Mohon tunggu...
Nurussakinah -
Nurussakinah - Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM UI yang tertarik mendalami hal-hal yang berhubungan dengan ksehatan lingkungan dan kewirausahaan... jika ingin berteman, silahkan follow penulis di @nurssaki.. Salam lingkungan!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wisata Sosial di Pulau Tidung? Mengapa Tidak?

18 Mei 2012   16:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu lalu, tepatnya tanggal 11-13 Mei 2012 saya dan teman satu kelas beserta dosen mata kuliah Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) dan teman dari mata kuliah Kesehatan Lingkungan tempat Tempat Umum (KLTTU) mengadakan kunjungan ke Pulau Tidung selama 3 hari 2 malam untuk meneliti pola konsumsi ikan dan kondisi kesehatan lingkungan pada penduduk Pulau Tidung. Banyak persoalan menarik yang saya jumpai selama mengobservasi dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Ada tiga hal yang akan saya bahas dalam tulisan saya ini, yaitu, persoalan sampah dan fasilitas pendukung pariwisata, kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan, serta kesulitan mengkonsumsi ikan. Ketiga masalah tersebut merupakan sintesis dari hasil wawancara dan pengamatan yang saya lakukan dengan penduduk setempat.

Pertama, potensi pariwisata yang kurang diberdayakan, khususnya pada persoalan sampah dan fasilitas/sarana pendukung pariwisata di pulau tersebut.

Pada hari pertama kunjungan ke Pulau Tidung, saya bersama teman saya memutuskan untuk berkunjung ke Jembatan Cinta (yang katanya terkenal itu) untuk kemudian menuju Pulau Tidung Kecil. Kami ke Pantai Tidung Timur dengan mengendarai sepeda yang disediakan oleh penginapan tempat kami menginap. Selama perjalanan menuju pantai, terlihat banyak sampah plastik yang menumpuk di tepi pantai, sehingga mengurangi keindahan panorama pantai.

Terkait masalah sampah, saya yakin banyak dari pembaca yang sudah tahu banyaknya sampah yang mengambang atau terbawa arus laut dari Jakarta dan mengotori perairan Kepulauan Seribu, termasuk pantai di Pulau Tidung. Sebelum menginjakkan kaki di Pulau Tidung, ekspektasi saya adalah hamparan pasir putih dengan pantai biru yang indah. Namun, ketika bersama teman-teman bersepeda menuju pantai ketika hari pertama tiba sungguh mencengangkan. Sepanjang tepi pantai menuju Jembatan Cinta, banyak sampah plastik yang terdampar sehingga agak merusak keindahan panorama Pantau Tidung Timur. Tidak cukup sampai disitu, ketika kami melewati Jembatan Cinta menuju Pualu Tidung Kecil, betapa berbahayanya jalur yang kami harus lewati. Kondisi jembatan sangat membahayakan untuk dilewati. Betapa tidak? Papan kayu penyusun jembatan banyak yang rusak, lapuk ataupun terlepas, sehingga harus ekstra hati-hati dalam menyebrang jembatan.

Sumber: dok. Pribadi

1337354867998886400
1337354867998886400

Sumber: dok. Pribadi

13373551512025786860
13373551512025786860

Sumber: dok. Pribadi

Setelah tiba di Pulau Tidung Kecil, kami menjelajahi pulau untuk menemukan spot pantai yang bagus. Namun, karena tidak menemukan spot yang sesuai, kami berhenti di tepi pantai yang terdapat beberapa ayunan jaring untuk bermain-main, kemudian menyebrang agak ke tengah pantai untuk mengeksplor pantai tersebut. Dan (lagi-lagi) agak terganggu dengan banyaknya sampah plastik yang mengotori pantai. Di pantai tersebut, kami menemukan bulu babi sehingga harus hati-hati dalam melangkah agar tidak menginjak makhluk laut tersebut. Puas bermain basah-basahan di pantai tersebut, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan melalui jalur Barat Pulau Tidung Kecil. Ternyata pantai di bagian wilayah ini lebih bersih dan banyak tanaman bakau sepanjang pantai.

Meski Pulau Tidung tidak dihuni, namun, tetap saja ada sampah yang menumpuk di sudut pulau. Kebanyakan sampah berupa batok kelapa ataupun bungkus bekas makanan. Menurut saya, sampah yang menumpuk tersebut sebagian besar berasal dari pengunjung yang tidak mengindahkan papan peringatan larangan membuang sampah. Karena, ketika melewati lokasi tersebut, saya mengamati ada beberapa pengunjung yang seenaknya membuang sampah bekas botol minuman ke tempat tersebut.

1337356321587010162
1337356321587010162

Sumber: dok. pribadi

Kedua, masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan sarana/fasilitas umum, dalam hal ini fasilitas toilet dan sarana saluran air limbah domestik (parit/selokan).

Untuk mewujudkan kesehatan lingkungan yang baik, perlu didukung dengan sarana sanitasi yang baik. Ketika kelompok 5 melakukan wawancara di beberapa rumah penduduk, ada rumah yang tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan limbah domestik.

Sebut saja Ibu yang saya wawancarai dengan inisial Ibu X. ketika saya menanyakan "biasanya, Ibu buang air sisa cucian atau mandi ke mana ya, Bu?".

Ibu X : "yaa.. langsung dibuang gitu aja ke belakang rumah. Disini belum dibuatin comberan, neng. Cuma rumah-rumah yang buat nginep tamu aja yang dibuatin."

Saya: "emangnya Ibu sama tetangga di sini ga coba bilang ke pak RT atau siapa gitu, Bu?"

Ibu X : "saya mah ga ngerti neng, ngomongnya ke siapa. Waktu itu udah dibilangin sama Pak RT nya. Tapi, Pak Lurah nya belom ngasi dananya. Gimana dia tau kondisi kita, orang dia tinggalnya di Jakarta sono."

Saya: "Kok gitu, Bu?"

Ibu X: "iya, Pak Lurahnya ke sini paling sebulan sekali atau dua kali. Jadi, kitanya juga susah ngomongnya ke siapa."

Saya: "terus, kalau air minum, ibu pake air dari mana?"

Ibu X: "Ya.. nadangin air hujan aja, neng. Air hujan ditampung digentong, terus direbus. Kalo pake air sumur mah rasanya ga enak (mungkin maksudnya rasanya payau kali yaaa)."

Saya: "waaah.. banyak nampung air dong ya? Emang ga banyak jentik nyamuk, Bu?"

Ibu X: "yaa.. ada. Makanya disini mah tiap tahun pasti ada yang kena demam berdarah, neng."

Kondisi rumah responden yang saya wawancarai agak sempit dan tempat mencuci piring dan baju dekat dengan sumur air mereka. Ada cerita lucu ketika kami pertama datang ke rumah responden tersebut. Kami datang berempat dan mengenakan almamater (yang kebetulan berwarna kuning dan mirip dengan warna salah satu parpol).

Ibu X: "saya kira, neng dari partai ******. Soalnya pake jaket kuning-kuning gitu."

Saya: tertawa kecil "oh, bukan bu, kita mahasiswa. Emangnya biasa banyak orang partai ke sini, Bu?"

Ibu X: "ngga juga. Tapi, kemaren orang dari partai *** (yang jas nya warnanya hijau) datang buat ngenalin calon dari partai mereka. Lumayan kita dapet duit 25rb buat tambahan makan."

Wah, ternyata musim pemilihan umum membawa merkah bagi warga miskin seperti Ibu X. karena mereka mendapat "insentif" yang sangat lumayan untuk menambah uang belanja mereka.

Masalah ketiga, kesulitan mengkonsumsi ikan meski tinggal di wilayah yang dikelilingi perairan. Berdasarkan wawancara dari beberapa responden, mereka sulit mendapatkan ikan segar karena sebagian besar pasokan yang tersedia sudah dipesan oleh pemilik atau pengelola wisata untuk kebutuhan para wisatawan atau tamu. Menurut seorang ABK kapal yang saya tumpangi, umumnya nelayan Pulau Tidung mendapatkan tangkapan ikan sehari sekitar 50kg per harinya. Namun, tangkapan tersebut masih kurang dan tidak mencukupi untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Pulau Tidung sendiri. Karena, seperti yang sudah saya sebut barusan, ikan-ikan tersebut sudah dipesan oleh penyedia makanan untuk tamu. Sehingga penduduk setempat jarang mendapatkan ikan untuk dikonsumsi. Karena jumlah tangkapan yang terbatas pula, harga ikan cukup mahal bagi penduduk miskin seperti Ibu X. Untuk ikan kurisik saja, yang merupakan jenis ikan yang paling banyak dikonsumsi warga Pulau Tidung, harga per kilonya sekitar Rp15.000,00.

1337357187252941662
1337357187252941662

Ikan kurisik. Salah satu jenis ikan yang paling banyak dikonsumsi.

Sumber: dok. Pribadi

Saking sulitnya, salah satu responden kelompok 5 (sebut saja Ibu Y) bahkan jarang makan nasi dengan lauk ikan. Ia dan suaminya terkadang terpaksa harus mengkonsumsi daging kedong-kedong sebagai lauk karena mahalnya harga ikan. Kedong-kedong merupakan hewan laut sejenis kerang yang bisa didapatkan di sekitar pantai Pulau Tidung. Bahkan, ketika esoknya kami wawancarai, kedua pasangan yang sudah tua ini mengatakan bahwa kemarin mereka hanya mengkonsumsi roti seharian karena tidak ada biaya untuk membeli beras. Suaminya tidak dapat bekerja mencari kulit/ampas kelapa karena sedang menderita sakit paru-paru. Mata pencaharian utama keluarga tersebut adalah mencari ampas kelapa sisa pengunjung di Pulau Tidung Kecil untuk dijual ke restoran atau rumah makan seafood.

Karena jarang makan makanan yang bergizi cukup, tubuh pasangan suami istri tersebut sangat memprihatinkan. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan kelompok kami, berat badan istrinya hanya sekitar 36 kg padahal tinggi badannya lebih dari 150 cm. Rumah yang mereka tempati hanya sepetak kecil dan tidak memiliki dapur. Karena, berdasarkan pengamatan saya posisi dapur atau lokasi memasak berada di depan rumah tersebut. Bahan bakar yang digunakan untuk memasak masih menggunakan arang, mungkin menggunakan ampas kelapa yang mereka kumpulkan. Meski masih ada masyarakat miskin yang sulit menikmati ikan, namun pemerintah daerah Pulau Tidung cukup bagus dalam menyediakan dan membangun rumah permanen untuk para warga miskin ini. Berdasarkan penuturan Ibu X dan Ibu Y tadi, rumah yang mereka tempati dulunya gubuk kayu. Namun, belakangan pemerintah sedang melakukan pembangunan rumah permanen untuk mereka yang masih tinggal di rumah semi-permanen. Solusi untuk mengatasi kemiskinan di Pulau Tidung adalah peran serta pemerintah dan masyarakat Pulau Tidung sendiri untuk memberdayakan sesama warga Pulau tidung yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dari ketiga masalah tersebut, program "Bank Sampah" dapat menjadi solusi yang konkret untuk warga Pulau Tidung. Dengan memberikan pelatihan pengolahan sampah plastik menjadi kerjainan bagi warga Pulau Tidung, khususnya mereka yang berada pada tingkat ekonomi lemah, dapat menjadi langkah awal dalam upaya menumbuhkan kemandirian ekonomi. Dengan menjadikan sampah sebagai kerajinan khas Pulau Tidung, diharapkan dapat memberikan "economic value" pada sampah-sampah yang berada di pulau tersebut. Dengan demikian, diharapkan masyarakat setempat akan berlomba-lomba dalam mengumpulkan sampah untuk dijadikan kerjainan untuk kemudian dijual sebagai souvenir kepada turis atau wisatawan yang berkunjung. Mengingat sulitnya menghindari sampah yang berasal dari arus laut Jakarta, dengan menjadikan sampah sebagai komoditi dan bernilai jual, maka penduduk akan bersemangat dan tidak akan lelah dalam mengubah sampah menjadi souvenir bernilai dan berdaya jual tinggi. Dengan demikian, penduduk dapat memiliki tambahan penghasilan dari sampah tersebut, sehingga kedepannya mereka dapat membeli ikan untuk dikonsumsi dari hasil pengolahan sampah tersebut. Terakhir, pesan untuk wisatawan dan pembaca kompasiana untuk bersikap peduli lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya. Dan sebagai wisatawan, ada baiknya untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat agar terbuka cakrawala dan kesadaran kita terhadap kondisi masyarakat lokal. Mereka pasrah untuk tidak mengkonsumsi ikan ketika sedang banyak wisatawan karena ikan sudah dipesan untuk para tamu. oleh karena itu, berwisata sosial dengan berinteraksi dengan warga lokal dan mengetahui kehidupan mereka akan membawa pengalaman tersendiri dari kunjungan wisata Anda. Berwisata sosial? Mengapa tidak? Salam wisata, salam lingkungan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun