Sementara itu, dirangkum dari Suara.com  untuk kaleidoskop 2021, sepanjang tahun 2021, Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) telah menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan para pejabat kepala daerah yang meliputi gubernur dan bupati/walikota. KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan sejumlah penjabat. Terdapat 6 kepala daerah terjerat korupsi di tahun 2021.
Berdasarkan uraian diatas, mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistematik yang sangat membahayakan dan merugikan Negara maupun masyarakat, terlebih di Negara kecil dan berkembang seperti Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan kesehjateran masyarakat. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk meyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Sehinga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil.
Tidak mengherankan jika korupsi tumbuh subur di negeri ini, negeri yang menganut sistem demokrasi. Dimana untuk meraih kursi kepemimpinan dan aneka jabatan di pemerintahan berbiaya mahal.
Menurut hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada 2014. Riset mencatat rentang ongkos minimal yang dibutuhkan seseorang calon legislatif DPRD berkisar Rp250-500 juta, sementara ongkos calon legislatif tingkat DPR mencapai Rp750 juta -- 4 milyar.
Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk meraih jabatan dari kursi kepemimpinan tersebut, tidak mungkin hanya merogoh kantong pribadi sendiri. Mereka akan menggandeng para kapital-kapital atau para pemilik modal untuk meraih kursi jabatan tersebut. Tidak mau rugi. Inilah prinsip kapitalisme. Tingginya biaya yang dikeluakan untuk meraih kursi jabatan, membuat pejabat harus mengembalikan modal tersebut. Korupsi adalah jalan pintasnya. Karena gaji yang didapat selama menjabat tidak mencukupi untuk mengembalikan modal.Â
Tidak hanya itu, gaya hidup hedonism juga menjadi penyebab tingginya angka korupsi. Semakin tinggi jabatannya, semakin tinggi pula gaya hidupnya. Sedangkan gaji yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidup yang semakin tinggi. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi.Â
Selain itu, sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak korupsi juga membuat korupsi makin bertambah. Hal ini dikarenakan saksi yang diberikan tidak membuat pelaku jera. Apalagi hukum di negeri ini bisa dibeli, sehingga para pelaku korupsi hanya mendapat hukuman yang ringan. Tidak sebanding dengan kerugian Negara yang diakibatkannya. Hal inilah yang membuat pelaku korupsi tidak jera dan akan melakukannya secara terus-menerus. (kompasiana.com 2/01/2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H