi adalah saat sakura mencium tangan ibuku layaknya anggah – ungguh wanita Jawa. Aku sempat berpikir jangan – jangan nanti sakura akan menunduk saat mngucapkan salam layaknya tradisi di Jepang. Untunglah... dan ini yang membuatku menghembuskan nafas dengan lega. Saat duduk itulah ku utarakan niatan antara aku dan sakura untuk meminta restu. Ayahku muncul dari balik korden kamar depan. Aku menceritakan panjang lebar mengenai latar belakang keluarga sakura. Agaknya ayah ibuku agak menyernyitkan alissaat mengetahui wanita disamping mereka berdarah Jepang. Kemudian suasana menjadi hening. Akupun tak berani rasanya membuka percakapan saat ini. Bagaimana jika mereka marah lalu tak ridha jika calon menantunya ini bukan wanita dari Jawa.
“Ibu sama bapak sudah bicara tadi malam mengenai hal ini le, memanglah kedua orang tuamu ingin melihat kau menyunting perempuan Jawa sebagai pendampingmu kelak. Tapi misalkan hatimu lebih sreg (mantap) dengan nak jepang, yo silahkan le, kami merestui niatmu”
Aku menghembus nafas dengan segala kelegaan yang kupunya. Begitu juga sakura yang tersenyum indah kearahku. Dan mulai saat itu, aku mulai menata masa depan dengan sakura nantinya. Sering kali sakura kuajak main kerumahku. Ia belajar semakin banyak mengenai keluargaku, tepatnya mngenai tradisi serta kebudayaan Jawa.
Aku kadang berfikir jika saja aku tak terlahir didalam keluarga yang amat menghargai budaya,mungkin saja aku tumbuh seperti kawan – kawanku yang lain. Mungkin saja aku tak akan pernah memakai blankon ke kampus ataupun sekedar baju batik saat masuk kuliah. Dari blankonlah sakura melihatku unik, melihatku berbeda dari yang lain. Jika saja aku bertingkah seperti pemuda yang lain tak mungkin kiranya aku saling bertukar mengenai segala yang yang berkaitan dengan budaya dan tradisi dari negara kami masing -masing. Inilah yang ku sebut bahwa dunia akan lebih tertarik pada mereka yang mampu menghargai segala apa yang ada disekitarnya. Apalagi mengenai adat,tradisi, budaya yang merupakan cerminan masyarakat itu sendiri.Perusahaan tempat ku magang dulu, kini benar – benar mempromosikanku untuk dimutasi ke perusahaan pusat di Tokyo,Jepang. Aku rancu pada kebahagiaan yang kini menghampiri. Disisi lain ada rasa senang aku juga merasa bersalah jika harus meninggalkan keluargaku diJogja. Keluargaku justru mendorong agar aku menerima tawaran dari atasanku saja. Karena bagi mereka kesuksesanku juga akan menjadi kebahagiaan mereka juga. Tak peduli sejauh apapun aku nantinya. Terharu rasanya aku mendengar segala pernyataan ibuku. Sebelum berangkat ke Tokyo, aku dan sakura melangsungkan pernikahan kami. Ia memakai pakaian adat Jawa. Kebaya yang didesain dengan indah untuk wanita yang memang indah. Tetap saja ada siraman dan ritual lainnya. Sakura selalu mengatakan kepadaku bahwa ia ingin ku anggap sebagai wanita Jawa saja. Semua yang ia perbuat bukanlah suatu paksaan melainkan karena cinta. Karena cinta yang mempu menyatukan perbedaan dari negeri yang dijajah dan yang menjajah. Yang menyatukan bunga melati dengan bunga sakura di wadah yang bernama hati. Aku juga menghargai budayanya, untuk itu sebagai kejutan. Untuk pertama kalinya ku memakai baju adat Jepang serta ku bawakan kimono untuknya dihari pernikahan kami. Ia menangis terharu. Awalnya ia menolak untuk memakai kimono tersebut akan tetapi setelah kuyakinkan ia akhirnya memakainya juga.
”apakah dengan kimono ini aku akan terlihat cantik dimatamu? Serta bahagiakah keluargamu jika kukenakan pakaian ini? Bukankah kau berasal dari keluarga yang amat mencintai budaya serta tradisi negerimu? “ bertanyalah ia dengan raut wajah yang tak pasti.
“aku mencintaimu karena dirimu, bukan karena tradisi, budaya ataupun dari negeri mana asalmu. Cukuplah kau untuk tak meniggalkan segala apa yang datang dari negerimu lalu mencoba menjelma menjadi wanita Jawa. Sesungguhnya hatiku, keluargaku sangat menghargai tradisi bukannya memaksakan tradisi. Jadi marilah kau menjadi Srikandi yang datang ke Jawa untuk mendampingi Arjunanya”
Ia lalu menggenggam tanganku dengan mesranya. Lalu aku menimpali dengan tanganku yang kiri untuk menggenggam tangannya juga. Kami saling bertatapan dalam senyumnya yang kulihat masih indah, malah lebih indah dari senyum yang kulihat pertama kalinya dulu.
Egheem..
Ibuku berdehem saat memergoki tangan kami saling berpegang. Kami sesegera mungkin melepaskan tangan kami masing – masing. Lalu ku lihat ke arah tamu undangan yang menertawakan kami. Biarlah mereka tertawa diatas kebahagiaanku. Untuk hari ini, nanti dan selamanya biarlah aku menjelma menjadi Arjuna untuk Srikandiku yang berasal dari Jepang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H