HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penurunan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. Virus ini terutama menyerang sel-sel CD4, yang merupakan bagian penting dari sistem imun, sehingga membuat individu yang terinfeksi menjadi lebih rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit. AIDS, atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan tahap lanjutan dari infeksi HIV yang ditandai dengan munculnya gejala yang serius serta infeksi oportunistik yang dapat berakibat fatal akibat kerusakan yang parah pada sistem kekebalan tubuh (Djuanda, 2007).
HIV adalah penyakit yang menyebar melalui cairan tubuh tertentu yang telah terinfeksi. Cairan tubuh yang terinfeksi dapat berupa darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (Sartika, 2015). Selain itu, penularan virus HIV dapat terjadi dengan perantara benda, seperti jarum suntik yang digunakan secara berulang. Ketika HIV sudah tertular kepada seorang individu, individu tersebut tidak akan secara langsung merasakan dampaknya melainkan dampak tersebut akan terasa dalam beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.
Penanganan kasus HIV/AIDS membutuhkan kerjasama dari berbagai sektor untuk mendapatkan solusi konkret. Salah satu permasalahan yang sulit untuk ditangani adalah stigma terhadap Orang Dengan HIV/IADS (ODHA). Stigma yang ada pada masyarakat menimbulkan diskriminasi kepada ODHA, yaitu tindakan tidak mengakui dan tidak memberikan hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana semestinya (Suyaisih, dkk. 2022), terutama kepada kelompok perempuan.
Stigma terhadap perempuan ODHA seringkali dipengaruhi oleh pandangan sosial yang mengaitkan perempuan dengan peran tradisional yang harus menjaga kehormatan dan moralitas. Dalam banyak kasus, perempuan yang terinfeksi HIV dianggap sebagai "pihak yang bersalah", meskipun banyak di antaranya terinfeksi melalui pasangan mereka atau bahkan akibat kekerasan seksual. Stereotip ini membuat mereka semakin terpinggirkan dan sulit untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka. Selain menghadapi tantangan kesehatan, perempuan ODHA sering kali mengalami diskriminasi di tempat kerja, keluarga, dan masyarakat. Akibatnya, diskriminasi terhadap perempuan ODHA semakin memperburuk isolasi sosial yang mereka alami, serta memperburuk akses mereka terhadap layanan kesehatan dan kesempatan ekonomi.
Kombinasi stigma terkait HIV dan gender menciptakan stigma ganda yang lebih berat bagi perempuan ODHA. Selain harus menghadapi diskriminasi karena status kesehatan mereka, perempuan juga terperangkap dalam norma sosial yang menganggap mereka harus mematuhi peran gender tertentu. Akibatnya, perempuan ODHA sering kali dijauhi atau dipandang rendah, bukan hanya karena HIV, tetapi juga karena dianggap telah melanggar norma moral atau sosial yang berkaitan dengan gender mereka.
Stigma, menurut Erving Goffman, adalah sebuah proses sosial di mana individu atau kelompok tertentu diberi label negatif oleh masyarakat, sehingga mereka dianggap berbeda atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Dalam konteks perempuan dengan HIV/AIDS (ODHA), mereka menghadapi dua jenis stigma:
Stigma personal terkait status kesehatan sebagai pengidap HIV.
Stigma sosial yang didasarkan pada anggapan bahwa mereka telah melanggar nilai-nilai moral dan norma sosial, seperti dianggap tidak bermoral.
Stigma ini sering kali menyebabkan diskriminasi, menghambat akses perempuan ODHA terhadap berbagai layanan penting seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan, serta memperburuk keterasingan sosial yang mereka alami (Goffman dalam Cahyani, 2022).
Stigma ganda yang dialami oleh perempuan ODHA menciptakan dampak yang signifikan terhadap kehidupan mereka, baik secara sosial maupun psikologis. Penolakan dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan masyarakat, sering kali membuat mereka terisolasi dan merasa tidak memiliki dukungan. Akibatnya, banyak perempuan ODHA yang mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi, yang diperparah oleh kesulitan mereka dalam mengakses layanan kesehatan. Ketakutan akan diskriminasi, bahkan dari tenaga medis, menjadi hambatan besar dalam mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
Untuk mengatasi persoalan ini, pendekatan yang komprehensif diperlukan, termasuk melalui edukasi dan pemberdayaan perempuan. Program yang meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS dan pentingnya kesetaraan gender dapat membantu mengurangi stigma yang ada. Selain itu, penyediaan layanan kesehatan yang ramah dan bebas diskriminasi harus menjadi prioritas, termasuk pelatihan bagi tenaga medis agar lebih memahami dampak stigma ganda. Dukungan kebijakan yang melindungi hak perempuan ODHA juga krusial, terutama untuk mencegah diskriminasi di tempat kerja dan layanan publik.
REFERENSI
Adhi, D. (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin (Edisi kelima). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Cahyani, I. I. (2022). Stigma yang tergenderkan (Studi kasus: Perempuan perokok di Kota Jakarta Selatan). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Sosiologi.
Sartika, A. (2015). Strategi komunikasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam melakukan sosialisasi HIV/AIDS di Kota Samarinda. E-Journal Ilmu Komunikasi, 3(1), 17-30.
Syukaisih, A., & Oktaviany, W. (2022). Analisis Stigma Dan Diskriminasi Masyarakat Terhadap Orang Dengan Hiv/Aids (Odha) Di Kabupaten Indragiri Huluw. Menara Ilmu, 16(02), 86-97.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H