Mohon tunggu...
Nurus Sakinah
Nurus Sakinah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketidakberdayaan Negara Melawan Korupsi

7 Januari 2022   03:12 Diperbarui: 7 Januari 2022   03:12 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ISU korupsi pasti sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat, suatu kasus yang dilarang atau terlarang di negara ini karena melawan hukum. Namun, faktanya masalah korupsi di Indonesia terus menjadi berita utama yang hampir setiap hari media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit.

Di kalangan akademik para cendikiawan telah secara terus menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan belanda, pendudukan jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang sudah merdeka. 

Korupsi terjadi di dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah bersifat sistematik dan endemik sehingga tidak saja merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara tetapi juga telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas.

"Korupsi itu kejahatan luar biasa karena mencuri harta Negara dan memiskinkan rakyat. Penyakit korupsi menjadi kanker bagi tubuh Negara. Jadi, tubuh Negara tidak akan pernah sehat kalau didalamnya itu tejadi banyak korupsi," ujar Artidjo Alkotsar selaku Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI dalam acara narasi.

Korupsi politik sebagai penyebab lahirnya korupsi-korupsi konvesional sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembaratasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. 

Menurut Artidjo Alkotsar (Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI) masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah merajalelanya korupsi, terutama yang berkualifikasi korupsi politik karena korupsi merupakan penghalang pembangunan ekonomi, social politik, dan budaya bangsa, dimana korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat, untuk itu memerlukan cara-cara pembaratan korupsi yang luar biasa.

Korupsi sudah berhasil membuat Negara tidak berdaya akan hal ini, yang melakukan korupsi pun sudah tidak mengenal kelas dan strata lagi, baik mulai dari kalangan atas maupun kalangan bawah. Korupsi telah berkembang dan mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat (DPR maupun DPRD), bahkan di dalam lembaga peradilan sendiri. 

Kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ujung tombak bagi upaya pemberantasan korupsi justru dipandang oleh banyak kalangan sebagai institusi-institusi public yang paling korupsi dan paling banyak melakukan penyalahgunaan kewenangan.

Dengan kata lain, korupsi sudah merajalela terutama di kalangan birokrasi pada institusi publik atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen. HS. Dillon, misalnya, mengungkapkan bahwa jaksa merupakan aparat penegak hukum yang paling banyak menerima suap (51,8%), disusul oleh hakim (46,2L%), aparat-aparat lain dari kantor kejaksaan (38,8%), panitera (23,1%), pengacara (7,7%), polisi (7,7%), dan aparat-aparat penegak hukum lainnya (2,6%). (https://media.neliti.com/media/publications/243741-permasalahan-korupsi-kolusi-dan-nepotism-a86737af.pdf)

Dilansir dari Sindonews.com, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mengantongi sebanyak 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari hingga November 2021. Dari 3.708 laporan tersebut, sebanyak 3.673 telah rampung diproses verifikasi oleh KPK. "Kami mencatat sampai dengan 30 November 201, KPK telah menerima sejumlah 3.708 aduan dan telah selesai diverifikasi 3.673 aduan," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Jumat (17/12/2021)

Berdasarkan hasil penelusuran dari laman resmi KPK, laporan dugaan korupsi terbanyak berasal dari DKI Jakarta. Kedua, wilayah Jawa Barat sebanyak 410 aduan; disusul Sumatera Utara 346 aduan; Jawa Timur 330 aduan; dan Jawa Tengah dengan 240 aduan. "Kami sangat mengapreisasi pihak-pihak yang terus gigih berperan dan menaruh optimisme terhadap upaya bersama pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Ali. (sindonews.com 17/12/2021)

Sementara itu, dirangkum dari Suara.com  untuk kaleidoskop 2021, sepanjang tahun 2021, Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) telah menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan para pejabat kepala daerah yang meliputi gubernur dan bupati/walikota. KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan sejumlah penjabat. Terdapat 6 kepala daerah terjerat korupsi di tahun 2021.

Berdasarkan uraian diatas, mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistematik yang sangat membahayakan dan merugikan Negara maupun masyarakat, terlebih di Negara kecil dan berkembang seperti Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan kesehjateran masyarakat. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk meyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Sehinga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil.

Tidak mengherankan jika korupsi tumbuh subur di negeri ini, negeri yang menganut sistem demokrasi. Dimana untuk meraih kursi kepemimpinan dan aneka jabatan di pemerintahan berbiaya mahal.

Menurut hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada 2014. Riset mencatat rentang ongkos minimal yang dibutuhkan seseorang calon legislatif DPRD berkisar Rp250-500 juta, sementara ongkos calon legislatif tingkat DPR mencapai Rp750 juta -- 4 milyar.

Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk meraih jabatan dari kursi kepemimpinan tersebut, tidak mungkin hanya merogoh kantong pribadi sendiri. Mereka akan menggandeng para kapital-kapital atau para pemilik modal untuk meraih kursi jabatan tersebut. Tidak mau rugi. Inilah prinsip kapitalisme. Tingginya biaya yang dikeluakan untuk meraih kursi jabatan, membuat pejabat harus mengembalikan modal tersebut. Korupsi adalah jalan pintasnya. Karena gaji yang didapat selama menjabat tidak mencukupi untuk mengembalikan modal. 

Tidak hanya itu, gaya hidup hedonism juga menjadi penyebab tingginya angka korupsi. Semakin tinggi jabatannya, semakin tinggi pula gaya hidupnya. Sedangkan gaji yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidup yang semakin tinggi. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. 

Selain itu, sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak korupsi juga membuat korupsi makin bertambah. Hal ini dikarenakan saksi yang diberikan tidak membuat pelaku jera. Apalagi hukum di negeri ini bisa dibeli, sehingga para pelaku korupsi hanya mendapat hukuman yang ringan. Tidak sebanding dengan kerugian Negara yang diakibatkannya. Hal inilah yang membuat pelaku korupsi tidak jera dan akan melakukannya secara terus-menerus. (kompasiana.com 2/01/2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun