OPINI : DEMISIONER BEM UMY HYPERSEX PERKOSA MAHASISWI
Nurul Aulia Sajida (Mahasiswa Semester I Universitas Muhammadiyah Magelang  Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Program Studi Manajemen S1)
Akhir-akhir ini organisasi tidak difungsikan sebagaimana mestinya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Penyalahgunaan wewenang tersebut dapat berupa tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum menyimpang dari tujuan organisasi, dan menyalahgunakan prosedur yang seharusnya guna mencapai tujuan tertentu.Â
Belum lama ini kasus terkait penyalahgunaan wewenang dalam organisasi di lingkungan kampus yang sedang viral di media sosial yakni kasus seorang demisioner BEM UMY yang memperkosa tiga mahasiswi. Pertama kali diungkapan oleh akun media social dear_umycatcallers pada tanggal 31 Desember 2021.
Berikut penjelasan kronologis yang dikutip dari akun media social Dear_umycatcallers terkait tindakan yang dilakukan oleh MKA (OCD) kepada korban pertamanya yang sedang dalam keadaan Haid. MKA (OCD) dengan berbagai simbol yang mengikutinya, sifat temperamental dan jurang pengetahuan yang ada antara MKA dan korban, lantas menciptakan relasi yang timpang. Hal itu membuat korban tidak mampu membuat keputusan secara bebas dan merdeka.Â
MKA (OCD) memaksa korban untuk berhubungan badan tanpa sikap consent korban (melakukan pemerkosaan). Dalam tindakan pemerkosaan ini MKA (OCD) memanipulasi korban yang awalnya mengajak untuk menemani rapat, namun dibelokkan ke kosan MKA (OCD) yang berarti korban dibohongi.
Pernyataan dari korban kedua yakni dirinya mengaku diperkosa dalam keadaan tidak sadarkan diri (Mabuk). Korban tidak memiliki bukti kuat karena MKA (OCD) adalah temannya dan kejadiannya ia dengan MKA (OCD) ke tempat hiburan malam bersama.Â
Korban masih mengingat jalan dan juga Club Serra hotel yang menjadi tempatnya diperkosa. Korban kedua tidak segera melapor dengan kejadian yang menimpanya dikarenakan takut dihasapa opini masyarakat, juga pelaku MKA (OCD) yang mempunyai kuasa lebih diatas korban.
Salah satu hal yang menjadi penghambat para korban kekerasan seksual untuk berani speak up adalah diharuskan adanya bukti. Padahal pada saat para korban berada diposisi "dilecehkan" jangankan untuk mendokumentasikan, untuk bergerak pun susah. Kejadian ini dinamakan Tonic Immobility (Ngefreeze). Ini adalah respon tubuh terhadap situasi bahaya yang tidak terhindarkan.Â
Biasanya terjadi para korban, penyintas kekerasan seksual. Shock yang dialaminya membuat korban mengalami kelumpuhan sementara sehingga ia tak berdaya merespon kondisi bahaya. Jangankan untuk lari atau melawan pelaku, suara seperti tertahan di kerongkongan.
Pada saat seseorang mengalami ketakutan ekstrim, tubuh tidak akan sanggup bergerak, mungkin salah satu kondisi yang dirasakan oleh para korban pemerkosaan mengapa mereka hanya diam saja.Â
Para korban pun biasanya akan menutup diri dan tidak berani mengungkapkan tindak keji seseorang yang telah memperkosanya karena takut akan pandangan masyarakat dan pelaku mempunyai kekuasaan.