Aku adalah angin, aku tidak punya bentuk, tidak punya suara kecuali jika aku menyentuh sesuatu. Aku bergerak tanpa tujuan, menyusuri bukit-bukit, melewati lautan, dan merayap di antara dinding-dinding kota. Tidak ada yang memperhatikanku kecuali mereka merasakan dingin atau saat aku membawa dedaunan berterbangan.
Tapi aku menyaksikan segalanya, tawa dan tangis manusia, aku adalah penjaga rahasia dunia, pengamat abadi dari kehidupan dunia. Aku bisa menjadi teman kalian, menciptakan udara dingin yang sejuk tapi bila aku besar kalian harus berhati-hati karena aku bisa saja membahayakan kalian. Sama seperti api “kecil menjadi teman, besar menjadi lawan”.
Beberapa kisah perjalananku dalam membantu kalian wahai manusia, meski tak terlihat tapi aku ingin menjadi bagian terpenting dalam kisah hidup kalian. Menyusuri sebuah pedesaan, di sebuah padang rumput yang luas, seoarang gadis kecil dengan rambut hitam legam yang selalu berkibar saat aku melintas. Berlarian dengan membawa secarik kertas dan memanggilku, aku mendengarnya meskipun dia tak melihatku.
“Angin, bisakah kau menyampaikan pesan ini?” katanya dengan suara kecil sambil mengangkat kertas itu keatas.
Aku mendekatinya, membelai pipinya dengan lembut, air matanya sedikit menetes. “pesan apa yang ingin dia sampaikan hingga dia berwajah sendu”
“Aku ingin mama tahu bahwa aku merindukannya” katanya.
Aku mengerti, mamanya telah pergi, meninggalkannya di dunia yang keras ini, kepergian yang tidak kembali. Aku membawa kertas itu, membiarkanyya terbang di udara. Aku tahu, kertas itu tak akan pernah sampai kemanapun, tapi aku tetap membawanya pergi.
Perjalananku membawaku ke berbagai tempat, aku mendengan tawa, tangisan dan bisikan. Di sebuah desa kecil, aku melihat seorang pria tua yang duduk di teras rumahnya memandang cakrawala. Dia berbicara dengan angan-angan, tentang cinta yang ia tinggalkan dimasa muda dan akupun turut menyaksikan perjalanan hidupnya.
Saat itu, ia bersama seoarang wanita, mereka saling mencintai tetapi terpidah oleh dinding=dinding yang tak terlihat, kebanggana, rasa takut, dan kesalahpahaman. Mereka berdiri hanya beberapa meter satu sama lain tetapi tak saling bicara.
Aku pernah mencoba mendekati mereka, meniup rambut wanita agar ia menoleh. Tapi manusia jarang mendengarkan angin.
Setelah ribuan tahun menjadi saksi, aku mulai memahami sesuatu. Aku tak hanya melihat tapi juga merasakan. Aku, angin yang selalu bergerak, mulai menciptakan cerita dari apa yang kusaksikan.
Aku meniup pasir di padang gurun, membentuk jejak langlah yang tak pernah ada. Aku memainkan nada samar dijendela kaca, seperti melodi yang hilang. Aku membawa aroma bunga ke ruang kosong, berharap manusia merasakan sedikit harapan. Tapi manusia jarang menyadari pesan yang kutinggalkan.
Suatu hari aku kembali ke padang rumput itu. Gadis kecil yang dulu memanggilku telah tumbuh dewasa. Dia berdiri dengan rambut yang masih berkibar.
“Aku tahu kau mendengarku” katanya sambil tersenyum kecil.
Dia membawa sebuah layang-layang. Layang-layang itu terbang tinggi diudara dengan pesan-pesan yang ditulis di setiap sisinya.
“Aku tak pernah berhenti percaya padamu, Angin. Terimakasih telah membawa semua ceritaku.
Aku membelai wajahnya untuk terakhir kali. Aku juga ingin berterimakasih, bukan hanya karena percaya, tetapi karena dia mendengar sesuatu yang tak banyak manusia lakukan.
Kini aku terus bergerak, menulis cerita-cerita baru di dunia yang tak pernah tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H