"Kemarahan hanya akan berdampak buruk pada kesehatanmu. Ini dapat memberikan perubahan pada respons fisik mulai dari detak jantung, tekanan darah, dan respons imun."
Ketika masih kecil, saya sering heran manakala ada Bude Amit (sebut saja begitu Namanya) datang ke rumah, lalu curhat was wes wos panjang lebar ke ibuku.
"Sampai kapanpun, aku nggak ridho sama kelakuan dia! Sumpaaahh! Gak bakal aku maafkan! Pokoke aku baru mau ngomong sama dia, kalau dia mau merendahkan hati, lalu minta maaf nyuwun ngapuro sambil sungkem ke aku!!" Bude Amit mengucapkan kalimat ini dengan satu tarikan nafas. Matanya menyeringai kemerahan, mulutnya berbusa-busa, tangannya terkepal sempurna. Ibuku mengelus-elus punggung Bude, sambil menyodorkan segelas air mineral. "Istighfar Mbaaa, ayo minum dulu."
Sebagai anak kecil, tentu saja aku kurang paham apa masalah utama yang men-trigger kemarahan Bude Amit. Tapi, memori kemarahan serta kalimat "sumpah tak akan aku maafkan" ini yang terus berkelindan di batok kepalaku hingga kini.
Ada masalah seserius apa ya, kok sampai orang tua, eh... orang dewasa ogah memaafkan kesalahan pihak lain? Padahal, kalo dipikir-pikir Bude Amit juga bukan orang tanpa noda dosa kan. Gimana rasanya kalau ada orang lain yang ternyata juga mengucapkan "sumpah tak akan aku maafkan" ditujukan ke Budeku yang nada bicaranya ala mercon bantingan itu?
Yeah... itulah anak kecil yang lugu, polos, naif. Seiring berjalannya waktu, aku jadi paham, bahwa dunia orang dewasa sangatlah over-super-duper-extra-complicated. MAAF, Cuma terdiri dari empat aksara. MEMAAFKAN, hanya diberi imbuhan awalan me- dan akhiran -kan. Tampak simpel, tapi percayalah.... Kenyataannya tidak sesimpel itu. Saya yang di masa kecil terheran-heran dengan sikap Bude Amit, saat ini... I really can relate her.Â
Satu orang ini, sebut saja namanya Pak Sammy. Bisa dibilang, interaksi kami cukup dekat, dan ada sejumlah kesalahan dia yang tak kunjung bisa saya maafkan. Rasa dendam dan marah terus menggelegak dalam jiwa. Bertahun-tahun sulit rasanya untuk mengenyahkannya.Â
Padahal, saban IdulFitri, saya Pak Sammy bertemu, saling bersilaturahmi, berucap "Mohon maaf lahir dan batin..." tapi, oh well.... Sebatas sugar-coating belaka. Kalbu saya nggak bisa berdusta. Rasa marah terus menyeruak, meronta... hingga pada akhirnya.....
Saya divonis penyakit cukup serius. Salah satu organ saya membengkak secara sporadis, kemudian pecah. Darah berleleran tanpa bisa distop, hingga dokter bedah onkologi memvonis bahwa saya harus dioperasi dengan bius total. Selesai? Belum. Ternyata, hasil laboratorium menunjukkan bahwa kadar gula darah saya mencapai 330! Halo Diabetes type 2! Dokter juga mencurigai ada benjolan tidak wajar di organ saya yang lain. "Harus dibiopsi ini, Bu... Supaya tahu ada keganasan atau tidak."