Mohon tunggu...
Nurun Najib
Nurun Najib Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penyuka isu-isu perkotaan, gerakan islam, kemiskinan dan human rights. Tulisan di Kompasiana ini adalah tulisan yang bersumber dari personal website dengan alamat: nurunnajib.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Ada Pramoedya, Arswendopun Jadi

21 Mei 2011   07:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, kalau tidak salah Selasa, setelah seharian menemani Mas Huda untuk colloquium di FISIP Brawijaya, malamnya aku jalan-jalan sendiri. Jangan diartikan jalan-jalanku ini nongkrong-nongkrong di mall ataupun di cafe. Ya karena memang nyatanya tidak demikian. Agak tidak lumrah sih, jalan-jalan kok ke Toga Mas? Salah satu toko buku di daerah Dieng. Tidak lain tidak bukan keinginanku ke sana untuk mencari roman Pak Pram yang selama ini aku impikan. Sudah sejak lama aku memimpikan bisa mendapatkan buku tersebut dan selanjutnya aku hadiahkan kepada orang yang tepat.

[caption id="attachment_109434" align="alignleft" width="169" caption="Novel Dua Ibu by Arswendo AW"][/caption] Eh ladalah ketika aku menemukan sosok yang tepat, giliran bukunya yang ndak ada. Karena tidak puas, tetap saja aku periksa satu persatu deretan buku-buku sastra di toko itu. Dan hasilnya setelah dua jam pencarian…tetap saja nihil. Kemudian akupun mendekati salah soerang penjaga toko, hasilnyapun tetap sama bahwa roman yang saya maksud itu memang sedang kosong. Di toko tidak ada stoknya. Kata mas penjaga toko, memang roman Pak Pram tersebut laris manis. Bahkan pihak toko sering ketelatan untuk penyediaan stok.

Lantas, memoriku saat itu terbang di sekitaran tahun 2004 saat aku masih nyantri di Al-Hikam Malang. Sangat teringat jelas ketika aku membaca roman tetraloginya Pak Pram dua hari dua malam aku tidak ke mana-mana, hanya di kamar saja. Waktu hanya aku habiskan untuk membaca roman itu. Sangat menarik. Kita sebagai pembaca seolah diajak berpetualang dalam rangka-rangka kolonial, bahkan mulai dari kalimat pertama. Penokohan yang kuat juga membuat roman tersebut recommended untuk dibaca, siapapun. Maka, saat itu akupun berfikir pasti roman ini nantinya akan semakin laris manis. Sayangnya di tahun 2004, tidak ada sama sekali toko buku yang menyediakan roman-roman tersebut. Ya menurutku efek dari Orde Baru yang phobia atas tulisan-tulisan Pak Pram. Tujuh tahun setelah itu ternyata benar dugaanku dulu. Roman itu laris manis di pasaran.

Upst….cerita tentang romannya Pak Pram sampai di sini dulu. Sebenarnya aku tidak hendak menceritakan tentang roman tersebut, tapi sebagai penggantinya hendak menceritakan sedikit tentang Dua Ibu. Novel karya Arswendo Atmowiloto ini akhirnya sebagai pengganti. Pilihanku jatuh ke sini bukan karena apa-apa, yak arena feelingku semata. Novel yang tepat untuk orang yang tepat. Setidaknya awalnya aku niati untuk teman perjalanannya. Nyatanya…tidak demikian. Setelah semalaman aku lahap habis lembar demi lembar, kesempatan untuk menghadiahkan kandas!!! Tak pernah ada kesempatan itu, karena beberapa sebab yang tak bisa aku jelaskan di sini. Setidaknya sampai aku menulis catatan ini. Sengaja aku tidak menuliskan resensinya saat ini, mungkin sampai nanti saat tersampaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun